BEBERAPA orang terlihat tengah membuat perahu kayu yang biasa digunakan untuk mencari ikan. Berhadapan dengan rumah-rumah penduduk, terdapat sebuah sungai berwarna hitam pekat. Siang itu cuaca sedikit mendung, Mulyani (50) berjalan menuju warung sembako milik Marhasan (55) yang berjarak sekitar 150 meter dari rumahnya. Ia sedang berbahagia ketika itu karena baru saja ia menerima satu dirham hasil pemberian seorang dermawan.
Maklumlah beberapa hari belakangan, suaminya Lindung (55) sedang sakit sehingga tidak bisa mencari nafkah sebagai buruh angkut. Mulyani bermaksud membelanjakan dirham untuk barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ia memang telah terbiasa membeli kebutuhan pokok di warung Pak Haji, sapaan Marhasan.
“Mau beli apa, Bu?,” sapaan Marhasan ramah.
“Mau beli sembako, Pak Haji. Pakai dirham ya?” kata Mulyani.
“Bisa. Mau dibelanjakan semua?” tanya Marhasan kembali.
“Iya dibelanjakan semua aja,” jawab Mulyani.
Dengan satu dirham (setara dengan Rp. 33 ribu), Mulyani sudah memperoleh dua liter beras, satu kilogram gula pasir, satu kantong penyedap rasa, lima bungkus mie instan, lima sachet kopi, dan satu liter minyak goreng.
Jangan keliru, ini bukan terjadi di Timur Tengah atau adegan film dokumenter. Inilah potret geliat transaksi dirham yang terjadi di Sungai Landak. Jangankan disebut kawasan elit, jalan yang membentang pun dipenuhi lumpur dan ceceran oli yang biasa digunakan untuk mesin perahu. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi jalan ini apabila turun hujan?
Akhir-akhir ini, di beberapa daerah di Indonesia fenomena transaksi barang dan jasa dengan menggunakan dinar-dirham semakin menggeliat. Salah satunya di Sungai Landak Cilincing, Jakarta Utara. Di Sungai Landak terdapat puluhan pedagang barang dan jasa yang menerima pembayaran dengan dirham.
Beberapa waktu lalu, Hidayatullah.com sempat menyambangi kawasan yang hanya berjarak beberapa meter dari Pantai Marunda ini. Karena berdekatan dengan pantai, masyarakat di Sungai Landak kebanyakan berprofesi sebagai nelayan atau pencari kerang.
Mulyani mengaku sudah empat kali berbelanja menggunakan dirham. Meski dirham yang diperolehnya merupakan sedekah orang lain, tetapi ibu sembilan anak ini tetap berharap satu saat bisa menggunakan dirham hasil dari jerih payahnya.
Upah suaminya sebagai buruh angkut nelayan yang tak menentu, membuatnya sulit untuk bisa memperoleh satu dirham.
“Saya ingin sekali pakai dirham dari uang saya sendiri. Namun, uangnya sulit terkumpul, mas!” jelas Mulyani kepada Hidayatullah.com.
Sementara itu, Marhasan mengaku sering menerima dirham dari pembelinya. Pernah dalam satu hari Marhasan menerima 23 keping dirham dari pembeli. Bahkan juga ada warga negara Norwegia dan Singapura yang membelanjakan dirham ke warung miliknya.
Menurut Marhasan, saat ini memang masih agak sulit untuk untuk mendapatkan pecahan dirham (daniq). Karena itu, bila ada pembeli yang hanya berbelanja setengah dirham, sementara uangnya satu dirham, Marhasan akan memberikan kembaliannya berupa uang rupiah.
Selama ini dirham yang diperoleh Marhasan selalu ditukar ke Wakala al-Faqi. Padahal, ia ingin sekali tetap menggunakan dirham sebagai alat transaksi.
“Kalau seluruh pedagang menerima dirham, saya pasti tak akan menukarnya ke Wakala. Saya akan membelanjakan dirham untuk keperluan warung,” ujar lelaki yang sudah menetap di Kampung Nelayan Sungai Landak sejak 1983.
Wisata Dinar-Dirham
Memang belum semua pedagang di kawasan kumuh ini menerima pembayaran dengan dirham. Menurut Sofyan al-Jawi, Pemilik Wakala al-Faqi, baru ada sekitar 30 pedagang yang menerima dirham. Namun, Sofyan optimis, ke depan akan banyak pedagang yang mau menerima dirham.
Fenomena ini, pernah membuat Umar Ibrahim Vadillo, Ketua World Islamic Trade Organization (WITO), menyempatkan berkunjungan Sungai Landak, saat ia ke Indonesia pertengahan Juli 2010. Umar Ibrahim bahkan berharap agar Sungai Landak ini dijadikan kawasan wisata dinar-dirham.
Selama ini, kata Sofyan, masyarakat Sungai Landak baru sebatas membelanjakan dirham saja. Karena memang harga kebutuhan pokok tak terpaut jauh dengan nilai dirham. Itu pun dirham yang diperoleh masyarakat merupakan hasil zakat yang diberikan Baitul Maal Nusantara (BMN) setiap Ramadhan. Meski begitu, Sofyan merasa bangga dengan kesadaran masyarakat untuk menggunakan salah satu pilar ekonomi syariah ini.
Selain ke warung Marhasan, Hidayatullah.com juga menyambangi pedagang lain yang menerima dirham, yaitu Sabeni (45), pemilik toko obat. Toko yang buka dari pukul 8.00 hingga 24.00 ini dalam sepekan paling tidak menerima transaksi satu dirham dari pembelinya.
Di toko yang menyediakan beragam obat-obatan, hidayatullah.com sempat melakukan transaksi menggunakan dirham untuk membeli sebotol madu. Madu seberat 350 gram tersebut dibandrol dengan harga 1 dirham.
“Nilai dirham stabil, bahkan cenderung naik. Saya senang kalau ada pembeli pakai dirham,” kata Sabeni memberikan alasan kenapa menerima pembayaran dengan dirham.
Tepat di sebelah toko obat Sabeni, terdapat pula kios pulsa milik Fera Anggraeni (25). Seperti halnya toko obat Sabeni, Fera juga menerima pembayaran dengan dirham. Untuk pulsa elektrik senilai Rp. 25.000, ia bandrol dengan harga satu dirham.
Di sepanjang jalan Sungai Landak tempat toko obat Sabeni, kios pulsa Fera, dan toko sembako Marhasan berada, pedagang-pedagang lain seperti warung nasi uduk, bengkel tambal ban, warung pecel lele, warung nasi goreng, bahkan pedagang gerobak keliling mie ayam pun menerima transaksi dengan menggunakan dirham.
Meski masih terbilang terbatas, tetapi fenomena ini membuktikan bahwa dinar-dirham sangat mungkin untuk digunakan sebagai alat tukar umat. [syaf/hidayatullah.com]