DIRIWAYATKAN dari al-Miqdam bin Ma’dikarib, sesungguhnya Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewasiatkan kepada kalian terhadap ibu-ibu kalian sebanyak tiga kali, dan Dia telah mewasiatkan kepada kalian terhadap bapak-bapak kalian sebanyak satu kali. Sesungguhnya Allah telah mewasiatkan kepada kalian terhadap yang lebih dekat, maka yang lebih dekat.” (HR. Ibnu Majah No. 3661, hadits shahih).
Hadits di atas menunjukkan perintah berbuat baik kepada ibu. Sebagaimana dimaklumi dalam pedoman Ibnu Abbas dalam berfatwa yang berkaitan dengan Bab Kafarat, beliau berfatwa jika tidak ada nash yang menunjukkan kafarat-kafarat yang setara dengan dosa yang diperbuat atau melebihinya guna menghapus bekas dosa tersebut, seperti fatwa beliau tentang datangnya haid, orang yang meninggalkan salah satu kewajiban haji, dan lain sebagainya.
Berikut ini contoh fatwa Ibnu Abbas. Lihatlah betapa agungnya kedudukan berbuat baik kepada ibu beserta kafaratnya.
Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Bab Adab Mufrad dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya seorang laki-laki telah datang kepadanya seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku telah meminang seorang wanita, kemudian ia menolak untuk menikahiku. Dan laki-laki yang lain meminangnya, kemudian wanita tersebut senang untuk menikahinya. Aku cemburu kepada wanita itu dan aku pun membunuhnya. Apakah aku masih bisa bertobat?’
Ibnu Abbas bertanya, ‘Apakah ibumu masih hidup?’ Ia menjawab, ‘Tidak…’ Beliau berkata, ‘Bertobatlah kepada Allah, mendekatlah kepada-Nya semampumu.’
Kemudian aku kembali kepada Ibnu Abbas untuk menanyakan mengapa beliau bertanya tentang ibuku, ‘Akah ia masih hidup?’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak mengetahui amalan yang lebih dekat kepada Allah selain berbuat baik kepada ibu’.”
Berikut ini juga merupakan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dengan sanad shahih. Atsar tersebut juga terdapat dalam kitab Imam Bukhari pada Bab Adabul Mufrad dari jalan Thaisalah bin Mayyas, ia berkata, “Aku pernah bersama teman-teman Najdah (teman-temannya Najdah bin Amir al-Khariji. Ini adalah pendapat al-Jailani), kemudian aku melakukan dosa besar. Setelah itu aku memberitahukannya kepada Ibnu Umar, lalu beliau bertanya, ‘Dosa apa itu?’ Aku menjawab, ‘Dosa itu dan itu.’
Beliau menjawab, ‘Ini bukan dosa besar yang terdiri atas sembilan macam, yaitu menyekutukan Allah, membunuh, lari dari peperangan, menuduh berzina terhadap wanita shalihah, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, ilhad (menghina Allah) di masjid, menghina orang lain, mendurhakai ibu sampai menangis.’
Kemudian Ibnu Umar berkata kepadaku, ’Apakah kamu ingin jauh dari neraka dan masuk surga?’ Aku menjawab, ‘Ya, demi Allah.’ Beliau bertanya, ‘Apakah orang tuamu masih hidup?’
Aku menjawab, ‘Hanya ibuku.’Beliau berkata, ‘Demi Allah, jika kamu lemah lembut dalam perkataan, kamu memberinya makan, pasti kamu masuk surga selama kamu menjauhi dosa besar.”.*Sudirman STAIL
Sumber buku: Wasiat Luqman Al-Hakim Mendidik Buah Hati dengan Hikmah. Penulis: Syeikh Mustafah Al-Adawi.