Hidayatullah.com–Siang itu, matahari berada pas di ubun-ubun. Hawa panas serasa membakar tubuh. Kendati begitu, tak sedikit pun kesibukan warga kota Palembang berhenti. Semuanya terlihat hanyut dalam aktivitas masing-masing. Sejumlah toko di sepanjang jalan ramai oleh pembeli. Lalu lalang kendaran pun padat merayap.
Tak lama kemudian, dari atas menara masjid Agung Palembang terdengar azan. Seperti azan di stasiun TV, suaranya indah sekali. Beda dengan sengatan matahari, azan indah itu ternyata sedikit menghentikan aktivitas warga. Terlihat sejumlah orang; ada yang berjalan kaki, naik motor dan mobil bergerak menuju masjid hendak shalat zuhur berjamaah.
Mereka berbondong-bondong masuk ke sebuah ruangan cukup besar. Ruangan ini terbilang indah. Setiap jendela dan pintunya dipenuhi ukiran warna keemasan. Sedang plafonnya terdapat kaligrafi 99 asma Allah yang baik (Asmaulhusna) dan di tengahnya ada lampu hias. Di sinilah tempat shalat lima waktu diadakan.
Ruang yang bernama Darussalam ini mampu menampung lebih dari seribu jamaah. Tak terlalu banyak memang, tapi setidaknya selalu penuh pada setiap waktu shalat. Beda halnya jika berkunjung ke beberapa masjid Agung lainnya, ruang khusus shalat luas, tapi yang shalat hanya beberapa shaf saja.
Pada zuhur kali itu, ruang Darussalam penuh. Di rakaat pertama, sisa tiga shaf paling belakang satu persatu diisi jamaah. Di bagian belakang sisi kiri, ada sekat khusus perempuan. Ukurannya sekitar 7 x 7 m, jauh lebih sempit dibanding tempat laki-laki.
Uniknya, usai shalat sebagian besar jamaah tetap berdiam diri di masjid. Mereka membentuk lingkaran. Lalu, seorang ustadz memakai jubah, songkok dan sorban serba putih dililitkan di leher menyampaikan ceramah. Dai muda itu menyampaikan pentingnya menjaga silaturahmi. Jelas, ringan dan enak didengar. Terlihat, antusiasme jamaah sangat tinggi. Seluruh mata ke depan.
Yatim Adnan, contohnya. Warga asal Plaju, Palembang dari tadi tak beranjak dari tempat duduknya.
“Saya suka. Sebab, ceramahnya sederhana dan mudah dipahami,” ujar lelaki berjenggot tipis ini.
Dai tersebut bernama Dahlan. Ia termasuk dai tetap masjid Agung yang siang itu bertugas memberikan ceramah. Dahlan mengatakan, kegiatan seperti itu rutin diadakan usai bakda zuhur.
“Selama 30 menit ba’da zuhur, selalu diadakan ceramah agama,” katanya kepada hidayatullah.com usai ceramah. Dahlan mengaku belajar agama dari kyai ke kyai.
“Saya tak pernah kuliah. Belajar agama langsung ke kyai,” ujarnya.
Menurut Dahlan, pihak masjid menyediakan dai khusus untuk mengisi ceramah. Tema yang disampaikan telah ditentukan pihak masjid. Tema tersebut seperti, tauhid, fiqih, dan muamalat. Sebisa mungkin, tidak membahas masalah khilafiyah (perbedaan pendapat).
Dahlan mengatakan, masjid Agung Palembang sendiri menganut madzhab Imam Syafi’i. Tak pelak, seluruh pelaksanaan ibadah di masjid kebanggaan wongkito itu mengacu mazhab imam Syafi’i. Kendati begitu, ujar Dahlan jarang ada perbedaan.
“Jika ada masalah khilafiyah, sebisa mungkin untuk dihindari,” jelasnya.
Kondisi keislaman warga Palembang dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatakan. Ketua yayasan masjid Agung Drs. H. Anshori Madani, M.Si, mengatakan, semangat beribadah warga Palembang dari hari ke hari makin menggembirakan.
“Kini banyak warga yang mau shalat berjamaah di masjid. Mereka juga suka belajar Islam,” ujar Anshori pada hidayatullah.com di kantornya.
Melahirkan ulama
Sepintas, jika dilihat seksama, masjid Agung Palembang ini tak beda dengan bangunan biasa. Hal ini karena masjid ini tidak memiliki kubah besar, seperti masjid Agung pada umumnya. Masjid yang juga dikenal masjid Sulthon ini hanya memiliki atap yang berundak limas tingkat dengan gaya arsitektural tradisional.
Tidak hanya itu yang mengundang decak kagum. Letak masjid Agung ini yang menjadikannya indah. Di sebelah timur sekitar 500 m terletak sungai musi sepanjang 460 km yang mengalir dari selat Bangka hingga ke bukit Barisan.
Di atasnya berdiri kokoh dan indah jembatan Ampera yang menghubungkan seberang hulu dah hilir kota Palembang. Sedang di sisi Utara masjid Agung, terdapat bundaran air mancur yang berwarna-warni.
Masjid Agung didirikan oleh Sultan Machmud Badarudin I pada 1 Jumadil Akhir 1151 atau 26 Mei 1748. Dulu orang lebih mengenal masjid Sulton. Masjid ini telah melahirkan sejumlah ulama terkemuka. Salah satunya Syekh Abdussomad Al Falembangi. Ia pakar ilmu syariah dan tasawuf. Salah satu buku terkenalnya adalah “Sairus Salikin”.
Dalam perjalanannya, pada tahun 2003 masjid ini dikukuhkan sebagai masjid nasional. Ada cerita unik. Dulu, masjid ini dikelilingi tiga sungai. Di sebelah Selatan sungai musi, sebelah Timur Sungai Tengkuruk, dan sebelah Utara Sungai Kapuran. Kini, tinggal sungai Musi. Karena itu, masjid ini dulunya dikenal masjid pinggiran sungai musi.
Masjid Ki Muaraogan
Kota Palembang Darussalam juga dikenal sebagai kota maritim. Ini karena daerahnya didominasi sungai. Karena itu, banyak masjid yang berada di pinggiran sungai. Salah satunya masjid Ki Muarogan. Masjid yang berada tak jauh dari stasiun Kerata Api Kertapati ini memiliki sejarah panjang dan penting bagi penyebaran Islam di tanah Sriwijaya.
Sore itu, ketika hidayatullah.com berkunjung nampak puluhan murid Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) sedang asik mengaji. Terlihat juga sejumlah peziarah. Menurut banyak orang, hampir ada puluhan peziarah ke masjid ini tiap harinya. Mereka datang dari berbagai daerah. Sayang, bukan untuk ibadah, kebanyakan peziarah ini justru melakukan kesyirikan.
Seperti yang dilihat hidayatullah.com, ketika itu ada seorang yang sedang memandikan sepeda motor vespanya dengan air bunga. Konon, tujuanya agar terhindar dari bahaya. Padahal, jelas-jelas, di situ tertulis larangan bagi peziarah melakukan perbuatan syirik.
Di masjid ini terdapat makam Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud atau biasa disebut ki Merogan. Ia adalah pendiri masjid tersebut. Nah, banyak orang yang justru berdoa dan meminta pada ki Merogan yang jelas-jelas telah meninggal.
Masjid yang didirikan tahun 1871 m ini disebut Marogan karena lokasinya yang terletak di muara sungai Ogan. Kendati telah tua, tapi belum banyak perubahan dan direnovasi.
Menurut Wakil Ketua masjid yang katanya masih ada silsilah keturunan dengan kyai Marogan, Alwi H Abdussattar, kyai Marogan adalah salah satu peletak awal dakwah di Palembang. Selain dai, ujar Alwi, kyai Marogan juga pengusaha pabrik kayu. Alwi mengatakan, kyai merogan terkenal sebagai guru tarekat sammaniyah.
Masjid Marogan berada pas dibibir muara ogan. Tak pelak, pemandangan air sungai menambah pesona masjid tua ini. Sayang, keindahan dan nilai sejarahnya justru dikotori segelintir orang untuk kesyirikan.[Anshor/hidayatullah.com]