Hidayatullah.com | DI tengah-tengah berseliwerannya berbagai berita yang masih berkaitan dengan wabah. Kalimat istirja’ innaa lillaahi wa Innaa ilaihi raaji’uun atau syaaffakallaah laa ba’sa wa thahuurun in syaa Allaah hampir tiap jam menghias layar handphone.
Semuanya itu semakin meyakinkan kita bahwa kematian itu sesuatu yang pasti. Baik karena Allah ‘azza wa jalla mengawalinya terlebih dahulu dengan kembang ujian berupa sakit, atau pun malakul maut yang datang menjemput secara tiba-tiba.
Keduanya kita yakini sebagai bentuk keimanan pada Allah dan hari akhir sekaligus. Benar kata Ustadzunal Fadhil KH. Syuhada Bahri yang menuturkan: “Iman kepada Allah fondasi kehidupan, sedangkan iman pada hari akhir kendali kehidupan.”
Tentu semua kita berbela sungkawa atas kematian yang sangat fantastis jumlahnya, tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, dan agama sekalipun. Namun, ditinggal wafat oleh para punggawa umat dan jurua dakwah memiliki arti tersendiri.
Maka sangatlah wajar, apabila seorang Rasul saja merasa terpukul qalbunya ketika Abu Thalib paman yang selama ini menyayanginya meninggal. Nabi berduka ketika permaisuri pendukung dakwah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiyallaahu ‘anhaa yang dicintanya wafat, dan benteng orang-orang beriman paman Hamzah gugur di medan tempur.
Rasa iba, gundah gulana, dan kesedihan yang tiada tara dialami pula oleh generasi emas sepanjang sejarah. Apabila sampai berita kematian kepada mereka dari orang-orang kekasih umat, mereka bersedih hati dengan kesedihan yang mendalam.
Meratap adalah sikap tercela dalam beragama. Namun menunjukkan kesedihan itu merupakan fitrah insaniyah dari ungkapan jiwa yang tak dapat dicegah.
Seorang perawi hadits kalangan tabi’in misalnya, di mana riwayat-riwayatnya tersebar pada kitab-kitab hadits yang enam (Kutubus Sittah), yakni Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullaah pernah bertutur, sebagaimana dipetik Imam Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auwliyaa berikut ini:
إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي
“Sesungguhnya aku diwartakan (padaku) mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku.”
Sekalipun agama yang mulia melarang adanya pengkastaan dan sikap berlebihan dalam memposisikan sesama manusia, tapi kedudukan para kekasih Allah itu tetap berbeda di mata manusia lainnya. Sebab hal ini telah disampaikan oleh Dzat pencipta sendiri yang membedakannya.
“Meninggalnya orang alim (ahli ilmu) adalah mushibah yang tak tergantikan, kebocoran yang tak dapat ditambal, dan laksana bintang yang padam,” sebagaimana dipetik dalam Mujamul Kabir At-Thabarani dan Syu’abul Imaan Al-Baihaqi, juga Abu Ya’la dari Abu Darda’ radhiyallaahu ‘an.
Saripati gambaran hidup yang tak boleh diabaikan, pelajaran berharga dari sebuah perjalanan itulah yang patut direnungkan, betapa menuntut ilmu itu penting. Kehadiran ulama itu niscaya, dan berkiprah serta berjuang di jalan Allah itu adalah kewajiban.
Mushibah berlalu tanpa harus menutup munculnya generasi baru. Kebocoran generasi pejuang masih dapat kita tambal, gemerlapnya cahaya bintang yang bertaburan hendaknya mendorong munculnya semangat generasi harapan.
Diakhirkan atau dimajukan, semua kita pasti akan dipertemukan Allah ‘azza wa jalla dengan kematian, karena setiap yang bernyawa pasti akan merasakannya. Dari situlah kita dipacu, hendaknya lebih berghairah dalam hal menuntut ilmu dan amal apa pun keadaannya.
Sungguh menyentuh relung hati yang paling tersembunyi, nashihat Shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ’anhu yang mengingatkan:
ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻣﻮﺕ ﺭﻭﺍﺗﻪ، ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻟﻴﻮﺩّﻥّ ﺭﺟﺎﻝ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ
“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya yaitu para ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan mereka. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain di dapat dengan cara thalabul ‘ilmi itu sendiri.” (Lihat Ibnu Qayyim, Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, 2009).
Sebagai ikhtitam, mari kita sisipkan do’a terbaik untuk saudara-saudara kita. Terutama bagi mereka para punggawa umat dan juru dakwah yang telah mendahului kita.
Mereka yang telah dipanggil ada di antaranya para pimpinan organisasi dan pergerakan dakwah, pimpinan pondok pesantren, kader-kader dakwah yang mendedikasikan hidupnya demi lahirnya kader-kader umat dan bangsa. Mereka yang telah menghadap Allah adalah para ahli, akademisi, yang telah mencurahkan temuan ilmunya, juga para pengkhidmat kemanusiaan (dokter, perawat, dan aktivis sosial lainnya) yang telah mengorbankan waktunya untuk keselamatan dan kesehatan saudaranya.
Semoga kalian telah mendapatkan apa yang layak kalian dapatkan di sisi yang Maha Pengasih dan Penyayang. Amin.*/Teten Romly Qomaruddien