Hidayatullah.com | CITA-cita luhur persatuan umat Islam, sejak dulu menjadi impian setiap Muslim sejati. Namun, pada kenyataannya, tak kunjung tiba.
Pada realitanya, hingga saat ini, umat Islam belum bisa benar-benar bersatu.
Sewaktu beberapa tahun lalu ada Aksi Damai 212 berikut bagian-bagian terkait dengannya, ada semacam angin segar harapan bagi umat bahwa persatuan sudah di hadapan mata.
Akan tetapi, rupanya gegap gempita dari Aksi Damai yang menggambarkan persatuan itu, masih perlu diuji. Pasalnya, kian hari terlihat makin luntur dan kembali pada keadaan semula.
Apakah dengan demikian, persatuan umat Islam sudah mustahil terjadi, atau paling tidak sangat sulit terealisasi? Terlebih, banyaknya benturan paham antarkelompok umat Islam, kepentingan golongan dan semacamnya yang justru menumbuhsuburkan perpecahan tak kunjung reda.
Apa solusinya? Dari Buya Natsir, setidaknya ada analisis dan solusi untuk mewujudkan persatuan dan mengatasi perpecahan.
Dalam Majalah Bulanan Serial Khutbah Jum’at No. 55 (1986: 41-44) dicantumkan tulisan Natsir bertajuk “Mempersatukan Ummat”.
Terkait hal ini, beliau mengajukan 2 pertanyaan mendasar: (1) Kenapa jadi begitu? (2) Kalau kita menginginkan persatuan umat Islam, apa yang harus kita usahakan?
Jawaban dari pertanyaan pertama dilandasi Natsir dengan Surat Al-Hujurat ayat 10.
Mengapa pada umumnya umat Islam itu tahu pentingnya persatuan tapi pada kenyataannya sulit bersatu?
Berdasarkan ayat tersebut, umat masih dalam kondisi demikian karena mereka statusnya masih pada level muslim, belum ke tingkat mukmin.
Persatuan terwujud pada orang-orang mukmin
Mereka bersatu dalam ikatan saudara. Rasa persaudaraan yang tumbuh dari keimanan.
Keimanan yang menjelma menjadi ibadah khusyu dalam beramal saleh; sampai pada budi pekerti bermutu tinggi.
Keimanan yang melahirkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan menjadikan pemiliknya mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu.
Bila keimanan ini kuat, maka persaudaraan, persatuan akan wujud dan terpelihara dengan baik. Sebaliknya, jika melemah, maka persatuan kian terkikis.
Selanjutnya, jawaban dari soal nomor dua adalah untuk mencapai persatuan, berangkatnya bukan semata dari dari ilmu dan pengetahuan tentang persatuan.
Titik tolak persatuan adalah hati. Makanya kata Pahlawan Nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan ini, “Soal persatuan ialah terutama soal qalbu, soal hati. Soal Wijhah, yakni tujuan hidup yang diniatkan oleh hati hendak dicapai. Dan soal kebersihan amal untuk mencapai tujuan itu dengan keikhlasan hati.”
Dari sini bisa dikatakan bahwa jika umat ingin bersatu maka harus berangkat dari hati bersih dan ikhlas yang bertujuan semata untuk mencari rida Allah.
Bila masing-masing dari umat Islam, menjadikan rida Allah sebagai orientasinya, niscaya hal-hal kecil yang bisa merusak persatuan akan bisa diatasi.
Ketika ini menjadi pemantiknya, maka umat akan lebih fokus kepada hal-hal makro. Dibanding dengan hal-hal kecil yang bisa menodai persatuan.
Mencari keridhaan Allah inilah yang bisa membuat umat bersatu. Inilah makna dari ayat 10 dari surah al-Hujurat, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu saudara.”
Natsir berkata, “Carilah keridhaan Allah yang Satu, agar dapat kita bersatu.” Lanjut beliau, “Jangan cari benda-benda bertebaran; nanti kita akan bertebaran lantaran ya.”
Bisa dibayangkan, jika umat Islam sudah naik ke level mukmin, kemudian orientasi mereka adalah hanya keridaan Allah; semua kepentingan pribadi dikesampingkan, insya Allah –sebagaimana pandangan Natsir– umat Islam akan bisa bersatu dan terhindar dari perpecahan. Masalahnya sudahkan kita berupaya menuju ke situ? Sementara iblis dan para pengikutnya tidak akan rela melihat umat bersatu./*Mahmud B Setiawan