Hidayatullah.com | KABUT putih masih menyelimuti pagi di Dusun Garuang, Rantebua, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Sudirman Rupa’ sudah berpakaian rapih bersiap meninggalkan rumah panggung sederhanaya. Sebelum berangkat, ia menggulung celananya hingga betis agar tak kena lumpur. Dengan motor bututnya ia melaju pelan di atas jalan desa yang masih bebatuan sambil menghindari kubangan air sisa hujan semalam.
Sudirman sedang menuju SDN 5 Rantebua untuk mengajar dengan jarak tempuh 8 kilometer dari rumahnya. Melewati jalan bebatuan itu rutin ia lakukan setiap hari demi mengajar anak-anak Toraja dengan gaji tak seberapa. Ia dipercayakan sebagai guru agama.
Meskipun sekolah umum, ia berusaha agar anak-anak didiknya bisa mendapatkan pemahaman Islam yang baik.
Usai mengajar ia mendatangi salah satu rumah warga utuk mengisi pengajian. Sore hari lanjut ke sebuah masjid untuk mengajar anak-anak mengaji, malam harinya di masjid lain ia mengisi pengajian. Begitulah rutinitasnnya sehari-hari.
Lelaki asli Toraja itu memilih jalan dakwah di kampung halamannya Toraja Utara. Memang di kampungnya sangat jarang sekali ditemukan seorang dai, sementara masyarakatnya masih sangat kurang pemahamannya tentang Islam. Dengan segala keterbatasanya, pelan-pelan ia membina warga yang sudah lama menjadi muslim tapi masih belum begitu paham tentang Islam.
Muslim di Toraja memang tergolong minoritas. Kebanyakan orang lebih mengenal Toraja sebagai daerah tujuan wisata yang dikunjungi banyak pelancong mancanegara. Bagi banyak orang, etnik Toraja masih identik dengan pemeluk agama Kristen dan mereka kurang mengenal keberadaan orang-orang asli Toraja yang menganut agama Islam.
“Mereka membutuhkan pemahaman-pemahaman dasar Islam. Bahkan hal yang paling lumrah, ada yang bertanya mengenai makna dua kalimat syahadat, padahal ia sudah Islam sejak lahir,” tutur alumnus STAIN Palopo itu.
Pelan-pelan ia membimbing warga di sana meski pun jaraknya berjauhan dan medan jalan yang belum memadai tetap ia lakukan demi pemperkuat aqidah mereka.
Memang melelahkan akuinya, tapi Sudirman menegaskan siapa lagi yang harus membina masyarakat di sini selain putra daerah sendiri. Sebagai putra daerah tentu menguntungkan baginya karena tak sulit lagi melakukan pendekatan karena dia paham betul karakteristik warga kampungnya.
Ketika ditanya bagaimana menghidupi istri dan anak-anaknya, ia menjawab, “Allah tidak buta. Dia pasti memperhatikan perjuangan kami dan alhamdulillah keluarga saya masih bisa makan.”
Harapannya kedepan ia ingin membuat rumah tahfidz atau pesantren agar jamaahnya lebih terkondisikan dan terarah dalam mendalami Islam ini dan mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. *Sirajuddin Muslim