Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang semakin ridha dengan setiap cobaan
Hidayatullah.com | KETIKA cobaan datang bertubi-tubi mendera, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla sedang “rindu bercengkrama” dengan kita, tidak ada orang yang bebas dari masalah dan tekanan hidup. Ada orang yang mudah mengeluh dan mudah menyerah dalam menghadapi tekanan hidup.
Ada pula yang begitu sabar, tegar, optimis, dan memandang tekanan hidup sebagai tantangan yang dapat dihadapi. Setiap menghadapi cobaan hendaklah seseorang tahu bahwa setiap yang Allah Azza wa Jalla takdirkan sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi pastilah terjadi. Nabi ﷺ bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).
Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang semakin ridha dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” (Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hlm. 94, Darul ‘Aqidah, 1425 H).
Yakinlah, ada hikmah di balik cobaan. Hendaklah setiap Mukmin mengimani bahwa setiap yang Allah Azza wa Jalla kehendaki pasti ada hikmah di balik itu semua, baik hikmah tersebut kita ketahui atau tidak kita ketahui. (Syarh ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hlm. 151-153, Maktabah Ash Shafaa, 1426 H).
Allah Azza wa Jalla berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ (116)
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun: 115-116).
Allah Azza wa Jalla juga berfirman,
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (38) مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq.” (QS. Ad Dukhan: 38-39).
Ingatlah bahwa musibah yang kita hadapi belum seberapa. Ingatlah bahwa Nabi kita ﷺsering mendapatkan cobaan sampai dicaci, dicemooh dan disiksa oleh orang-orang musyrik dengan berbagai cara. Kalau kita mengingat musibah yang menimpa beliau, maka tentu kita akan merasa ringan menghadapi musibah kita sendiri karena musibah kita dibanding beliau tidaklah seberapa. Rasulullah ﷺbersabda,
لِيَعْزِ المسْلِمِيْنَ فِي مَصَائِبِهِمْ المصِيْبَةُ بي
“Musibah yang menimpaku sungguh akan menghibur kaum Muslimin.” (Shahih Al Jami’, 5459, dari Al Qasim bin Muhammad).
Dalam lafazh yang lain disebutkan,
مَنْ عَظَمَتْ مُصِيْبَتُهُ فَلْيَذْكُرْ مُصِيْبَتِي، فَإِنَّهَا سَتَهَوَّنُ عَلَيْهِ مُصِيْبَتُهُ
“Siapa saja yang terasa berat ketika menghapi musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku. Ia tentu akan merasa ringan menghadapi musibah tersebut.” (Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu ‘Abdil Barr, hlm. 249, Mawqi’ Al Waraq).
Fahamilah bahwa semakin kuat iman, memang akan semakin diuji. Dari Mush’ab bin Sa’id, seorang tabi’in dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau ﷺmenjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad, 1/185).
Yakinlah bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Dalam surat Alam Nasyrah, Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah: 5).
Ayat ini pun diulang setelah itu,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS: Alam Nasyrah: 6).
Qatadah mengatakan, “Diceritakan pada kami bahwa Rasulullah ﷺpernah memberi kabar gembira pada para sahabatnya dengan ayat di atas, lalu beliau mengatakan,
لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.” (Tafsir Ath Thabari, 24/496, Dar Hijr).
Mari kita menghadapi cobaan dengan bersabar. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
الصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ، وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ.
“Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna), jika seseorang tidak memiliki kesabaran.” (Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu ‘Abdil Barr, hlm. 250, Mawqi’ Al Waraq).
Makna bersabar adalah menahan hati dan lisan dari berkeluh kesah serta menahan anggota badan dari perilaku emosional seperti menampar pipi dan merobek baju. (‘Uddatush Shobirin wa Zakhiratusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hlm. 10, Dar At Turats, 1410 H).
Bersabarlah di awal musibah Rasulullah ﷺbersabda,
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى
“Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.” (HR. Bukhari no. 1283, dari Anas bin Malik).
Itulah sabar yang sebenarnya. Sabar yang sebenarnya bukanlah ketika telah mengeluh lebih dulu di awal musibah.
Yakinlah bahwa pahala sabar begitu besar. Ingatlah janji Allah Azza wa Jalla,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)
Al Auza’i mengatakan,
“Pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa ditakar dan ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian derajat.” As Sudi mengatakan, “Balasan orang yang bersabar adalah surga.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/117, Muassasah Qurthubah).
Ummu Salamah, salah satu istri Nabi ﷺberkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah ﷺbersabda,
أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khairan minhaa (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah ﷺperintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah ﷺ.” (HR. Muslim no. 918).
Doa yang disebutkan dalam hadits ini semestinya diucapkan oleh kita sebagai seorang Muslim ketika ia ditimpa musibah dan sudah seharusnya kita pahami. InsyaAllah, dengan ini kita akan mendapatkan ganti yang lebih baik.
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa semakin ridha pada takdir-Nya dan sabar dalam menghadapi setiap cobaan dari-Nya untuk meraih ridha-Nya. Wallahua’lam bishawab.*/ Bagya Agung Pranawa, penulis pengajar fakultas hukum UII, Yogyakarta