Keperdulian (careness) yang sejatinya dan seharusnya menjadi energi positif tak cuma bagi dirinya, tetapi juga memotivasi dan menginspirasi orang di sekelilingnya. Tetapi kita harus hati-hati dan bisa membedakan, antara “merasa memiliki” dan “merasa menguasai”
Hidayatullah.com | DALAM bermuamallah atau berhubungan dengan sesama, baik di kampus, tempat kerja, atau dalam lingkup yang lebih besar yaitu berbangsa dan bernegara. Semua orang harus berpedoman bahwa ada banyak hal yang harus kita pertimbangkan sebelum berbuat dan bicara.
Mengapa demikian? Karena berhubungan dengan sesama adalah melibatkan dua atau lebih pihak. Sebab kita hidup tidaklah sendiri, dan tak bisa hanya berlaku ‘aku’ saja, tapi ‘kita dan kami’.
Tidak masalah kita menjelaskan tentang siapa diri pribadi, tetapi harus difahami, menjelaskan berbeda dengan mengatasnamakan. Mengatasnamakan itu konotasinya menafikan atau mengecilkan pihak lain, atau setidaknya menganggap diri pribadi memiliki kapasitas untuk merepresentasikan orang diluar dirinya.
Ketika kita merasa mewakili, tentu tidak selesai sampai di situ saja, sebab akan muncul beberapa pertanyaan lanjutan. Misalnya atas dasar apa kita merasa memiliki kewenangan mewakili orang lain? Atau, siapa yang memberikan kepercayaan pada kita untuk menjadi wakil dirinya?
Ini akan lebih menukik tajam, jika kewenangan ini menyangkut sebuah lembaga formal, yang baik eksistensi maupun pengelolaannya diatur oleh undang-undang. Ada yang lebih membutuhkan tinjauan psikologis ketika apa yang mengemuka bukan sekedar merasa mewakili, tetapi merasa memiliki.
Merasa memiliki (sense of belonging) sebetulnya sejauh ini sangat positif. Berdasarkan beberapa definisi sense of belonging menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa sense of belonging merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa memiliki sesuatu, sehingga dengan perasaan memiliki itu akan sepenuhnya mencintai, menjaga, dan peduli dengan sesuatu tersebut.
Apa yang salah ketika seseorang merasa mencintai apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya? Apalagi jika karenanya lalu dia menjadi amat perduli dan menjaga?
Memiliki atau Menguasai
Keperdulian (careness) yang sejatinya dan seharusnya menjadi energi positif tak cuma bagi dirinya, tetapi juga memotivasi dan menginspirasi orang di sekelilingnya. Tetapi kita harus hati-hati dan bisa membedakan, antara “merasa memiliki” dan “merasa menguasai”, atau jangan-jangan keinginan untuk menguasai.
Orang yang merasa memiliki sering lebih tulus, karena sesuatu yang dicintai. Ia pasti peduli untuk dijaganya tak selalu harus kepunyaannya atau dalam pengurusannya.
Dia merasa wajib menjaganya, mungkin semata karena disamping dia mampu, namun lebih jauh dari itu, yaitu karena apa yang patut dijaga tersebut sesuatu yang amat bernilai dan memiliki maslahat atau manfaat bagi banyak orang.
Mereka yang merasa memiliki berbeda dengan mereka yang merasa ingin menguasai, mungkin apa yang ada padanya secara kewenangan memang dia berhak mengelolanya, namun sering bahkan apa yang bukan menjadi kewenangan dan kompetensinya, tetap ingin dikuasainya.
Sehingga fenomena ‘ingin menguasai’ sering dan hampir niscaya menjadikannya berjalin dengan korupsi, kolusi dan nepotis. Lalu amat defensif dalam memandang siapapun di luar diri dan kelompoknya, untuk itu mereka menciptakan jaring pengaman dengan tak mentolerir, misalnya, siapapun di luar kelompoknya, perlahan tapi pasti proses perekrutan akan semakin menjauh dari profesionalitas.
Kewenangan itu lahir dan diberikan oleh sebuah aturan, dengan terminologi lain, semua hak dan kewajiban yang melekat padanya dalam hal mengelola sebuah institusi itu terukur dan tidak serta-merta.
Ada mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban, jadi teramat naif jika kemudian apa yang dinyatakan eksplisit, seolah yang ada dalam pengelolaannya adalah miliknya. Kecenderungan ini boleh jadi muncul dari apa yang dalam ilmu kejiwaan diistilahkan sebagai superiotiy complex.
Sesuai namanya, superiority complex adalah perilaku seseorang dimana ia percaya bahwa ia lebih baik dan hebat dari orang lain. Orang-orang dengan sifat superior ini sering memiliki opini berlebih mengenai diri mereka.
Mereka yakin bahwa kemampuan dan prestasi yang dimiliki melebihi orang lain. Perilaku superior ini sebenarnya merupakan mekanisme bela diri di balik perasaan inferior seseorang.
Artinya, superiority complex merupakan perilaku yang membuat seseorang merasa ‘lebih’ dari orang lain. Namun, keangkuhan tersebut boleh jadi cara mereka untuk menyembunyikan kelemahan atau kegagalan yang sudah pernah dialami.
Indonesia adil dan beradab untuk semua
Indonesia harus segera bangkit dan lepas dari keterpurukan akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Untuk itu seluruh komponen bangsa, terutama para pejabatnya harus bisa menciptakan suasana yang kondusif, jauh dari hiruk-pikuk dan perasaan tersisih dan disisihkan.
Kebersamaan (togetherness) akan mewujud jika Pemerintah mampu meyakinkan rakyat bahwa problem bangsa ini akan terlewati dengan semangat persatuan, kesatuan dan prinsip keadilan.
Narasi tentang ketidakmampuan yang lain, atau bahkan bahwa yang lain akan berpotensi salah urus amat kontra produktif. Hal ini jauh dari pertanda kelembutan jiwa seorang pemimpin.
Bangsa ini sudah tak membutuhkan lagi ungkapan-ungkapan retoris, apalagi cuma sekedar bernuansa melindungi kepentingan kelompok sendiri saja. Mungkin kita tak mampu melahirkan pahlawan baru, tetapi setidaknya kita tak sedang membidani lahirnya mereka yang alih-alih menawarkan madu, malah menuang dan menaburkan racun, mengeruhkan kolam dan memperkusut benang yang mulai terurai dalam ukhuwwah warga Bangsa.
Al Qur’an menjadikan keadilan di antara manusia itu sebagai hadaf (tuluan) risalah langit. Bahkan Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Nya) untuk mewujudkan keadilan.
وَالسَّماءَ رَفَعَها وَوَضَعَ الْمِيزانَ () أَلاَّ تَطْغَوْا فِي الْمِيزانِ () وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزانَ
Artinya: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS: Al-Rahman Ayat 7-9).*/Hamid Abud Attamimi