SEORANG penegak keadilan jika ia tidak memiliki rasa takwa kepada Allah Ta’ala, maka keputusannya seringkali merugikan orang lain. Dengan tanpa merasa berdosa, ia menghukum orang tidak bersalah dan membebaskan pihak yang bersalah. Oleh karena itu takwa yang benar-benar menyatu dalam jiwa seseorang akan menumbuhkan sikap adil (utamanya bagi para pejabat teratas yang memegang peran penting dalam penegakkan hukum).
“Berlaku adillah kalian semua, karena adil itu lebih dekat dan sejajar (jalannya) kepada takwa.” (QS. al-Maidah: 8)
Kehancuran dan kemorosotan moral pada dasarnya karena maksiat berupa perzinaan dan ketidakadilan dalam memutuskan perkara. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat terdahulu karena mereka (para pejabat dan penguasanya) terhadap pencuri-pencurinya (para koruptor) dari kalangan kaum yang lemah (tidak bermartabat, ekonominya lemah, orang miskin), maka mereka menjatuhkan hukum potong tangan. Akan tetapi apabila yang melakukan pencurian atau koruptor (yang menghabiskan uang negara) dari kalangan orang yang terhormat dan mulia, dari kalangan pejabat sendiri, maka mereka tidak menjatuhkan hukuman kepada mereka (dibebaskan dari jeratan hukum). Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri atau mengambil uang atau harta orang lain tanpa haq, niscaya akan saya potong tangannya (aku jatuhi hukuman).”
Kehancuran umat di zaman dahulu karena penguasanya tidak adil dalam menjalankan hukum. Realitas demikian itu juga dapat kita jumpai di zaman sekarang ini. Penegak hukum justru menjual hukum dengan suap-menyuap. Keadilan diperdagangkan. Kalau sudah demikian, maka bangsa akan menuju kepada kahancuran.
“Dan kalau sekiranya penduduk negeri-negeri ini sama-sama beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya Kami (Allah) akan melimpahkan dan menganugerahkan kepada mereka keberkahan-keberkahan dari langit (curahan air hujan yang menghasilkan panen yang memuaskan). Tetapi jika penduduk negeri itu sama-sama mendustakan dan mengingkari ayat-ayat Kami, mengingkari nikmat-nikmat yang Kami berikan maka Kami siksa dan Kami jatuhkan kepada penduduk bumi itu kesengsaraan dan kemelaratan yang disebabkan usaha atau amal perbuatan mereka sendiri.” (QS. al-A’raf: 96)*/Sudirman STAIL (sumber buku: Agar Selalu Dicintai Allah, penulis: Abu Mujadiddul Islam)