Hidayatullah.com—Sesuatu yang lumrah jika kematian pasangan bisa membuat pasangan sedih. Masajalnya, kesedihan bisa menyebabkan detak jantung menjadi tidak teratur, yang juga bisa mengancam nyawa, demikian menurut penelitian terbaru tentang risiko meninggal karena kesedihan yang berlebihan.
Penelitian terbaru menunjukkan, detak jantung menjadi tidak teratur akan dialami seseorang berikut kematian pasangan mereka, terutama jika mereka lebih muda atau orang yang dicintainya meninggal tiba-tiba.
Risiko fibrilasi atrium (AF) atau tidak teraturnya detak jantung dapat menyebabkan stroke dan penyakit jantung–adalah 41 persen lebih tinggi di kalangan orang-orang yang berkabung atas kematian pasangan mereka, dibandingkan dengan orang lain yang sedang tidak berduka, demikian ujar penelitian.
Fibrilasi atrium biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari biasanya dimana dapat menyebabkan tanda dan gejala, palpitasi (perasaan yang kuat dari denyut jantung yang cepat dalam dada), sesak napas atau nyeri dada.
Studi memperkuat penelitian sebelumnya yang telah menyarankan link antara gangguan irama jantung dan gejolak emosi, kata Dr Mark Estes, Direktur Pusat Aritmia Jantung New England di Tufts Medical Center, di Boston.
“Banyak pasien menggambarkan bahwa fibrilasi atrium mereka semakin buruk pada saat stres emosional,” kata Estes. “Ini benar-benar memvalidasi pengamatan sebelumnya. Itu adalah sesuatu yang kita dengar dari pasien kami sepanjang waktu,” demikian dikutip laman healthday.com, Rabu (06/04/2016).
Orang-orang yang kehilangan pasangan mereka tidak hanya pada risiko yang lebih besar terhadap pengaruh irama jantung yang abnormal, tetapi risiko lain yang mungkin berkontribusi terhadap gangguan, kata para peneliti.
Risiko tertinggi adalah pada hari ke-8 sampai hari ke-14 setelah kematian, yang kemudian menurun secara bertahap.
“Setahun setelah kematian pasangan, risiko hampir sama dengan seperti mereka yang melewati waktu berkabung,” menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Online, Open Heart.
Kebanyakan penelitian berfokus pada menjelaskan fenomena golongan yang berisiko meninggal dunia tidak lama setelah kematian pasangan mereka. Beberapa penelitian menunjukkan pasangan yang bersedih berisiko tinggi untuk meninggal dunia tidak lama setelah itu, terutama karena sakit jantung dan stroke, tetapi mekanisme tidak jelas.
Dr Suzanne Steinbaum, Direktur Kesehatan Jantung Wanita di Lenox Hill Hospital di New York City, mengatakan bahwa penelitian menunjukkan mengapa orang yang pernah mengalami kematian yang tragis dalam kehidupan mereka membutuhkan dukungan dari teman-teman dan keluarga.
“Kami menggunakan frase ‘patah hati’ seolah itu ucapan sehari-hari, tapi ada kenyataan itu,” kata Steinbaum. “Yang paling penting adalah memiliki sistem pendukung, terutama dalam hal tiba-tiba, kematian tak terduga. Ini sangat penting bahwa orang mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan,” ujarnya.*