Selasa, 13 September 2005
“Abi ada urusan dengan polisi. Kenapa di Bali?
Sebab urusannya di Bali.
Bila polisi nak kembalikan Abi?
Bila urusannya selesai, insya Allah.
Bila selesai?
Tak tahu. Kena tanya pak Dai Bakhtiar.
Siapa pak Dai Bakhtiar?
Kepala Polisi Republik Indonesia
Boleh Ummi?
Boleh. Dia baik. Nanti dia jawab kalau ditanya.”
Kutipan di atas adalah sekelumit cerita dialog antara Paridah Abas, istri terdakwah bom Bali, Imam Mukhlas dengan salah satu buah hati mereka.
Dialog yang menyentuh hati itu, hanya ada di buku terbaru Paridah berjudul: “Orang Bilang, Ayah Teroris.” Buku buah karya wanita kelahiran Singapura 30 September 1970 ini, kemudian diterbitkan oleh Penerbit Jazera, Solo.
Buku setebal 264 hal berukuran 13,5 x 20,5 cm. mengisahkan perjalanan hidup ibu enam anak itu semenjak suaminya tersangkut kasus Bom Bali.
Paridah Abas, begitu nama lengkapnya, mungkin masih asing bagi telinga kita. Namun tidak demikian bila kita mendengar nama suaminya, Ali Ghufron alias Mukhlas, satu dari tiga orang yang divonis mati oleh Pengadilan Negeri Bali, dalam kasus Bom Bali, selain Imam Samudra dan Amrozi.
Paridah pernah menghiasi pemberitaan di media massa Indonesia. Pasca sang suami diputuskan dihukum mati karena bom Bali, ia juga terseret-seret hukum dan diduga melanggar keimigrasian.
Bersama, anak-anaknya, Paridah kini tinggal di Malaysia. Di kawasan Ulu Tiram, Sungai Tiram, Johor Bahru, Malaysia. Sekitar 300 km arah selatan Kuala Lumpur. Nyaris berada di perbatasan Malaysia-Singapura.
Sehari-hari, Paridah menyibukkan diri anak-anaknya. Selain itu, dia mengajar di Tadika (di Indonesia TK) tak jauh dari rumahnya. Usamah Ali Ghufran, anak terakghirnya, lahir tanpa didampingi ayahnya. Kisah tentang Usamah itu ia tulis di bukunya.
Kisah-kisah lain pertanyaan anak-anaknya perihal berbagai pandangan masyarakat seputar sang ayah, juga ia torehkan dalam bukunya itu. Mungkin karena itulah buku tersebut diberi judul, “Orang Bilang, Ayah Teroris.”
Buku-buku seputar peristiwa Bom Bali barangkali sudah terlalu banyak. Apalagi jika sang penulis itu bertindak sebagai sang analis. Buku Paridah ini sangat unik.
Dia menceritakan kejujuran sebuah keluarga yang kesepian ditinggal suami tercinta. Sebuah keluarga, di mana, Paridah sekarang menjadi single parent, meski orang lain mencibirnya.
Semenjak suaminya ditangkap, Paridah praktis hidup sendiri. Ia juga kerap harus berurusan dengan aparat. Paspornya raib, seiring dengan “hilangnya” sang suami.
Dalam bukunya, “Orang Bilang, Ayah Teroris”, ia ceritakan suka-duka sebagai ibu dan suami yang dianggap polisi bersalah.
Tunduk ilmu
Cerita mengharu-biru seputar perjalanan Paridah hingga mengenal Imam Mukhlas alias Ghufron di Malaysia juga terekam bagus.
Bagaimana ketika itu, dengan modal US$100, sepulang dari sekolah di Pakistan, hasil ganti rugi barangnya yang hilang di pesawat, saat ia melamar gadis cerdas berumur 20 Tahun atas saran ayah si gadis.
Awalnya, gadis cerdas; berwatak keras; dan hanya tunduk dengan ilmu itu ragu bersuamikan orang desa dari negeri pengekspor TKI. Karenanya, ia harus bersuamikan orang yang memiliki ilmu
Yang lebih berat bagi Ghufron, dia dilarang melihat calon istrinya sebelum terjadi ijab-kabul. Dan ajaibnya, Saat mendengar ijab-qabul, cinta istri seketika bersemi.
Di bawah Ghufron, Paridah akhirnya benar-benar tunduk. Semenjak menikah, pria Lamongan itu mengurung diri untuk mentarbiyah “santriwati” baru itu selama sebulan. Ia menerapkan tarbiyah pada banyak aspek; fikriyyah, ruhiyyah, diniyyah. Juga tentanga pelajaran akidah, ibadah dan minhajul hayah.
Transfer “energi” yang berlangsung cepat itu membuat wanita penggemar tulisan A. Hassan (Persis) itu lebih memahami arah dan tujuan hidup sang suami, termasuk segala risikonya.
Ia menjadi lebih memahami hak dan kewajibannya; kapan harus bersikap mendengar dan taat; kapan harus bermusyawarah; apa rahasia yang ia boleh tahu dan tidak boleh tahu; kapan ia boleh menahan kepergian suami yang juga ia sebut sebagai gurunya itu.
Dan kapan mesti merelakan; sahabat suami yang mana yang mesti ia tahu dan mana yang tidak mesti tahu; kapan boleh menyatakan ketidaksukaan kepada suami; kapan ia boleh menuntut suami; dan kapan harus bersabar.
“Ternyata suamiku bukan sembarang manusia. Ia mempunyai arah, tujuan, dan cita-cita yang sangat mulia. Ternyata suamiku bukan sekadar binatang ternak berdasi, yang kerjanya hanya menghabiskan nasi dan mengumbar nafsu birahi, ” ujar Paridah.
Menurut Direktur Jazeera, Bambang Sukirno, membaca pergulatan pemikiran Paridah, tak lepas dari shibghah (celupan) seorang Ali Ghufron yang telah berjaya membangun bahtera rumah tangga selama dua belas tahun.
“Anak dan istrinya (Paridah) adalah contoh sebuah “produk” yang ia siapkan jauh-jauh hari. Sebuah ideologi perjuangan, apapun namanya, “ ujar Bambang.
Menurut penulis buku-buku ‘best seller’, pemerhati pendidikan anak, Muhammad Fauzil Adhim, buku yang ditulis dengan ketulusan seorang ibu yang tahu bagaimana memaknai hidup. “Siapapun yang membaca tanpa prasangka, Insya Allah akan mendapat banyak pelajaran. Kecuali kalau nurani kita telah mati dan hati kita telah keruh, “ujar Fauzil.
Kepada sebuah media masaa Indonesia, ia pernah menjelaskan prihal motivasinya menulis buku itu dan bukan untuk mencari uang. Menurutnya, ia menulis, sekadar kenangan bagi dirinya dan keenam anak-anaknya.
Sebab, sejak bom Bali meledak pada 2002, peristiwa-peristiwa yang dialaminya begitu berat. Hanya dalam sekejap –dia mengistilahkan sekelip mata– nasibnya, termasuk hubungan suami istri dengan Ustad Mukhlas, berantakan.
”Mudah-mudahan itu bisa menjadi motivasi bagi istri dan keluarga yang bernasib sama seperti saya. Sebab, masih banyak istri yang mungkin suaminya ditahan atau pergi karena takut ditahan dan tak pulang,” ungkapnya pada Padang Ekspres.com.
Pada akhirnya, sebuah tekad untuk berbagi dan menyampaikan hal yang diyakini benar, membuat seseorang bisa menulis. Begitulah Ibu Paridah mengajarkan pada kita, lewat penerbitan bukunnya. (cha/bs/Hidayatullah.com)