Hidayatullah.com | GUNUNG Kelud (Jatim) meletus, Februari 2014. Saat itu Ahmad Rifai dan istrinya, Dian Faristina, baru merintis usaha konveksi. Letusan itu pun berdampak pada bisnisnya. Tapi, dampak positif.
Usai bencana, Rifai bersedekah kepada para pengungsi. Di antaranya membagi-bagikan 1.000 pembalut kain cuci ulang, produk pengembangan dari popok kain cuci ulang yang dirintisnya.
“Padahal ya kami sedang dalam kondisi susah. Baru merintis bisnis dan tidak punya apa apa,” kenang Rifai.
Rupanya, dari situlah justru titik kebangkitannya. Tak lama setelah bencana, Allah mengganti dengan rezeki melimpah. “Awal bisnis saya grow-up (tumbuh) setelah kami menyedekahkan produk kami semua,” ungkapnya.
Sedekah merupakan salah satu resep Rifai dalam meraih sukses berbisnis. Resep lainnya, kata dia, dengan meninggalkan riba. Apa kaitan sedekah dan riba?
“Riba dilawan dengan sedekah. Itu prinsip kami dari ayat (al-Qur’an),” ujar Rifai, berpatokan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah: 276 yang melarang riba dan menyuburkan bersedekah.
Di tengah hegemoni riba yang mencengkeram banyak pengusaha, Rifai termasuk pebisnis yang mengaku sejak awal tak tergoda riba.
“Riba itu sebuah sistem yang melemahkan umat Islam,” ujar pria kelahiran Banjarmasin, 5 Maret 1982 ini.
Bisnisnya pun terus berkembang. Omzet dan labanya terus meningkat sejak sedekah ke pengungsi Kelud. “(Omzet per Juni 2020) Rp 200 juta, laba Rp 100 juta,” tutur Owner PT Zaada Usaha Mulia ini dikutip Suara Hidayatullah.
Rifai seakan punya 1001 cara sukses berbisnis tanpa riba, Sedekah tadi hanya salah satunya.
“Yang saya praktikkan ialah mengadopsi sistem organik. Itu bahasa saya. Maksudnya, enggak makai utang bank. Bank itu datang ketika melihat rekening kita terpantau tiba-tiba ada transferan sekian-sekian. Kan mereka mantau rekening kita.”
Rifai mengaku pernah ditawari kredit plafon pinjaman sampai Rp 200 juta. Padahal sama sekali belum pernah ketemu urusan bank. Namun ia tetap bertahan dengan modal awal dan komitmen untuk tidak terkontaminasi dengan pinjaman-pinjaman seperti itu.
“Itu yang saya maksud organik. Jadi, tumbuh dengan ‘pupuk’ sendiri. Tumbuh dengan membersihkan bisnis sendiri. Seperti itulah tanpa ada campur tangan yang lain,” tuturnya berbagi tips.
Qadarallah, dalam lima tahun terakhir bisnisnya terus naik. Diawali dengan 3 tahun secara organik.
“Tiba-tiba orderan dalam beberapa hari langsung grow. Tiba-tiba secara drastis grafiknya naik. Nah, ini unlogic Allah. Karena kita berpegang teguh dengan pemahaman bahwa kita itu harus mengikuti apa maunya Allah. Insya’ Allah, Allah kasih bonus.”
Unlogic Allah yang dimaksud, jelasnya, sesuatu yang tidak bisa dipikirkan (logika) manusia dan itu terjadi atas maunya Allah.
“Saya sedekahkan pembalut, balasan Allah berupa naiknya omzet dan banyaknya orderan. Itu namanya unlogic, endak logis,” jelas pria yang menetap di Kediri ini.
Rifai lalu menyebut sejumlah proses bisnis yang dinilai sangat simpel. Misalnya, jika seseorang tak punya barang, maka Islam mengajarkan adanya syirkah (kerjasama). Ajaran Islam juga mengajarkan sistem muamalah dengan menjualkan produk tanpa memiliki barangnya, tapi ada kesepakatan kerja sama. Contohnya makelar.
“Jadi, makelar dalam Islam sebenarnya bagus. Namun konotasi praktiknya banyak yang menyalahgunakan, sehingga makelar dianggap negatif,” ujarnya.
Tidak berutang juga salah satu caranya menghindari riba. Kalau seseorang berutang, pasti menurutnya nyemplung di lubang utang.
Menghindari utang juga dimaksudkan untuk tidak terburu-buru membesarkan bisnisnya, tapi membuat cepat juga jatuhnya.
“Kami bisnis dari awal sampai jual handphone, jual motor, ya tanpa utang. Mindset yang penting pertama ya kita enggak kepengin utang. Itu kesepakatan saya dan istri.”
Rifai mengaku, salah satu godaan dalam berbisnis tanpa ripa adalah rayuan utang dari bank. “Tawarannya itu luar biasa, pas saat-saat kita butuh biaya,” ujarnya.
Tapi karena Rifai dan istri istri sudah berkomitmen tak berutang, jadi tawaran itu dicuekin saja. Dikhawatirkannya, utang itu menjadi pintu masuk menuju riba.
“Jika saya ditawari melalui telepon meminta waktu (bicara), langsung saya menolak tegas. Mungkin saya kemudian di-blacklist, karena sampai sekarang (bank) enggak nelepon-nelepon lagi,” ujarnya.
Dakwah, “Marketing Paling Produktif”
Selain bersedekah, tidak makan riba, dan tidak berutang, Rifai mengaku juga aktif berdakwah. Bahkan ini bisa menjadi salah satu cara “marketing” produk yang paling efektif.
“Namun bukan dakwah lalu promosi, bukan ya! Misalnya, saya tergabung dalam Masyarakat Tanpa Riba. Saya membantu orang-orang yang kena masalah, kita dakwahi, kita ajak mereka kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yang mengikuti aturan Allah. Insya’Allah, bisa dibuktikan,” ujarnya.
Tips lainnya adalah harus belajar fiqih muamalah. Selain itu, juga mutlak memahami perihal konsep berprasangka baik kepada Allah.
“Siapa yang mendatangkan pelanggan? Bukan karena iklan. Siapa yang mendatangkan kita untuk beli bahan? Bukan karena costumer atau karena dana kita. Tapi karena Allah,” ujarnya.
Apakah dengan demikian lantas Rifai yakin 100 persen bisnisnya bebas riba?
“Kalau proses bisnis saya bebas riba, insya’ Allah. Tapi jika kena debu-debu riba, ya wallahu a’alam,” jawabnya.
Yang dimaksud debu-debu riba itu, misalnya, bertemu atau berurusan dengan lembaga perbankan.
“Bank itu debu-debu riba yang mau enggak mau kita terkena debunya. Kita enggak ngerti apakah konsumen kita pelaku riba apa enggak, sehingga tercampur, walaupun hukumnya terpisah. Ya namanya debu, walaupun sudah dipel, disapu, debu-debu nempel di tempat yang dibersihkan,” sebutnya.*
- Kisah pengusaha hijrah dari riba lainnya bisa dibaca di Majalah Suara Hidayatullah edisi Juli 2020