Oleh: Sri Lestari
Sambungan artikel PERTAMA
Allah menciptakan keistimewaan ini bukanlah untuk menjadi alasan yang satu untuk meremehkan yang lain, tetapi supaya satu sama lain saling melengkapi dan menyadari bahwa mereka tak bisa hidup secara normal tanpa kehadiran yang lainnya.
Kesalahan berfikir utama para feminis adalah mereka menjadikan tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan bagi pria sebagai tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan bagi wanita.
Misalnya, para feminis mengatakan seseorang wanita bisa dikatakan berhasil dan sukses jika mereka bisa menghasilkan uang, mempunyai kedudukan tinggi, mempunyai posisi yang tinggi, kuat secara fisik, dan lain-lain.
Mereka lupa jika memang pria dan wanita berbeda. Dan hal ini lah yang tidak boleh diulangi oleh kaum muslim dan muslimah dalam menyongsong kebangkitan peradaban Islam.
Seperti yang telah kita ketahui, Allah telah melebihkan pria atas wanita dalam hal-hal tertentu, dan melebihkan wanita atas pria dalam hal-hal tertentu pula.
Ada 3 hal yang paling baik dilakukan oleh muslimah dalam rangka menyongsong kebangkitan Islam mewujudkan peradaban islam adalah dengan berusaha mengembangkan dan mempertajam keahlian mereka dalam hal-hal yang memang telah dilebihkan Allah atas mereka, tanpa mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka yang lain.
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS. An-Nisa’ [4]:32)
Pertama, menjadi pribadi panutan bagi kaum dan lingkungan tempat tinggalnya. Dalam hidupnya, wanita juga wajib berdakwah dan menyerukan Islam di komunitas dimana ia berada, dakwah dalam artian ini adalah mengajak orang agar cenderung kepada Islam.
Tetapi yang perlu digarisbawahi di sini adalah pengkhususan dakwah wanita. Seorang wanita mempunyai keistimewaan penyampaian dari ”hati ke hati”, seorang wanita harus menjalankan peran pengemban dakwahnya lebih kepada masalah-masalah yang di situ melibatkan kaumnya.
Ia mestilah lebih faham dalam hal-hal kewanitaan, walaupun tidak mengabaikan hal-hal yang lain. Selain itu seorang wanita mestilah menjadi contoh di lingkungan tempat ia berada, tidak eksklusif, berusaha memahami masyarakat tempat ia tinggal, berbaur dan melebur dengannya, tanpa mengorbankan hal prinsip yang ia anut.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16]:125)
Kedua, menjadi shahabat bagi suaminya. Banyak sekali hadits yang mengabarkan tentang pentingnya peran wanita dalam rumah tangga, khususnya perannya menjadi shahabat bagi suaminya.
Hal ini berarti bahwa wanita yang telah dan akan menjadi istri sangatlah besar pengaruhnya pada aktivitas sang suami. Kita bisa melihat banyak sekali shahabat dan tokoh-tokoh besar, mereka pastilah memiliki pasangan hidup yang luar biasa.
Nabi Muhammad juga memiliki pendukung yang sangat luar biasa, yaitu ibu Khadijah yang menjadi penyokong utama dakwah Islam.
Dengan kata lain, walaupun secara tidak langsung, peran wanita dalam mengingatkan, melayani, dan menemani suaminya sangat besar sekali sumbangsihnya dalam kebangkitan Islam dan kaum muslimin.
Bayangkan, bagaimana bisa seorang suami, yang nyata-nyata punya peran strategis di dalam da’wah menuju kebangkitan akan luar biasa pada da’wahnya seandainya ia tidak menemukan ketenangan pada istrinya.
Ingatlah, aku telah memberitahu kalian tentang istri-istri kalian yang akan menjadi penduduk surga, yaitu yang penyayang, banyak anak, dan banyak memberikan manfaat kepada suaminya; yang jika ia menyakiti suaminya atau disakiti, ia akan segera datang hingga berada di pelukan suaminya, kemudian berkata, ”Demi Allah, aku tidak bisa memejamkan mata hingga engkau meridhaiku.” (HR. Al-Baihaqi).
Ada seorang wanita yang pernah meminta izin kepada Nabi untuk turut serta berjihad.
Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, aku diutus oleh kaum wanita untuk menghadap kepadamu, sebagai wakil mereka dalam berjihad, yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kaum laki-laki. Apabila mereka menang (dalam jihad), mereka akan beroleh pahala (ganjaran); jika mereka gugur, mereka akan mendapatkan kemuliaan disisi Allah. Sementara itu, kami adalah kaum wanita.
Apabila kami membantu kaum laki-laki (dalam berjihad), apakah kami akan beroleh pahala?”
Nabi menjawab, ”Sampaikanlah salamku kepada kaum wanita yang mengutusmu. Menaati suami dan menjalankan semua perintahnya adalah sama pahalanya dengan orang yang berjihad. Sayangnya mereka banyak yang tidak menjalankan hal ini.” (HR. Al-Bazzar).* (BERSAMBUNG)
Pengurus Mushida Yogyakarta