Oleh: Ilham Kadir
IBARAT gasing, waktu begitu kencang berputar. Detik ke menit, menit ke jam, jam berubah jadi hari, lalu menjadi pekan, bulan, tahun, windu, abad, dan seterusnya.
Manusia dan waktu adalah dua bagian yang tak terpisahkan, seperti jiwa dan raga. Karena itu, waktu sangat esensi dalam perjalanan hidup kita. Esensi atawa mendasar, sebab dengan waktu manusia dapat menjadikan dirinya sukses atau gagal, bahagia atau sengsara.
Secara umum. Umat Nabi Muhammad memetakan perjalanan hidup manusia dengan lima fase yang semuanya terkait dengan waktu. Keempat masa tersebut adalah, masa penetapan, masa rahim, masa kehidupan di dunia, masa barzakh, dan masa akhirat.
Kelima fase tersebut, masa kelahiran manusia di dunia adalah menjadi bagian paling menentukan, akankah ia bahagia atau sengsara, selamat dunia-akhirat atau tidak, dan seterusnya. Bahkan, Allah sangat jelas memberikan peringatan, Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebajikan, saling menasihati dalam haq serta nasihat-menasihati dalam kesabaran, (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3).
Merujuk pada surah di atas, yang dalam Istilah Imam Syafi’i sebagai surah agung, keagungannya bahkan cukup mewakili segenap isi Al-Qur’an. Artinya, andai saja Allah menurunkan surah ini, maka itu sudah cukup menjadi pelajaran dan bimbingan bagi umat manusia untuk sukses dunia-akhirat.
Pilar-pilar kesuksesan yang berlandaskan pada optimalisasi waktu dapat dilihat dalam surat Al-‘Ashr di atas yang meliputi empat pilar utama yaitu:
Pertama. Beriman. Iman adalah dasar utama bagi hamba Allah setelah menyatakan diri beragama Islam. Jika rukun Islam adalah pondasi, maka iman adalah tiangnya, dan ihsan adalah buahnya. Iman, hanya dapat digapai dengan menegakkan pilar agama yang didahului dengan syahadat bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, La ma’bud illallah. Dan, bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, pembawa risalah dinul-Islam. Setelah itu, dipermantap dengan salat, zakat, puasa, dan ibadah haji bagi yang mampu. Amalan-amalan inilah yang disebut rukun Islam akan memantapkan, meneguhkan, bahkan meningkatkan iman seseorang.
Kedua. Beramal saleh. Di dunia ini, manusia dengan fitrahnya cenderum menicintai kebaikan, dan setiap orang yang melakukan kebaikan pasti disukai oleh siapa dan apa pun. Dengan beramal saleh maka segenap kemungkaran tidak akan terujud. Kekacauan yang merebak di mana-mana dengan ragam latar belakang dan motifnya dapat dipastikan karena nihilnya amal saleh. Maka, amal saleh ditinjau dari aspek sosial kemasyarakatan paling utama adalah mendorong manusia untuk berbuat baik dan mencegah mereka dalam melakukan kemungkaran, (al-amru bil-ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar’). Sedangkan dalam pespektif individual, amal saleh adalah pengabdian kepada Allah subhanahu wa ta’ala secara totalitas, menjadikan segenap aktivitasnya sebagai ibadah lillahi ta’ala. Itulah dimaksud oleh doa iftiah dalam salat, inna shalati wa nusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin. Sungguh, salatku, ibadahku, hidup dan matiku kupersembahkan hanya kepada Allah pemelihara alam semesta.
Dalam perpektif kenegaraan, amal saleh adalah mengabdi untuk bangsa dan negara. Pengabdian dapat dinilai berdasarkan kedudukan dan kapasitas masing-masing. Rakyat jelata, mengabdi pada negara dengan cara menjaga dan merawat lingkungan di mana ia berada, mulai dari kebersihan, hubungan antarsesama, rumah tangga, tetangga, kampung, dst. Seorang aparat pemerintah rendahan, dapat beramal saleh untuk negara dengan menjalankan fungsiinya sebagaimana mestinya, minimal adil dalam melayani masyarakat, hingga seorang kepala negara dapat beramal saleh untuk rakyat dan bangsa dengan begitu banyak jalan. Yang paling sederhana adalah memenuhi segala janji-janji kampanyenya, tidak bohong, apalagi khianat kepada bangsa dan negara dengan cara menjual asset-asset negara dengan harga yang murah demi memenuhi hasrat para penjilat dan perampok di sekelilingnya. Begitu banyak jalan untuk melakukan amal saleh dan dapat dilakukan dengan berbagai jenis, yang terkecil hingga yang besar. Terkecil adalah menyingkirkan duri di jalanan dan terbesar adalah rela mati di jalan Allah demi membela kebenaran menurut syariat. * (BERSAMBUNG)
Kandidat Doktor Pendidikan Islam Fakultas Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA)