Ibarat pertandingan tinju, pandemi Covid-19 yang mulai muncul di Indonesia pada Maret 2020, seolah menjadi pukulan telak bagi industri perhotelan dan pariwisata. Itulah pula yang dirasakan oleh stakeholder Royal Regantris Hospitality.
“Dua tiga tahun belakangan adalah tahun-tahun terberat bagi kami. Saya rasa, juga berat bagi siapa saja,” ungkap Rudy Hermawan, Chief Operating Officer (COO) Royal Regantris Hospitality, dalam press conference di Hotel Royal Regantris Cendana Kota Surabaya, Senin (20/6/2022).
Royal Regantris Hospitality adalah perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata. Untuk hotel, saat ini ada 6 meliputi; Hotel Royal Regantris Cendana, Hotel Royal Regantris Surabaya, Hotel Royal Regantris Villa Karang di Gili Air Lombok Hotel Royal Regantris Trawangan di Gili Trawangan Lombok, Trizz Hotel Semarang, dan Hotel Royal Regantris Kute di Bali.
Rudy, sapaan akrabnya, pun memberikan gambaran kepada awak media yang hadir, kalau teman-teman ke Bali saat pandemi kemarin, mungkin ingin menangis. Di Kute, katanya, jika tiduran di tengah jalan pada malam hari nggak bakalan ada kendaraan bermotor yang melindas.
“Jika saya bilang ke teman-teman pakai dialek Surabaya, wis turuo kono nggak bakal koen kelindes motor, ketabrak ae nggak bakalan, karena saking sepine (sudah tidur saja di situ, kamu tidak akan terlindas motor apalagi sampai ketabrak, karena terlalu sepi jalannya),” jelas pria asal Kota Pahlawan ini.
Sebelum pandemi, masih kata Rudy, bule (wisatawan asing,-red) yang berangkat dari Bali ke Gili Trawangan bisa mencapai 1.400 orang saban hari. Namun ketika pandemi tidak lebih dari 50 orang. “Ketika kami berkunjung ke sebuah pulau di Gili Trawangan seolah pulau itu mati. Hanya hotel kami yang menyala,” selorohnya.
Bahkan, pada awal pandemi, baik Royal Regantris Surabaya maupun Royal Regantris Cendana tutup selama tiga bulan yakni April sampai Juni 2020, karena ada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan oleh pemerintah setempat untuk menekan serta mencegah terjadinya penyeraban virus Covid-19 yang semakin massif pada saat itu.
Nah, menariknya, pukulan telak itu tak sampai membuat Royal Regantris Hospitality dalam posisi KnockOut (KO)–alias gulung tikar. Lantas, apa kiat yang sudah dilakukan para stakeholder hingga Royal Regantris Hospitality tetap mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19?
Berkah Berbagi Sesama
Selain memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat sekitar, khususnya anak yatim serta keluarga tidak mampu secara finansial, program-program kegiatan sosial yang digalakkan oleh stakeholder Royal Regantris Hospitality, secara tidak langsung juga menghadirkan keberkahan tersendiri.
“Kalau (berbagi,-red) semacam itu, nyuwun sewu, memang sudah menjadi kebiasaan teman-teman di corporate. Jadi kami tak pernah menghubung-hubungkan, misalnya kalau sedekah maka rezekinya akan bertambah. Atau kalau sedekah, semua masalah akan dimudahkan,” ujar Rudy.
Kendati demikian, Rudy tidak menampik, bahwa kemampuan untuk survive di tengah kondisi yang sangat berat akibat pandemi itu salah satunya berkah dari berbagi lewat berbagai program sosial yang telah dilakukan. Mulai dari berbagi masker, buka stand nasi goreng gratis, berbagi nasi bungkus, mengundang anak yatim dhuafa untuk buka puasa bersama, hingga membersihkan dan merenovasi masjid.
“Pasti ada dampak positifnya bagi perusahaan,” kata Rudy kepada hidayatullah.com usai acara press conference.
Terkait program kegiatan sosial, Rudy mengungkapkan, anggarannya selama ini dari perusahaan. Secara corporate, katanya, ada alokasi dana khusus yang dapat dibilang sebagai Corporate Social Responsibility (CSR)-nya Royal Regantris Hospitality. Bahkan tak jarang para stakeholder pun rela untuk merogoh kocek sendiri.
“Nggak ada prosentase khusus. Jadi kalau kita punya program inginnya bisa seefisien mungkin. Misal kemarin kita undang anak yatim, kita biasanya mengajak vendor atau suplier untuk mendukung. Tapi memang, sebagian besar dari perusahaan. Kita susun program selama setahun, budgetnya berapa. Termasuk di dalamnya program sosial,” para Rudy.
Rudy menjelaskan, sikap gemar berbagi itu selaras dengan para pemegang saham di Royal Regantris Hospitality.
“Banyak sedekah, banyak rezeki. Ya sama seperti itu. Para pemegang saham kita jika sudah Ramadhan itu menganggarkan untuk buka bersama anak yatim. Ya konsepnya sama. Bisnis ini juga harus berbagi. Kebetulan juga, teman-teman di corporate punya konsep yang sama sehingga bisa langgeng,” terang Rudy.
Bahkan, Rudy menegaskan, pada awal pandemi, meskipun hotel dalam kondisi tutup tapi pihaknya masih berbagi masker dan nasi bungkus untuk masyarakat di Surabaya. Dan bagi pegawai yang terpaksa di-PHK (Putus Hubungan Kerja), pihaknya pun masih memberikan sembako selama tiga bulan.
Inovasi dan Efisiensi
Tidak sekadar berbagi, ikhtiar yang dilakukan Rudy bersama stakeholder lainnya agar Royal Regantris Hospitality bisa tetap bertahan di tengah pandemi adalah melakukan berbagai inovasi untuk penyesuaian-penyesuaian selama new normal. Salah satunya, yaitu menggandeng Event Organizer (EO) dan Make Up Artist (MUA) buat menggelar acara wedding (pernikahan) dengan konsep baru.
“Jujur hotel kami diselamatkan dengan banyaknya acara wedding. Kami buat skema wedding yang sesuai new normal. Jika sebelumnya tamu bisa mencapai 1.000 orang saat wedding, selama new normal hanya 300 orang. Itupun masuknya harus gantian. Kami siapkan tes antigen di hotel. Kami juga siapkan kamar isolasi,” terang Rudy.
Menurut Rudy, banyak yang berubah dalam bisnis perhotelan, baik itu saat pandemi maupun setelah pandemi mulai terkendali. Dalam sisi perilaku tamu, ungkapnya, ada tamu yang sangat menjaga protokol kesehatan serta cenderung sangat takut dengan penyebaran Covid-19. Namun ada juga tamu yang biasa-biasa saja bahkan tak begitu mempedulikannya.
Selain melakukan terobosan baru era new normal, Rudy mengatakan, pihaknya juga harus menjalankan sejumlah efisiensi. Hal itu dilakukan sebagai sebuah resiko karena okupansi yang terus anjlok dan menyebabkan pendapatan perusahaan kian terpuruk. Diantara efisiensi itu yakni memberikan gaji tidak penuh, pengurangan jam kerja dan mengharuskan karyawan bisa melakukan lebih dari satu pekerjaan.
“Dulu sebelum pandemi, satu karyawan hanya melaksanakan satu tugas. Jika house keeping ya house keeping saja. Kalau resepsionis ya resepsionis saja. Namun selama pandemi kemarin, semua orang harus bisa melakukan banyak tugas. Bahkan General Manager (GM) kami, harus melakukan giliran jaga jam malam,” paparnya.
Rudy bersyukur, menginjak tahun 2022 ini, bisnis perhotelan mulai berangsur-angsur membaik meski belum penuh 100 persen. Dia memaparkan bahwa okupansi hotel di Bali serta Lombok sudah mencapai 70 persen. Begitu pula okupansi hotel di Surabaya sudah 50 persen dan di Semarang 60 persen.
“Okupansi sudah mulai membaik beberapa bulan terakhir. Tetapi untuk harga masih rendah, sekira 30 persen dari harga normal. Seperti Hotel Royal Regantris Trawangan harga normalnya Rp 900 ribu, kami jual Rp 300 ribu. Kami belum berani menaikkan harga, karena kondisi sekarang masih pemulihan. Tamu dari luar negeri juga belum banyak, karena harga tiket pesawat yang cukup mahal,” tambahnya.
Sedangkan bagi hotel yang ada di kawasan wisata seperti Bali dan Lombok, menurut Rudy, tidak ada masalah karena ada banyak wisatawan. Tapi untuk hotel yang ada di perkotaan, seperti Surabaya dan Semarang cukup menjadi masalah, karena sekarang acara-acara pemerintah belum begitu banyak.
“Belanja pemerintah untuk acara di hotel itu sangat membantu bisnis perhotelan. Di hotel kami, okupansinya bisa mencapai 30 persen. Karena itu, marketnya hotel-hotel perkotaan itu mengandalkan pemerintah. Namun sekarang pemerintah masih belum banyak menggelar acara di hotel,” bebernya.
Bekerjasama dengan UMKM
Kebermanfaatan akan hadirnya Royal Regantris Hospitality tak hanya bisa dirasakan oleh anak yatim dan dhuafa, maupun keluarga kurang mampu. Tapi juga bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sekitarnya.
“Ketika kemarin pemerintah mulai melonggarkan kebijakan dan pandemi juga mulai berkurang, kami mencoba untuk bangkit kembali. Tapi kami tak ingin bangkit sendiri, kecuali juga ingin bangkit bersama dengan pelaku UMKM. Hotel kami di Kute, selama pandemi kemarin menjual souvenir dari UMKM,” ungkap Rudy.
Rudy berharap, kerjasama dengan para pelaku UMKM itu tidak hanya terjalin di Kute, namun juga hotel-hotel milik Royal Regantris Hospitality lainnya seperti di Semarang, Lombok, dan Surabaya. Khusus untuk Royall Regantris Cendana di Surabaya, sebelum dengan UMKM, sudah bekerjasama dengan MUA, EO, desainer, dan fotografer untuk menyelenggarakan new normal wedding.
Bisnis perhotelan, menurut Rudy, sangat bisa menggandeng UMKM. Selama ini Royal Regantris Hospitality sudah melakukannya, namun ke depan kerja sama itu ingin dia tingkatkan. “Di Surabaya, menu kikil yang jadi andalan itu bukanlah kami yang masak. Tapi kami ambilkan dari penjual kikil yang paling enak di Surabaya. Kalau habis, yang kami terpaksa sold out,” ungkapnya.
Meski terbuka lebar, masih menurut Rudy, menggandeng UMKM supaya produknya bisa masuk ke hotel juga tidaklah mudah. Karena hotel memiliki standar khusus yang harus dipenuhi. Ia mencontohkan, mengenai penyediaan daging sapi ataupun ayam. Ada standar pemotongan untuk satu ekor menjadi sekian potong serta harus bersih. Sementara untuk daging sebisa mungkin tidak tersentuh tangan secara langsung.
Kondisi seperti itulah yang menurut Rudi, masih sulit dipenuhi UMKM. Pelaku UMKM terkadang lebih memilih menjual di pasar yang tidak memiliki standar khusus. Daging cukup digantung di lapak, pembeli sudah datang. “Mindset seperti ini harus diubah. Dan ini tantangan buat kami,” ungkapnya.
Yang paling mudah dilakukan dalam rangka ikut memberdayakan UMKM, jelas Rudi, adalah membuat video atau gambar yang nantinya akan dipasang di lobi hotel, di kamar atau ditayangkan di TV. Dengan begitu, tamu akan melihat informasi tersebut.
“Tiap tamu yang datang, mereka pasti ingin mencari masakan lokal. Karena itu untuk bisnis kuliner khas daerah itu sangat menjanjikan. Jika ada tamu dari luar kota yang membawa keluarganya, jika ayahnya sedang rapat, ibu dan anak-anaknya biasanya ingin ke luar hotel. Tempat yang ingin dituju adalah kuliner khas daerah dan tempat souvenir,” jelasnya.
Rudi mengatakan target kerjasama dengan UMKM yang ingin dikembangkan di Royal Regantris Hospitility bukan berapa pihak hotel mampu menjual barang UMKM, tapi lebih kepada mengenalkan branding-nya. “Ketika orang di lobi melihat brand UMKM, mereka tahu dan akan mencarinya. Jadi efek branding-nya yang besar,” jelasnya.
Berawal dari Bali
Royal Regantris Hospitality mulai beroperasi tahun 2016, sebagai perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata. Untuk pertama kalinya, stakeholder membeli sebuah hotel di Kute, Bali.
“Stakeholder kami berasal dari Surabaya. Tapi pertama kali masuk bisnis perhotelan di Bali. Kita berinama Hotel Singosari, karena jalan di depan hotel itu bernama Jalan Singosari. Seiring berjalannya waktu, nama hotel harus diganti Royal Regantris Kute,” ujar Rudy.
Setelah hotel dengan brand Singosari terkenal, ternyata nama tersebut lebih dahulu dipakai oleh sebuah hotel di Kota Batu, Jawa Timur. Bahkan, juga sudah didaftarkan serta memiliki Hak Paten. Karena sama-sama terjun di bisnis perhotelan, maka Rudy pun berinisiatif untuk mengubah namanya.
“Karena sudah ada yang pakai, kami tentu tidak ingin ada masalah. Meski tanpa ada somasi dan hanya lewat whatsapp pemberitahuannya oleh pemilik Hotel Singosari di Batu. Kami cek juga sudah dipatenkan. Kami harus ganti nama karena terjun di bisnis yang sama yaitu perhotelan. Kalau berbeda bidangnya tidak masalah,” ungkap Rudy.
Setelah berdiskusi, akhirnya jajaran manajemen sepakat untuk mengganti nama dari Singosari menjadi Regantris. Menurut Rudy, tak ada akronim dari kata ‘Regantris’ ini. Munculnya nama tersebut karena stakeholder bermula ingin mencari kata yang tidak ada dalam mesin pencarian di Google. Dan ketika di ketik kata Regantris, Google pun hanya akan memunculkan nama hotel di bawah naungan Royal Regantris Hospitality.
Meski tidak memiliki akronim khusus, nama Regantris dipilih dengan menyematkan tiga filosofi perusahaan, yaitu harapan, keyakinan, dan karakter perusahaan.
Setelah berdirinya hotel pertama di Kute, Bali, para stakeholder pingin setiap tahun hotelnya bertambah. Sehingga pada tahun 2017, mengakuisisi Art Hotel yang berada di Jalan dr. Soetomo, Surabaya. Setelah tiga tahun kemudian, hotel ini berganti nama menjadi Regantris Hotel Surabaya.
Kemudian pada tahun 2018, mendirikan fastboat dengan nama Golden Queen. Jasa penyeberangan wisata ini memiliki dua armada yang melayani rute Padangbai, Bali, dengan tujuan ketiga pulau Gili di Lombok dan dari Padangbai ke Nusa Penida, Bali.
Lalu pada tahun 2019, mengakuisisi Hotel Cendana Surabaya yang berikutnya diberi nama Royal Singosari Cendana, dan diubah menjadi Hotel Royal Regantris Cendana. Pada 2020 saat pandemi Covid-19, stakeholder mengakuisisi hotel di Gili Air, Lombok. Hotel ini diberi nama Hotel Royal Regantris Villa Karang. Pada tahun yang sama, juga membeli hotel di Semarang dengan nama Triiz Hotel.
“Lalu tahun 2021, kami mengoperasionalkan hotel di Pulau Gili Trawangan, Lombok dengan nama Hotel Royal Regantris Trawangan,” imbuhnya. Rudi menegaskan, bahwa semua unit usaha yang tergabung di bawah naungan Royal Regantris Hospitality ini, sepenuhnya dimiliki oleh satu stakeholder yang sama-sama dari Surabaya. “Kami belum menerima investor lain untuk masuk. Sepenuhnya masih kami kelola sendiri,” pungkasnya.