Sambungan artikel PERTAMA
UNTUK memelihara kemuliaan dan kesucian keluarga, Abu Bakar akhirnya bersumpah tidak akan memberi maaf dan tidak akan ada lagi berhubungan baik seperti yang telah terjadi selama ini kepadanya. Namun Allah memperingatkan dengan menurunkan ayat-Nya:
وَلَا يَاۡتَلِ اُولُوا الۡـفَضۡلِ مِنۡكُمۡ وَالسَّعَةِ اَنۡ يُّؤۡتُوۡۤا اُولِى الۡقُرۡبٰى وَالۡمَسٰكِيۡنَ وَالۡمُهٰجِرِيۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ ۖ وَلۡيَـعۡفُوۡا وَلۡيَـصۡفَحُوۡا ؕ اَلَا تُحِبُّوۡنَ اَنۡ يَّغۡفِرَ اللّٰهُ لَـكُمۡ ؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang hijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang?” (QS: an-Nur: 22).
Setelah ayat ini turun, Abu Bakar ra berhubungan kembali dengan kerabatnya seperti dahulu, beliau juga memberikan maaf serta memberikan sumbangsih untuk keperluan hidupnya. Beliau memberi sesuatu seperti biasanya, dan beliau berkata, “Aku ingin agar Allah mengampuni aku.”
Sungguh beginilah tauladan agung yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan Sahabat Abu Bakar ini. Peristiwa semacam itu dalam versinya yang lain tidak mustahil juga ada dalam kehidupan kita.
Sikap berlapang dada dan mampu memaafkan orang lain inilah yang sebaiknya diambil. Sebab dengan berlapang dada akan menjadi tonggak-tonggak dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Dengan adanya saling maaf roda kehidupan ini berjalan seimbang.
Memang ada puncak-puncak di mana kita sebagai manusia biasa yang dhaif ini, kehabisan minat untuk memaafkan orang lain. Tidak ada keinginan untuk memaafkan manusia yang pernah berbuat salah dengan diri kita walaupun itu secuil saja.
Sifat tidak terpuji yang dilarang Allah ini tumbuh karena rasa jengkel dan kemarahan kita yang sangat besarnya kepada orang lain. Padahal boleh jadi bilalah kemarahan dituruti, tumpahan kemarahan kita belum seimbang dengan beban-beban moral yang telah kita alami. Allah yang Maha Adil, menuntun kita untuk memberikan maaf, membuka kelapangan dada selebar-lebarnya, sedongkol apapun menurut subyektivitas penilaian kita. Hanya keadilan yang maha sempurna akan diperlihatkan kelak di mahkamah kemuliaan-Nya.
Rasulullah ﷺ sebagai tauladan segenap alam memberi uswah untuk menonjolkan sikap pemaaf, hatta, kepada lawan yang paling jahat dan menjengkelkan. Begitulah nabi kita, panutan kita, mudah memaafkan kesalahan.
Memberi maaf memang suatu pekerjaan yang berat. Namun seuntai kata maaf sebenarnya memberi banyak kenikmatan dalam hidup dan kehidupan, dan menjadi pelega rasa dan jembar jiwa.
Allah swt berfirman di dalam Surah Asy-Syura: 43,
وَلَمَنۡ صَبَرَ وَغَفَرَ اِنَّ ذٰلِكَ لَمِنۡ عَزۡمِ الۡاُمُوۡرِ
“Dan sungguh siapa yang sabar dan suka memberi maaf, maka sesungguhnya pada yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS: Asy-Syura:43).
Demikiankan jika konsep Islam diterapkan maka hidup dunia terasa sangat indah, dan potensial menumbuhkan ketenteraman. Orang tidak perlu saling ngotot di dunia, karena siapapun yang melakukan kecurangan, kejahatan, pasti akan ada pertanggungjawabannya di akherat.
Bila budaya mudah memaafkan kesalahan atau saling memaafkan telah tumbuh, ditambah kesadaran bahwa hidup ini tidak berjalan tanpa pengawasan malaikat Allah, maka damailah semuanya. Orang tidak akan sewenang-wenang sekalipun tidak bisa dikenali, dan orang (korban) bisa gampang memberikan maaf sekalipun yang berbuat (pelaku) kesalahan belum muncul meminta maaf.*