Hidayatullah.com | BAGAIMANA hukumnya memikirkan masalah yang haram di saat sedang shalat menghadap Allah? Sebenarnya perkara ini bisa saja terjadi kepada hampir semua orang tatkala mereka sedang menunaikan shalat.
Imam al-Bukhari telah menyampaikan di dalam kitabnya satu bab, yakni “Bab mengenai seorang lelaki (atau seseorang) yang memikirkan sesuatu di dalam shalatnya”. Kemudian, beliau telah membawa satu pernyataan kata daripada Sayyidina Umar bin al-Khattab RA :
إِنِّي لأُجَهِّزُ جَيْشِي وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya aku mempersiapkan tentaraku (memikirkan mengenainya), ketika aku sedang menunaikan shalat.” (Lihat Sahih al-Bukhari, Cet. Muassasah al-Risalah, 1/427)
Imam Ibn Hajar al’Asqalani menukilkan daripada al-Muhallab yang menyatakan bahwa:
التَّفَكُّرُ أَمْرٌ غَالِبٌ لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا فِي غَيْرِهَا لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لِلشَّيْطَانِ مِنَ السَّبِيلِ عَلَى الْإِنْسَانِ وَلَكِنْ يَفْتَرِقُ الْحَالُ فِي ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ فِي أَمْرِ الْآخِرَةِ وَالدِّينِ كَانَ أَخَفَّ مِمَّا يَكُونُ فِي أَمْرِ الدُّنْيَا
“Berpikir adalah kebiasaan yang tidak mungkin dihindarkan oleh seseorang baik dalam shalat maupun yang lainnya, setelah Allah SWT menjadikan jalan bagi setan untuk menuju manusia (yaitu untuk menggodanya). Namun, situasinya berbeda karena memikirkan akhirat dan agama (dalam shalat) tentu saja lebih ringan daripada memikirkan hal-hal duniawi.” (Lihat Fathul-Bari’, Dar al-Salam, 3/117).
Ada pula riwayat dari ‘Uqbah bin al-Harits RA yang mengatakan bahwa Nabi sendiri pernah mengingat harta (emas) yang ada di rumahnya dan belum dibagi-bagi ketika sedang shalat.
Riwayat al-Bukhari (1221) Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan bahwa hadis ini secara zahirnya menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak mengulangi shalatnya semula disebabkan perkara tersebut.
Demikian pula, berpikir dalam shalat tidak membatalkan shalat seseorang, selama ia tidak meninggalkan salah satu rukun shalat. (Lihat Fathul-Bari’, Dar al-Salam, 3/118).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa berfikir-fikir di dalam shalat diharuskan sekiranya sedikit. Adapun memikirkan secara terus-menerus dalam waktu yang panjang sehingga dia tidak tahu berapa rakaat yang telah dilakukan, maka dia termasuk orang yang lalai dalam shalatnya dan wajib mengulanginya semula. Ini adalah merupakan pendapat Ibn al-Tin.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa berpikir dalam shalat itu harusnya sedikit saja. Adapun berpikir secara terus menerus dalam waktu lama sehingga tidak mengetahui berapa rakaat yang telah dikerjakan, maka ia termasuk orang yang lalai dalam shalatnya dan harus mengulanginya lagi. Ini adalah pendapat Ibn al-Tin.
Sementara Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani tidak bersetuju dengan pendapat ini dan membawakan bukti bahwa Sayidina Umar RA pernah memikirkan sesuatu perkara yang memerlukan suatu tempoh yang panjang seperti menghitung jizyah yang terkumpul dari Bahrain sedangkan saat itu beliau sedang shalat.
Begitu juga, diriwayatkan bahwa Sayyidina Umar RA pernah lupa membaca Surah al-Fatihah ketika shalat Maghrib karena disibukkan dengan memikirkan mengenai rombongan yang telah beliau siapkan ke Negeri Syam. Begitu menyadarinya, beliau mengulangi semula shalatnya dan bacaannya (Surah al-Fatihah). Kata Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani :
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ إِنَّمَا أَعَادَ لِتَرْكِ الْقِرَاءَةِ لَا لِكَوْنِهِ كَانَ مُسْتَغْرِقًا فِي الْفِكْرَةِ
“Ini menunjukkan bahwa beliau mengulangi shalatnya karena meninggalkan bacaan (yakni Surah al-Fatihah) dan bukan disebabkan oleh tenggelam dalam fikirannya.” (Lihat Fathul-Bari’, Dar al-Salam, 3/117).
Memikirkan perkara haram di dalam shalat
Mengenai perkara ini, Imam al-Nawawi ada menjelaskan bahwa :
يستحب الخشوع في الصلاة والخضوع وتدبر قراءتها وأذكارها وما يتعلق بها والاعراض عن الفكر فيما لا يتعلق بها، فإن فكر في غيرها وأكثر من الفكر لم تبطل صلاته لكن يكره سواء كان فكره في مباح أو حرام كشرب الخمر
“Disunatkan khusyuk dan merendahkan diri dalam shalat serta mentadabbur bacaan al-Quran, dzikir-dzikir dan apa yang berkaitan dengannya. Juga hendaklah berpaling daripada memikirkan mengenai apa-apa perkara yang tiada kaitan dengannya. Sekiranya seseorang memikirkan mengenai perkara yang lain (yang tidak berkaitan dengannya) dan banyak memikirkannya, shalatnya tidak batal tetapi hukumnya makruh apakah perkara yang difikirkannya itu adalah sesuatu yang diwajibkan atau diharamkan seperti meminum khamr (miras).” (Lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 4/32).
Hal ini adalah berdasarkan kepada sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah SWT akan memaafkan umatku apa yang terlintas dalam dirinya selagi dia tidak melakukannya atau mengungkapkannya (mengenainya).” (HR: al-Bukhari)
Kesimpulannya
Berbalik kepada masalah yang ditanyakan di atas. Berdasarkan kepada pembahasan dan perbincangan tadi, kami cenderung kepada pendapat bahwa seseorang yang memikirkan sesuatu di dalam shalatnya, apakah hal tersebut banyak atau sedikit, wajib atau haram, tidaklah membatalkan shalatnya selagi tidak meninggalkan rukun-rukun shalat.
Namun, perbuatan tersebut hukumnya adalah makruh. Begitu juga, shalatnya tetap sah sekiranya tiada perbuatan apapun yang bisa membatalkan shalat, seperti keluar sesuatu daripada kemaluannya (air mani misalnya) karena fikiran atau khayalannya itu.
Sekalipun shalatnya tetap sah dan tidak batal, namun perbuatan berfikir, berkhayal dalam tempo yang lama atau banyak bukanlah suatu perkara yang dianjurkan. Apatah lagi berfikir dan berkhayal mengenai perkara yang haram. Oleh itu, perbuatan tersebut hendaklah dihindari sebisa mungkin.
Kita dituntut bahkan disunahkan untuk menghadirkan sepenuh hati dan hati khusyuk ketika menunaikan shalat serta menghayati segala bacaan di dalamnya. Khusyuk di dalam shalat adalah merupakan salah satu ciri orang beriman sebagaimana firman Allah SWT di dalam Surah al-Mukminun ayat 1-2.
قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ
ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS: Al-Mukminun: 1-2).
Berkata Sayyid Sabiq, yang bisa jadi renungan kita:
ومع أن الصلاة في هذه الحالة صحيحة مجزئة فإنه ينبغي للمصلي أن يقبل بقلبه على ربه ويصرف عنه الشواغل بالتفكير في معنى الايات والتفهم لحكمة كل عمل من أعمال الصلاة فإنه لا يكتب للمرء من صلاته إلا ما عقل منها
“Meskipun shalat dalam keadaan ini (sibuk berfikir mengenai perkara yang tiada kaitan dengan shalat) tetap sah dan diterima (tidak perlu mengulanginya). Akan tetapi, sepatutnya orang yang bershalat itu mesti menghadapkan hatinya kepada Allah SWT dan mamalingkan daripadanya segala fikiran yang menyibukkan (yang tiada kaitan dengan shalat) dengan memikirkan mengenai makna ayat-ayat (yang dibaca atau didengar) dan memahami hikmah bagi setiap perbuatan shalat. Sesungguhnya tidak ditulis bagi seseorang itu (pahala) daripada shalatnya melainkan apa-apa yang disadari (difahami) daripadanya.” (Lihat Fiqh al-Sunnah, Cet. Muassasah al-Risalah, 1/196).
Semoga Allah SWT memberikan kefahaman yang jelas kepada kita semua dalam beragama. Amin.* (Dari Irsyad Al-Fatwa Seri:-493, Pejabat Wilayah Mufti Persekutuan)