SANGAT sulit menemukan kehidupan rumah tangga yang tidak dicampuri oleh orang lain. Orang lain yang dimaksud adalah pihak ketiga selain suami-istri, baik kerabat dekat maupun kerabat jauh. Terkadang campur tangan itu datang dari pihak kedua keluarga, tetangga atau sahabat kedua pasangan. Sudah jadi rahasia umum, sedikit sekali rumah tangga yang bebas dari intervensi orang lain.
Terhadap persoalan campur tangan orang lain dalam rumah tangga suami-istri, ada beberapa pertanyaan yang haruslah dijawab terlebih dahulu:
•Kapan orang lain masuk dalam kehidupan kedua pasangan?
•Sejauh mana orang lain –bagaimanapun dekat kedudukanmereka– boleh mencampuri urusan rumah tangga suami-istri?
• Bagaimana cara orang lain yang mencampuri rumah tangga suami-istri itu menawarkan `jasa’nya dan dengan modus seperti apa?
•Pertanyaan paling penting: bagaimana respon suami dan istri terhadap campur tangan orang lain itu? Apakah orang lain punya akses dan sarana yang menguntungkan untuk mencampuri kehidupan rumah tangga suami-istri?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dikemukakan ketika kita berbicara tentang pihak ketiga yang mencampuri kehidupan rumah tangga seseorang.Karena sebagian suami sangat sensitif terhadap intervensi orang lain dalam rumah tangga, meski itu orang terdekatnya.
Kita tidak bisa memukul rata permasalahan. Kita harus melihat kondisi rumah tangga masing-masing. Lalu dilihat apakah terjadi intervensi atau tidak. Berapa banyak ibu yang turut campur dalam kehidupan rumah tangga putrinya dan menjadi biang perceraian? Berapa banyak pula bapak yang mencampuri urusan rumah tangga dan menjadi penyebab hancurnya rumah tangga anaknya?
Saya akan mengajak Anda menyaksikan pemandangan indah dari kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. bersama putrinya Siti Aisyah ra.
Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, Ad-Darimi, dan lain-lain meriwayatkan, dengan redaksi milik Al-Bukhari: dari Aisyah istri Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam, dia berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan. Sampai ketika kami tiba di gurun Dzatul Jaisy, kalungku terputus dan jatuh sehingga Rasul berhenti untuk mencarinya. Orang-orang ikut berhenti bersamanya, sedang mereka tidak membawa air. Maka orang-orang mendatangi Abu Bakar dan berkata, Tidakkah engkau lihat apa yang diperbuat Aisyah? Dia memberhentikan Rasulullah dan orang-orang, padahal mereka tidak membawa air. Maka datanglah Abu Bakar, dan Rasul ketika itu telah tertidur dengan meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu Bakar berkata, ‘Engkau telah menahan Rasulullah dan orang-orang, padahal mereka tidak bisa memperoleh air dan mereka tidak membawa air.’”
Aisyah melanjutkan, `Lalu Abu Bakar mencelaku dan berkata sedemikian rupa. Dia mulai menusuk perutku dengan tangannya. Tidak ada yang menghalangiku bergerak jika bukan karena Rasulullah yang tidur di pangkuanku. Rasulullah terbangun di keesokan harinya dan tidak mendapatkan air. Maka Allah menurunkan ayat tayammum, lalu mereka semua bertayammum. Usaid bin Khudhair lantas berkata, ‘Inilah awal keberkatan kalian, wahai, keluarga Abu Bakar!”. Aisyah bercerita lagi, `Lalu kami memberdirikan unta yang sebelumnya aku naiki, dan kami menemukan kalung di di bawahnya.”
Lihatlah campur tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dalam kehidupan putrinya. Lihatlah bagaimana ia menegur Aisyah dengan keras. Tidak berhenti pada peringatan dan teguran keras saja, namun lebih dari itu. Perhatikan ucapan Aisyah, “Dia mulai menusuk perutku dengan tangannya. Tidak ada yang menghalangiku bergerak jika bukan karena Rasulullah yang tidur di pangkuanku.”
Seorang ayah yang bergelar Ash-Shiddiq ini tidak main-main dalam memperingatkan putrinya agar bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi. Tapi beliau tetap bijaksana dalam mengarahkan putrinya itu.
Abu Bakar memanfaatkan tidurnya Rasulullah, suami Aisyah, dan berbuat sedemikian rupa tanpa sepengetahuan suami putrinya itu. Bukan di depan suami putrinya, atau sepengetahuannya. Beginilah ayahanda yang sejati memberikan nasihat. Meski yang diperbuatnya tampak keras dan kasar, tapi itu kekerasan yang dibenarkan syariat;celaan, teguran, dan tusukan tangan di perut. Tapi itu tusukan tangan yang mendidik. Ini adalah kejadian serius. Dan teguran itu harus sesuai dengan tingkat kejadian.
Hal terpenting adalah bahwa teguran dan celaan dari seorang ayah kepada putrinya itu tidak dilakukan di hadapan suaminya, bukan pula di hadapan orang banyak. Pukulan tangannya adalah pukulan sayang dan mendidik. Abu Bakar tidak segan turut campur dalam kehidupan putrinya yang telah menikah, meski yang menikahinya adalah Rasulullah.
Perhatikan riwayat Ahmad ra. berikut dalam Al-Musnad:
“Dari Ammar bin Yasir bahwasanya Rasulullah melintasi Ulatul Jaisy bersama Aisyah istrinya. Kalung Aisyah yang terbuat dari marjan tiba-tiba putus. Orang-orang pun tertahan untuk mencari kalung itu. Mereka berada di sana hingga fajar menyingsing, sementara orang-orang dalam rombongan tersebut tidak membawa air. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kepada Rasul-Nya keringanan bersuci menggunakan debu yang bersih.
Orang-orang lalu berdiri bersama Rasulullah dan memukulkan tangan mereka ke tanah. Kemudian mereka mengangkat tangannya tanpa mengambil debu itu sedikit pun. Lalu mereka mengusapkannya pada wajah dan tangan mereka hingga ke pundak mereka, dan dari telapak tangan hingga ke ketiak mereka. Mereka sangat senang atas keringanan ini. Dan kami mendengar bahwa Abu Bakar berkata kepada Aisyah ra., ‘Demi Allah, tadinya aku tidak tahu bahwa engkau sungguh-sungguh membawa berkah.‘”
Ayah yang bijak tidak akan berhenti mengarahkan dan membimbing anak-anaknya, bahkan setelah mereka menikah. Dalam riwayat Al-Bukhari ada ta’zir (hukuman). Sedang dalam riwayat Ahmad ada ta’ziz (dukungan). Dengan adanya hukuman ketika melakukan kesalahan, dan dukungan saat melakukan hal yang benar, anak-anak akan tetap berada di jalannya meski setelah bersuami.
Campur tangan seperti inilah yang kita perjuangkan. Intervensi diam-diam pada momentum yang tepat, jauh dari penglihatan orang lain. Bahkan jauh dari pandangan salah seorang pasangan. Intervensi yang rasional, proporsional sesuai tingkat kejadian.
Abu Bakar berusaha agar tegurannya terhadap Aisyah ini jauh daripenglihatan suami Aisyah. Dan Siti Aisyah juga berusaha keras merahasiakan teguran sang ayah. Dia menyimpan teguran itu untuk masa depannya sendiri tanpa memberitahu suaminya.
Beberapa riwayat menjelaskan bahwa Aisyah merasakan sakit akibat tusukan ayahnya di perutnya. Tapi dia menahan sakit itu agar suaminya tidak tahu.
Yang menarik untuk diperhatikan, peristiwa antara sang ayah dan anak ini benar-benar berlangsung secara diam-diam. Dengarkanlah perkataan Aisyah ra. dalam menggambarkan betapa rahasianya teguran itu. Aisyah berkata, “Dia mulai menusuk perutku dengan tangannya. Tidak ada yang menghalangiku bergerak jika bukan karena Rasulullah yang tidur di pangkuanku.”
Semua kejadian itu berlangsung ketika Rasulullah sedang tidur di pangkuan Aisyah!Kerahasiaan macam apakah ini?
Sungguh, sebuah peristiwa yang sangat tersembunyi!
Alangkah agungnya, engkau, wahai, Abu Bakar Ash-Shiddiq! Alangkah mulianya engkau, wahai, Aisyah ra.!*/Dr. Ra’id Abdullah Namir, dari bukunya Cinta Kasih Suami Istri.