Hidayatullah.com—Beberapa hari menjelang puasa, masyarakat Aceh mulai sibuk. Pasar, jalanan, masjid, dan makam menjadi ramai. Sebagian orang ada yang berziarah ke makam keluarga, sebagian lain berbelanja keperluan kenduri.
Meugang tahun lalu, stan penjualan daging diadakan di tepi sungai Lueng Nak Yee, bersebelahan dengan kompleks pasar Bina Usaha dan juga tepat berada di pinggir jalan Daud Dariah. Polisi akan kewalahan mengatur lalu lintas karena banyak pembeli yang memarkir kendaraan roda dua mereka di bahu jalan Nasional sehingga memacetkan arus lalu lintas.
Meugang menjadi semarak jika tidak ada kemacetan luar biasa seperti itu. Keramaian pada saat Meugang sudah menjadi tradisi.
Seorang warga Aceh, Sakdiah ikut sibuk kali ini. “Walaupun masyarakat ada yang miskin, pasti mereka akan merasakan daging meugang itu, baik mereka beli sendiri ataupun tetangga akan memberikan kepada mereka, walaupun sedikit,“ ujarnya.
Soal kesibukan seperti ini, menurutnya, memang sudah tradisi. “Tradisi lainnya seperti lemang, itu kayaknya seperti wajik ya. Lemang, tape, ketupat juga. Dari masakan ibu-ibu, juga akan diberikan ke tetangga, famili, ataupun ke fakir miskin,” tambahnya.
Menurut Umi Zikri, tokoh masyarakat setempat, tradisi unik seperti ini sudah turun-temurun dan susah dihilangkan. Bagi masyarakat, rasanya kurang pas mengikuti Ramadhan jika melewatkan Meugang.
“Kalau sudah mengadakan tradisi seperti itu, bertanda orang muslim yang mau menyambut bulan suci Ramadhan, melaksanakan dengan hati yang senang. Sudah tampak keikhlasan menyambut bulan suci Ramadhan,” ujarnya.
Bagi yang punya uang, bisa menyembelih sapi atau lembu. Sedang warga lain bisa mempersiapkan dana sekadar membeli dua atau tiga kilo daging untuk santapan seisi keluarga. Manurut Fahmi, dengan tradisi Meugang ini, bahkan orang-orang miskin dapat makan daging.
Tradisi pemotongan hewan pada hari meugang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Di setiap penjuru daerah Aceh, terlihat pemandangan penyembelihan hewan secara massal, termasuk di kantor-kantor pemerintah dan swasta. Seakan sudah menjadi kewajiban bagi orang tua mempersiapkan uang agar dapat membeli daging untuk keluarga pada hari meugang.
Biasanya mereka yang mencari nafkah di perantauan akan pulang kampung (mudik) untuk berkumpul bersama keluarga pada hari meugang. Sebagian yang lain membawa bahan makanan itu dan menyantapnya beramai-ramai di pantai.
Dalam meugang, sebagian daging dimasak untuk langsung disantap dan sebagian lagi diawetkan menjadi sie reuboh (daging rebus) atau dendeng. Sie reuboh dan dendeng dapat dimakan selama beberapa hari dalam bulan puasa.
Ketupat dan nenek moyang
Uroe Meugang atau juga disebut Makmeugang merupakan sebuah tradisi masyarakat Aceh turun-temurun yang tak jelas kapan asal-usulnya. Acara ini diadakan untuk menghormati datangnya bulan puasa dan datangnya hari raya Idul Fitri.
Sebagian masyarakat Aceh tradisional di wilayah pesisir, biasanya selama satu minggu pertama bulan puasa tidak melakukan banyak aktivitas atau bekerja. Waktu yang ada mereka gunakan untuk beribadah.
Petani tidak pergi ke sawah, dan nelayan berhenti pergi ke laut untuk sementara. Selama mereka memfokuskan diri pada ibadah tersebut, kebutuhan lauk-pauk di rumah diambil dari daging yang dibeli pada hari makmeugang tersebut. Demikian halnya pada hari raya Idul Fitri, masyarakat biasanya akan menghabiskan waktu selama beberapa hari untuk bersilaturrahmi antarkeluarga dan tetangga.
Tradisi Meugang ini memang sudah sangat melekat di masyarakat Aceh. Tradisi ini tak hanya membawa dampak budaya, tapi juga membawa banyak dampak ekonomi.
Umumnya, tradisi Uroe Meugang dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Yang pertama saat menyambut puasa, kedua menyambut hari raya Idul Fitri, dan ketiga menyambut Idul Adha.
Sebenarnya, istilah Meugang tak jauh beda dengan istilah di Jawa. Orang Jawa sering menyebutnya “megengan”, saling membuat makanan lalu mengantarkannya ke para tetangga terdekat sehari menjelang Ramadhan tiba.
Kabarnya, tradisi makan-makan ke pantai seakan sulit digantikan dengan kegiatan lainnya. Pernah pemerintah daerah mengarahkan atau mengimbau masyarakat untuk tidak ke pantai, diganti dengan kegiatan lainnya. Namun imbauan tersebut tidak dihiraukan dan warga kembali mendatangi pantai-pantai untuk melanjutkan tradisi uroe meugang dan makan-makan.
Makanan ketupat, tape, dan lemang, biasanya merupakan hidangan khas pendamping daging yang dimasak dalam bermacam-macam menu. Memasuki hari kedua, masyarakat pergi ke pantai atau ke tepi sungai untuk menyantap masakan, berkumpul bersama keluarga. Selain itu ada juga yang pergi ke makam keluarga untuk berziarah.
Sebagai tradisi, hingga kini tak ada yang melarang budaya ini. Sebagian besar, mengaku tetap akan meneruskan tradisi nenek moyang mereka. [cha/rnw, berbagai sumber/hidayatullah.com]