Oleh: Mahmud Budi Setiawan
Sambungan artikel Pertama
Syiaisasi penduduk Baghdad
SEPENINGGAL Ali Bin Abi Thalib, Hasan diangkat menjadi khalifah. Namun pada tahun 41 Hijriah –demi terciptanya stabilitas keamanan- akhirnya ia rela menyerahkan tampuk kepemimpinan pada Muawiyah bin Sufyan (baca: Amīru al-Mu`minīn al-Hasan bin `Ali bin Abi Thālib Syakhshiyatuhu wa `Ashruhu, Muhammad al-Shallābi, 368), dengan beberapa syarat di antaranya ialah sepeninggal Mu`awiyah, yang menjadi pemimpin harus diserahkan pada kaum Muslimin.
Pada kenyataannya, Muawiyah malah mewariskan kekuasaannya pada anaknya, Yazid (bukan karena cinta anak, tapi karena memang layak. (baca: al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Ibnu Katsir, 11/308). Pihak pendukung Ali pun kecewa. Husain dan Abdullah bin Zubair menolak kekuasaan resmi Umawi. Pada ujungnya, nanti keduanya –Ibnu Zubair dan Husain- terbunuh. Kematian Husain –di Karbala-, semakin menjustifikasi pengikut Syi`ah untuk melakukan infiltrasi politik dalam negara.
Pada zaman Dinasti Umawi, Syi`ah melakukan berbagai macam pemberontakan seperti yang dilakukan Sulaimān bi al-Shard dengan gerakan al-Tawwābīn (pendukung Husain), dan pemberontakan al-Mukhtār al-Tsaqafī (baca: al-Masū`ah al-Muyassarah fī al-Tārikh al-Islāmī, 187) namun selalu bisa diredam. Baru saat berada dalam kondisi lemah, akhirnya mereka mampu menumbangkan Dinasti Umawi ketika berkoalisi dengan Bani Abbās. Pada ujungnya mereka pun ditumpas, sehingga yang berkuasa penuh adalah Dinasti Abbasiyah. Ketika Dinasti Abbasiyah masih berada pada masa keemasan, mereka belum bisa melakukan apa-apa. Namun ketika mulai lemah, Bani Buwaih (penganut ideologi Syi`ah) melakukan infiltrasi pada Daulah Abbasiyah (334-447 H). Penduduk Baghdad yang sebelumnya bermadzhab Ahli Sunnah, mulai di-syi`ah-kan. Bahkan pada tahun 351 H, di masjid-masjid ada titah untuk menulis kalimat berikut: “Allah melaknat Mu`awiyah bin Abi Sufyān, serta orang yang membenci Fathimah Ra. Dan orang yang melarang jenazah Hasan dikubur disamping kakeknya”. Di tahun yang sama mereka mulai berani merayakan hari raya Ghadīr khum (baca: al-Masū`ah al-Muyassarah fī al-Tārikh al-Islāmī, 309-312).
Ketika Klan Bani Buwaih -penganut ideologi Syi`ah- menginfiltrasi Daulah Abbasiyah, ada beberapa perkara yang dilakukan mereka di antaranya: menyebarluaskan ideologi Syi`ah, tidak segan-segan menghina sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar dan Umar, kondisi negara semakin tidak stabil sehingga Romawi mampu merebut kembali wilayah dari orang-orang Islam, konflik Sunni-Syi`ah semakin meruncing (baca: al-Masū`ah al-Muyassarah fī al-Tārikh al-Islāmī, 309-312). Demikian juga ketika Daulah Fathimiyah berkuasa di Maghrib (Maroko-Tunis), mereka melakukan tindakan berikut: menabikan bahkan menuhankan Ubaidillah Al-Mahdi, bertindak zalim terhadap orang sunni, mengeksekusi setiap yang bersebrangan dengan pendapatnya, guru-guru sunni dilarang mengajar, mencurigai dan melarang berbagai bentuk perkumpulan, melenyapkan karangan Ahli Sunnah, membekukan beberapa syari`at, bekerja sama dengan Pasukan Salib dan tindakan anarkis lainnya (baca: Shalāhuddīn al-Ayyūbi wa Juhūduhu fi al-Qadhā `alā al-Daulah al-Fāthimiyah wa Tahrīru Baiti al-Maqdis, karya Syaikh Muhammad Shallābi).
Sebagai pamungkas dari tulisan ini -tanpa bermaksud membatasi infiltrasi politik Syi`ah lainnya- yang perlu diketengahkan pada tulisan ini ialah infiltrasi dua tokoh Syi`ah ternama yang dikenal dengan Nashīru al-Dīn al-Thūsi (baca: Ab`ādu al-Tahāluf al-Rāfidhī al-Shalībi fī al-`Irāq, Abdu al-Muhsin al-Rāfi`i, 17) dan Muayyidu al-Dīn al-`Alqamī al-Syī`ī (baca: Qisshatu al-Tatār min al-Bidāyah ilā `Ain Jālūt, Rāghib al-Sirjāni, 139). Kedua tokoh ini dianggap berpengaruh lantaran berperan besar dalam proses penghancuran Daulah Abbasiyah. Kalau Nashīru al-Dīn al-Thūsi diangkat menjadi konsultan dan wazīr (setingkat mentri) Hulagu dalam upaya pembunuhan Khalifah. Adapun al-`Alqami selama 13 tahun dipercaya menjadi wazīr oleh Khalifah al-Mustashim Billāh.
Namun apa balasannya terhadap Sang Khalifah? “Air susu pun dibalas dengan tuba”. Ia merongrong daulah dari dalam. Dengan kelicikannya –secara internal- ia memperlemah daulah dengan cara menghasut Khalifah untuk mengurangi jumlah pasukan (padahal pada waktu itu ancaman invasi tentara Mongolia mendesak Khalifah untuk memperbanyak jumlah prajurit), ia pun –secara eksternal- bersekongkol dengan Panglima Tartar, Hulagu Khan untuk menjatuhkan Daulah Abbasiyah. Akibatnya jelas, pada tahun 656 H/1258 M Daulah Abbasiyah Islamiyah jatuh di tangan Hulaghu Khan.
Dari beberapa peristiwa tersebut minimal bisa ditarik kesimpulan, bahwa ketika Syi`ah melakukan infiltrasi politik dalam Daulah (negara) Islam, ada beberapa perkara yang biasa dilakukan di antaranya:
Pertama, keberadaannya selalu membuat negara tidak stabil.
Kedua, memanfaatkan kondisi yang kacau untuk mendapatkan kekuasaan.
Ketiga, merongrong negara dari dalam.
Keempat, sewaktu belum berkuasa, mereka pura-pura pro negara secara lahir, namun secara batin sangat licik dan tak segan bersekongkol dengan musuh untuk menghancurkannya. Ketika berkuasa secara penuh, biasanyanya baru diketahui watak aslinya (bertindak sewenang-wenang, memaksakan ideologinya ke khalayak umum).
Kelima, orang yang ditugasi melakukan infiltrasi biasanya dikenal pandai berdiplomasi, cerdas, penuh intrik, dan mampu membangun jaringan dengan penguasa. Karena itulah infiltrasi politik Syi`ah patut diwaspadai oleh negara bila tak mau mengalami nasib yang sama. Wallāhu A`lam bi al-Shawāb.*
Penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014