Hidayatullah.com | KITA lahir seorang diri dan nanti ketika ajal tiba, kita pun akan menghadap-NYA seorang diri. Demikianlah kita sering diingatkan oleh kata-kata bijak di atas.
Kita sering lupa dan terlalu direpotkan dengan mengurusi dan terus membicarakan apa yang orang lain lakukan. Maknanya bukan kita tidak boleh memberi masukan pada orang lain, tetapi tidak perlu juga semua orang dikomentari dan semua yang dilakukan orang seolah selalu salah.
Saking repotnya, sampai kita lupa, seolah apa yang dilakukan orang menjadi tanggung jawab kita. Tiada hari tanpa menjadi Komentator, tiada yang luput, dari anggota keluarga, tetangga, teman sekantor, jamaah satu masjid, sampai-sampai penjual sate yang lewat depan rumah pun ada saja yang dipermasalahkan.
Mengurusi apa yang dilakukan orang seharusnya berbeda dengan peduli, yang terakhir ini tidak selalu memposisikan orang lain salah dan keliru. Mereka yang peduli biasanya terlebih dahulu bertanya tentang barangkali ada yang bisa dibantu, atau barangkali yang ditemuinya mendapat kesulitan.
Memulai dengan santun dan penuh empati, dengan kata lain mencoba memahami apa yang jadi kendala dari yang bersangkutan. Banyak orang yang senang dibantu, tetapi pasti lebih banyak lagi orang yang senang jika yang membantunya pun faham apa yang menjadi kesulitan mereka, terutama tentang hal-hal tehnis, tidak mesti terkait urusan keuangan atau pembiayaan.
Alih-alih mendapat respon yang baik, terkadang sikap yang terlalu banyak memberi komen tanpa solusi ini ditengarai sebagai nyinyir atau rewel.
Ada orang yang ekstrem mengambil sikap, yaitu tidak mau peduli apapun yang dilakukan orang lain. Pokoknya urusan orang lain adalah urusan mereka dan dia cuma mau mengurusi apa yang menjadi urusannya.
Jika orang lain salah dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu, itu urusan dan salah mereka, tidak ada kewajiban buat dia untuk peduli, apalagi jika memang tidak dimintakan bantuannya, sekalipun dia tau.
Dalam hadits riwayat An-Nasa’i, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ السَّرْحِ الْمِصْرِيُّ , حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ , عَنْ أَبِي هَانِئٍ , عَنْ عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ الْجَنْبِيِّ , أَنَّ فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ حَدَّثَهُ , أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : ” الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ , وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ “
“Ahmad bin Amr bin Sarh Al Mishri menuturkan kepadaku: Abdullah bin Wahb menuturkan kepadaku: dari Abu Hani’: dari Amr bin Malik Al Janbi: bahwa Fadhalah bin Ubaid pernah menuturkan kepadanya: bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Seorang mukmin adalah orang yang orang lain merasa aman dari gangguannya terhadap harta dan jiwanya. Dan muhajir (orang yang hijrah), adakah orang yang meninggalkan kesalahan-kesalahan dan dosa.” (HR: Ibnu Majah)
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda;
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ»
“Dari Abu Musa radhiallahu’anhu ia berkata: para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, amalan Islam apa yang paling utama? Beliau menjawab: barangsiapa yang kaum Muslimin selamat dari keburukan lisannya dan tangannya.” (HR: Buhari dan Muslim).
Muslim tidak boleh diam dan tidak peduli
Ini juga tentu bukan sikap yang benar, sebagai mahluk sosial dan terutama karena kita seorang Muslim, maka sikap utama yang harus ditampilkan adalah menebarkan keselamatan dan menjadi jalan keselamatan.
Islam dan Muslim adalah dua sisi dari mata uang yang sama, tak mungkin seseorang menjadi penganut Islam yang sempurna jika ajaran Islam yang seperti diteladankan Rasulullah ﷺ sebagai Rahmatan lil Alamin tidak tercermin dalam peri kehidupan kesehariannya.
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu Anhu berkata, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barang siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat.”
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
“Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah ﷺ, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka sikap yang paling mendekati ideal adalah terus memperbaiki diri dan menjaga keluarga dari pengaruh buruk lingkungan, seraya tetap peduli pada lingkungan sekitar. Kewajiban menyampaikan dan menebar kebaikan adalah missi utama setiap Muslim menurut kadar ilmunya sesuai kemampuan, setelah itu, tidak didengar dan tidak dilaksanakan bukanlah tanggung jawab kita.
Sikap tidak mau peduli pada apapun kondisi umat justru melambangkan betapa piciknya pemahaman Dien kita, seolah semua adalah urusan dan tanggung jawab Ustadz dan Kiai, sebab jika kerusakan sudah merata dan adzab Allah datang, tidak cuma akan mengenai mereka yang berbuat kerusakan, kita pun akan tertimpa.
Ingatlah, Kejahatan tidak selalu terjadi karena ada peluang, sangat mungkin karena bisunya orang-orang yang tau dan faham. Bukankah diam juga menciptakan peluang!.*/ Hamid Abud Attamimi