Shalahuddin juga memberikan pembayaran kepada gubernur Makkah agar para peziarah haji diizinkan masuk ke Tanah Haram tanpa diganggu dan dikenai pajak. Pada masa-masa sebelumnya, para peziarah haji yang tak mampu membayar pajak untuk masuk ke kota suci akan ditahan dan tak diperkenankan melakukan ibadah haji. Tapi sejak adanya subsidi dari Shalahuddin, para peziarah haji tidak lagi mengalami hal-hal yang mengganggu ibadah mereka.
Pada masa-masa terdahulu, pajak semacam ini juga dikenakan oleh Dinasti Fatimiyah yang mengharuskan setiap peziarah haji untuk membayar tujuh setengah dinar Mesir saat hendak menyeberangi pelabuhan Aydzab menuju ke Jeddah. “Mereka yang tidak dapat membayar,” tulis Ibn Jubair, “akan menderita siksaan yang paling keras di Aydzab, kota yang seperti namanya (tetapi) tanpa huruf ‘y’.” Yang dimaksudkan oleh Ibn Jubair adalah jika huruf ‘y’ dihilangkan dari kata Aydzab, maka yang tersisa adalah ‘adzab’ (hukuman). Namun, Dinasti Fatimiyah telah dihapuskan oleh Shalahuddin pada tahun 1171 dan sejak saat itu para peziarah dari Barat (Maroko-Andalusia) banyak mendapatkan kemudahan dan kenyamanan dalam perjalanan haji mereka.
Ibn Jubair banyak menyebutkan tempat-tempat penting yang biasa diziarahi di wilayah-wilayah yang ia datangi, termasuk para ulama yang menonjol pada masa itu. Ia juga menggambarkan karakteristik setiap daerah yang ia kunjungi, termasuk antara lain keadaan ekonomi dan mata uang yang digunakan. Walaupun begitu, tulisan Ibn Jubair tidak hanya bersifat deskriptif yang kering dan kurang menarik untuk dibaca. Karena ia seorang sastrawan, sekaligus seorang yang menjaga agamanya, ia melukiskan banyak hal dengan bahasa satra, sambil terkadang menyisipkan syair-syair dan ayat-ayat al-Qur’an untuk memberikan cita rasa keindahan pada deskripsinya.
Saat berada di Damaskus, misalnya, ia menggambarkan kota itu dengan kata-kata berikut:
Bulan baru muncul pada hari Rabu (1 Rabiul Akhir 580/ 12 Juli 1184) ketika kami berada di Damaskus, menginap di Darul Hadits di sebelah barat Masjid Jamik yang agung…. Damaskus dimuliakan saat Allah Yang Maha Tinggi memberikan suaka di tempat itu kepada sang Mesiah dan bundanya – semoga Allah memberkati dan memelihara mereka – ‘di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir’ (QS 23: 50) dengan naungan yang teduh dan air yang lezat. Anak-anak sungainya memutar seperti ular melewati berbagai jalur, dan angin sepoi-sepoi yang meniupkan wewangian bunga dari taman-taman menghembuskan kehidupan ke dalam jiwa. Bagi mereka yang merenunginya, ia menampilkan dirinya dengan gaun pengantinnya memanggil mereka: ‘Datanglah ke tempat perhentian yang indah, dan nikmatilah keheningan tengah hari.’
Ibn Jubair tidak sekadar melakukan perjalanan haji dan pelancongan ke beberapa tempat. Tetapi ia mengamati dengan baik tempat-tempat yang dikunjunginya dan menuangkan pengamatan reflektifnya dalam sebuah tulisan yang manfaatnya melampaui zamannya. Itu juga merupakan sebuah perjalanan dan penulisan imani, tanpa kehilangan daya kritisnya, yang keluar dari pandangan hidup yang jernih dari seorang pelancong Muslim.Hasilnya adalah sebuah karya yang cukup monumental. Meminjam ungkapan sang pelancong saat memuji Ibn al-Jauzi yang ia hadiri majelisnya di Baghdad, Ibn Jubair sendiri adalah ‘seorang lelaki yang bukan ‘Amr atau Zaid’ (bukan orang biasa). Karya tulisnya telah menjadi saksi atas hal itu.
Bagaimana dengan kebanyakan kita, khususnya yang biasa melakukan perjalanan ke berbagai tempat?Adakah kita berkeinginan untuk membuat sebuah jurnal perjalanan, yang mungkin suatu saat nanti bisa menjadi sumber bacaan atau rujukan yang bermanfaat bagi generasi setelah kita? Atau kita akan meneruskan tradisi lama kita yang minim dalam hal tulis menulis, yang membuat banyak sejarawan pening saat hendak mencari rujukan sejarah bangsa ini, atau terpaksa meminjamnya dari catatan bangsa lain?Semoga saja tidak.Karena bangsa ini juga memerlukan orang-orang ‘yang bukan ‘Amr atau Zaid’.Wallahu a’lam.*/Kuala Lumpur, 7 Rabiul Akhir 1435/ 7 Februari 2014
Penulis adalah penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” kolumnis hidayatullah.com