Hidayatullah.com–Maroko biasa dikenal dengan sebutan Maghrib (Negeri Matahari Terbenam). Negeri ini pernah dijajah Prancis dan Spanyol. Mayoritas umat Islam di negeri ini menganut Mazhab Maliki. Muannif Ridwan, seorang warga Indonesia yang saat ini menetap di Maroko berbagi ceritanya dengan hidayatullah.com.
Menurut Ridwan, Salah satu yang menarik dalam Ramadhan di negeri ini adalah metode Isbat (penentuan) awal dan akhir Ramadhan. Masyarakat Maroko terbiasa sekata dengan keputusan Raja. Itulah sebabnya di negeri ini tidak pernah terjadi perbedaan dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan.
“Salah satu rutinitas Raja Maroko ketika tiba Ramadhan adalah mengadakan pengajian. Pengajian di bulan Ramadhan di Maroko dikenal juga dengan sebutan Durus Hasaniyyah,” jelas Mahasiswa di Universitas Imam Nafie, Tanger.
Ridwan juga berkisah, bagaimana umat Islam di Maroko begitu istiqomah menjalankan ibadah puasa. Padahal kondisi di Maroko memang sangat berbeda dengan di Indonesia. Apalagi Ramadhan tahun ini bertepatan dengan musim panas yang waktu siangnya sangat panjang.
Warga Indonesia yang tinggal di Maroko harus bisa beradaptasi dengan puasa selama 17 jam dalam suhu cuaca mencapai 45 derajat celcius.
“Orang Maroko biasanya makan sahur pada pukul 02.30. Sahur bagi mereka sekadar untuk melaksanakan ibadah sunah. Cukup dengan meminum beberapa gelas susu, air putih, dan makanan ringan dari kue-kue kering khas Ramadhan,” jelas Ridwan kepada hidayatullah.com.
Tarawih khas Maroko
Hal lain yang menarik sepanjang Ramadhan di Maroko adalah shalat tarawihnya. Ibadah sunnah khas Ramadhan ini dilaksanakan dua putaran setiap malamnya. Putaran pertama sebanyak delapan rakaat dilakukan sehabis jamaah menunaikan shalat Isya. Tarawih putaran pertama ini selesai pada pukul 22.30.
Kemudian, tarawih putaran kedua dilaksanakan satu jam menjelang adzan subuh berkumandang. Adalah pemandangan yang lazim di sini, sekitar satu jam menjelang adzan subuh, kaum Muslimin Maroko kembali ke masjid untuk melaksanakan tarawih putaran kedua.
“Selain itu, ada hal yang menurut saya perlu dicontoh oleh seluruh imam masjid di Indonesia, yakni hampir seluruh imam masjid di Maroko hafal Quran 30 juz,” jelas mahasiswa yang merupakan delegasi pertukaran pelajar PBNU tahun 2010 ini.
Biasanya sang imam setiap malamnya menghabisakan lebih dari satu juz al-Quran ketika memimpin shalat mulai isya hingga witir. Sehingga ketika sampai pada sepuluh akhir Ramadhan, sang imam genap mengkhatamkan 30 juz. Di sisi lain, akan menjadi aib bagi imam-imam masjid di Maroko jika ia tak sempat khatam Quran selama Ramadhan.*