Media sosial (medsos) makin kehilangan nilai, sulit membedakan mana yang benar dan mana rekayasa, terlalu banyak drama dan jadi hamba algoritma
Hidayatullah.com | MEDIA sosial, dulunya ruang berbagi informasi dan membangun komunitas, kini banyak dikritik karena kontennya yang berulang, drama berkualitas rendah, dan algoritma yang membingungkan.
Platform seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan X disebut telah kehilangan nilai aslinya dan malah memicu pola penggunaan tidak sehat seperti doomscrolling dan perbandingan sosial tidak realistis, yang berujung pada masalah kesehatan mental.
Menurut Ketua Umum Persatuan Konsumen Siber Malaysia (PMI), Siraj Jalil, media sosial kini dipenuhi akun palsu yang menyebarkan fitnah, hasutan SARA, hingga provokasi emosional.
Konten bermuatan seksual dan asusila, serta manipulasi berbasis kecerdasan buatan (AI) seperti deepfake, memperparah kerusakan ini.
“Media sosial juga menjadi ajang menormalisasi budaya mempermalukan pihak lain di depan umum atas nama konten dan tren,” ujar Siraj dikutip Kantor Berita Bernama.
Ia menambahkan, konsumsi media sosial yang berlebihan — hingga dua jam 46 menit per hari rata-rata bagi warga Malaysia — meningkatkan risiko kelelahan emosional, ketidakseimbangan mental, dan hilangnya motivasi.
“Pengguna semakin bingung membedakan mana yang benar dan mana yang direkayasa,” kata Siraj, merujuk pada banyaknya narasi palsu yang beredar.
Fenomena ini terkait dengan Teori Spiral Keheningan Elisabeth Noelle-Neumann, di mana suara rasional tenggelam di tengah dominasi suara keras dan beracun.
Akibatnya, media sosial menjadi ruang yang “semakin tidak seimbang dan represif secara psikososial,” imbuhnya.
Budaya Pembatalan dan Krisis Nilai
Siraj juga mengkritik budaya cancel culture, di mana individu dihukum sosial secara berlebihan karena pernyataan atau tindakan tertentu.
Contohnya, seorang influencer yang menerima kritik berat hanya karena menanggapi saran medis secara sopan di platform X. “Budaya ini menghilangkan ruang untuk koreksi dan melambangkan ketidakadilan,” katanya.
Kasus lain, seperti komentar tidak pantas saat pemakaman kenegaraan Tun Abdullah Ahmad Badawi, menunjukkan bagaimana segelintir pengguna dengan akun palsu bisa merusak suasana nasional dengan ujaran kebencian.
Siraj menegaskan pentingnya literasi digital berbasis nilai dan moral, bukan sekadar keterampilan teknis, sebagai bagian dari kebijakan pendidikan nasional.
Dampak Langsung terhadap Kesehatan Mental
Associate Professor Dr Muhammad Muhsin Ahmad Zahari dari Universitas Malaya memperingatkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berdampak pada seluruh kelompok usia.
Bagi anak-anak, ini menghambat perkembangan sosial dan pribadi, meningkatkan risiko gangguan seperti trauma dan kecemasan.
“Penggunaan berlebihan bisa menyebabkan kecanduan, terlihat dari kegelisahan ketika tidak bisa mengakses media sosial,” jelas Dr Muhammad Muhsin.
Ia juga menyebutkan gejala kelelahan digital seperti mata sakit, sakit kepala, gangguan tidur, kecemasan, hingga kabut pikiran.
Tekanan untuk tampil sempurna di media sosial, lanjutnya, memicu stres, kecemasan, hingga depresi.
“Ada individu yang menghabiskan uang melebihi kemampuannya demi citra di media sosial, berujung pada masalah keuangan dan mental,” ujarnya. Fenomena ini juga berkaitan dengan meningkatnya kasus fear of missing out (FOMO) dan depresi di kalangan remaja.
Risiko Kesehatan Mental
Media sosial yang pada awalnya bermanfaat, kini membawa risiko serius bagi kesehatan mental akibat konten beracun, tekanan sosial, dan ketidakmampuan memfilter narasi palsu.
Para ahli menegaskan perlunya langkah kolektif — dari individu hingga pemerintah — untuk meningkatkan literasi digital yang beretika dan berfokus pada kesehatan emosional pengguna.*