BAGI seorang Muslim, ilmu dan hidayah (takwa) adalah dua hal yang tak boleh pisah dengan kehidupannya.
Sederhananya, jika orang itu merasa sedang susah belajar atau beramal shaleh maka tak perlu jauh menakar diri. Sebab boleh jadi ada pelanggaran atau keburukan yang dikerjakan sebagai penghalang yang sedang dicari dan dijalani.
Ibarat dua kutub yang saling berlawanan, ilmu adalah cahaya yang bersinar sedang dosa sebagai noda hitam penyekat. Amal ibadah ialah bukti ketawadhuan seorang hamba sedang kemaksiatan tak lain sebagai puncak kesombongan manusia.
Dua hal di atas tak bisa bergandeng apalagi menyatu sesamanya. Ketika orang itu melakukan dosa niscaya timbul setitik noda dalam hati manusia. Jika titik tersebut terus bertambah dan membesar, maka noda hitam bisa menjadi penghalang dari masuknya pancaran cahaya tersebut. Sebaliknya, cahaya kebaikan yang ditampakkan terus menerus mampu mengikis noda-noda hitam yang ada.
Sebab perbuatan panca indera adalah cermin dari kondisi hati dalam jiwa manusia. Termasuk dosa dalam berinteraksi dengan ilmu adalah ketika apa yang telah diketahui justru hanya sebatas kumpulan pengetahuan saja tanpa amalan.
Ibarat kata pepatah, ilmu tanpa amal bagaikan sebatang pohon tanpa buah. Adalah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Sesungguhnya kekurangan ilmu yang terjadi pada seseorang tak lain karena ia tidak mengamalkan apa yang ia ketahui. Andai seorang Muslim melaksanakan sebagian saja ilmu yang ia miliki, niscaya Allah mencurahkan lautan ilmu-Nya hingga tubuh ini tak kuasa lagi menanggungnya.”
Untuk itu, sikap memisahkan ilmu dengan agama adalah upaya keliru sebagian manusia yang mengaku ilmuwan. Ia hanya propaganda sekularisasi ilmu seperti yang dipopulerkan orang liberal saat ini.
Mereka menganggap tak ada hubungannya antara ilmu manusia dengan agama serta ketaatan kepada Allah. Kalaupun manusia butuh agama maka agama hanyalah pelampiasan sesaat dari kesibukan mengejar dunia. Tak ada perbedaan di antara agama. Menurut mereka semua agama sama-sama mengajarkan kebaikan kepada makhluk lainnya.
Jemput hidayah dengan mujahadah
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Surah al-Ankabut [29]: 69)
Dengan keumuman mujahadah (jihad) yang diperintahkan di atas, Allah menyediakan ragam bentuk hidayah untuk hamba-Nya. Berbagai hidayah dan pertolongan itu dirangkum oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an.
Imam Sahl bin Abdillah berkata: “Orang-orang yang berjuang menegakkan sunnah, niscaya Allah memudahkan mereka jalan menuju surga.”
Ibnu Abbas juga berkata: “Berjihad dan perangilah hawa nafsumu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, serta bersabar atas cobaan-Nya. Sebab hal itu akan mengantar seorang hamba meraih hidayah-Nya dan ia semakin dekat dengan Sang Rabb.”
Tabi’in, ad-Dhahhak, mengomentari: “Barangsiapa yang berjihad dalam urusan hijrah dan ketaatan, maka Allah menjamin ketetapan iman dalam dirinya. Perumpamaan sunnah di dunia layaknya surga di kampung Akhirat. Siapa saja yang memasuki surga maka ia selamat. Sebagaimana seorang Muslim yang senantiasa bermujahadah menegakkan sunnah dalam kehidupannya, maka ia juga termasuk orang yang selamat dalam kehidupannya.”
Berkata Yusuf bin Asbath: “Allah membantu menjadikan niat orang-orang yang mencintai kebaikan dan bermujahadah menjadi ikhlas dalam setiap amalan ibadah dan kebaikannya.”
Terakhir, al-Hasan bin al-Fadhl berkata: “Ayat ini mengandung takdim dan takhir dalam korelasi hidayah dan mujadahah. Seorang Muslim yang bermujahadah niscaya mendapatkan jalan hidayah.”
Mujahadah adalah instrumen yang dipersyaratkan oleh Allah dalam meraih hidayah-Nya. Sebagaimana hanya hamba yang diberi hidayah yang mampu bertarung all out (mujahadah) dalam menegakkan kebaikan dan kalimat tauhid di muka bumi ini.*/Masykur Abu Jaulah