IMAM IBNU AL JAUZI mengisahkan bahwa suatu saat salah satu fuqaha’ Baghdad hendak melaksanakan haji dan menziyarahi makam Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Akhirnya ulama besar yang dikenal keshalihannya ini mengajak beberapa muridnya untuk ikut serta.
Saat berada di tengah perjalanan para murid merasa kepayahan kerian terik sinar matahari dan rasa haus, hingga akhirnya mereka menyampaikan kepada sang guru,”Wahai guru, kita menuju rumah itu untuk berteduh, hingga cuaca teduh lalu kita melanjutkan perjalanan”, sang murid menujuk sebuah rumah penganut Nashrani.
Sang guru pun mengiyakan, hingga mereka berteduh di depan rumah tersebut. Karena kepayahan para murid pun tertidur meski sang guru tetap terjaga. Di saat itu sang guru meninggalkan mereka untuk mencari air wudhu. Namun di saat bersamaan saat ia mendongkan kepala ke atas ia melihat seorang perempuan dan sang guru pun terpesona dengan kecantikannya hingga iblis menguasainya. Hingga akhirnya ulama itu lupa terhadap wudhunya.
Sang guru akhirnya mengetuk pintu rumah tersebut dengan keras hingga keluarlah seorang pendeta Nashrani,”Siapa engkau?” Sang guru pun menjelaskan identitas dan namanya hingga pendeta itu bertanya,”Apa maksud kedatangan Anda wahai faqih Muslim?” Akhirnya sang faqih berterus terang menyampaikan bahwa ia ingin memperistri perempuan yang tadi dilihatnya berada di rumah tingkat atas. Pendeta itu pun menjelaskan bahwa perempuan itu adalah anaknya dan ia bisa saja menikahkannya dengan sang faqih namun dengan syarat bahwa wanita itu menyetujuinya.
Akhirnya sang rahib bertanya kepada putrinya, apakah ia bersedia menikah dengan sang faqih? Pada awalnya si perempuan merasa heran dengan pertanyaan itu, namun ia pun setuju dengan syarat agar sang faqih meninggalkan Islam dan memeluk ajaran Nashrani. Akhirnya sang faqih pun menjawab,”Baik aku tinggalkan Islam dan masuk ke agamamu”. Namun hal itu belum selesai karena wanita itu menuntut mahar, karena sang faqih tidak memiliki apa-apa wanita itu menawarkan mahar berupa kerja selama setahun untuk mengurusi babi-babi piaraannya dan sang faqih pun menjawab.”Ya, permintaanmu aku sanggupi dengan syarat jangan engkau tutup wajahmu hingga aku bisa melihatnya pagi dan sore hari”. Ketika sang perempuan itu menyanggupi maka sang faqih yang murtad itu mengambil tongkatnya yang biasa dijadikan tumpuan saat berkhutbah untuk dijadikan penghalau kumpulan babi dan menggembalakannya.
Para murid yang sudah mulai terjaga dari tidurnya pun kebingungan menyaksikan sang guru tidak berada di tempat hingga akhirnya ia bertanya kepada rahib sang pemilik rumah. Tatkalah rahib berkisah mengenai sang guru para murid pun menjerit, ada yang pingsan, ada yang menangis dan ada yang menyayangkan. Dan mereka pun menghampiri sang guru yang sedang menggembala babi, “Kenapa bisa jadi demikian wahai Syeikh? Bukankah Anda yang mengajari kami tentang keutamaan Islam, Al Qur`an dan Rasulullah Shallallahu ALaihi Wasallam?” Dan mereka pun menyampaikan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah di hadapan sang guru. Namun sang guru pun menjawab,”Sudahlah pergilah kalian, apa yang kalian sampaikan itu aku lebih paham dari kalian”.
Akhirnya para murid itu meneruskan perjalanan menuju ke Makkah dan meninggalkan sang guru dalam keadaan hati yang hancur setelah menyaksikan musibah yang menimpa sang guru. Namun setelah mereka menunaikan ibadah haji dan menempuh perjalanan untuk kembali menuju Baghdad mereka memutuskan untuk menjenguk sang guru dengan harapan beliau sudah bertaubat dan menyesali perbuatannya.
Setelah mereka tiba di rumah rahib Nashrani mereka semakin putus harapan, karena masih menyaksikan sang guru menggembala babi-babi, bahkan ketika mereka menyampaikan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, sang guru hanya diam tidak merespon. Kumpulan para murid itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sang guru.
Di tengah perjalanan, para murid itu mendengar ada teriakan panggilan dari arah belakang mereka. Tanpa disangka setelah menengok mereka menyaksikan bahwa sang guru telah menyusul lalu menyampaikan,”Aku besaksi bahwa tiada ilah yang patut disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah. Dan aku telah bertaubat kepada Allah dari apa yang telah aku lakukan! Dan apa yang menimpaku sebelumnya tidak lain adalah balasan atas dosa yang aku lakukan!” Akhirnya mereka pun bergembiran atas kembalinya sang guru dan meraka pun berkumpul kembali.
Saat para murid berkumpul di rumah guru untuk membaca di hadapannya, mereka mendengar pintu rumah diketuk. Setelah dilihat ternyata berdirilah seorang wanita,”Saya ingin bertemu Syeikh dan katakan kepadanya bahwa si fulanah putri pendeta ingin memeluk Islam”. Akhirnya dihantarkanlah wanita itu kepada sang guru dan beliau pun bertanya, apa yang menyababkannya ingin memeluk Islam. Akhirnya perempuan itu berkisah,”Setelah Anda meninggalkanku, di saat aku tertidur, aku bermimpi bertemu dengan Ali bin Abi Thalib dan beliau menyampaikan,’Tidak ada dien yang diridhai Allah kecuali dien Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam’. Dan beliau juga menceritkan bahwa Allah telah menurunkan bala’ kepada salah satu walinya melalui diriku”.
Akhirnya perempuan itu mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan sang faqih dan beliau pun bergembira dengan hal itu. Kemudian sang faqih pun menikahinya dengan mahar bacaan Al Qur`an dan Sunnah Rasulullallah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Para murid pun akhirnya bertanya kepada sang guru, dosa apa yang menyebabkan Allah menurunkan bala’ kepada beliau. Sang guru pun berkisah bahwa suatu saat ia melalui sebuah gang dan berpapasan dengan seorang penganut Nashrani, hingga sang guru pun mengatakan,”Menjauhlah engkau dariku dan laknat Allah atasmu!”. Si Nashrani pun bertanya,”Memang ada apa?”. Sang guru menjawab,”Karena aku lebih mulia darimu”. Si Nashrani membalas,”Apakah engkau tahu bagaimana kedudukanmu di pandangan Allah hingga engkau menyatakan hal demikian?” Lalu sang guru pun menyampaikan pada pada muridnya,”Telah sampai kabar kepadaku setelah itu bahwa lelaki Nashrani itu telah memeluk Islam dan beristiqamah dalam beribadah. Maka Allah menghukumku dengan apa yang kalian saksikan sebelumnya”. (lihat, Bahr Ad Dumu’, hal. 89)