Hidayatullah.com–Sejak habis shalat ashar, kawasan Fustat mulai dipadati orang. Tikar hijau sudah dari sebelumnya ditumpuk di pinggiran jalan, disediakan untuk shalat isa dan tarawih di malam harinya. Polisi berseragam putih-putih terlihat sudah berjaga-jaga lebih awal. Tak ketinggalan juga pemadam kebakaran turun dikerahkan sebagai langkah antisipasi.
Suasanya ini adalah gambaran sore hari di sekitar masjid Amru bin Ash pada tanggal 26 Ramadhan, atau malam 27 Ramadhan. Biasanya, setiap tahunnya masyarakat Mesir datang dari berbagai penjuru daerah untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah guna mengikuti imam Syeikh Muhammad Jibril, seorang qari internasional asli Mesir.
Di luar bulan suci Ramadhan, kawasan Masjid Amru bin Ash sebenarnya biasa-biasa saja. Setiap harinya, Masjid Amru bin Ash selain dipakai untuk shalat berjama’ah, juga menjadi salah satu objek wisata yang sering dikunjungi turis.
Namun suasana ini akan berbeda jika Ramadhan datang, khususnya di sepuluh hari terakhir. Masjid ini diramaikan oleh orang yang beriktikaf. Namun ketika malam ganjil 27 Ramadhan tiba, masjid pertama di Afrika ini berubah menjadi lautan manusia. Semua ingin berbondong-bondong mengikuti shalat dengan imam Syeikh Muhammad Jibril.
Budaya ini sudah diketahui masyarakat secara luas. Meski ada orang-orang yang tidak sempat ikut shalat di masjid Amru bin Ash, akan tetapi minimal mereka mengetahuinya.
Malam tanggal 27 Ramadhan memang sangat identik dengan dua kata kunci, masjid Amru bin Ash dan Syeikh Muhammad Jibril. Hal seperti ini sudah dipahami orang dari kalangan profesional hingga sopir angkutan.
“Ingin ke Syeikh Jibril ya?” tanya supir taksi kepada hidayatullah.com saat menyebutkan arah tujuan ke masjid Amru bin Ash.
“Malam ini setiap orang shalat di Amru bin Ash dengan Syeikh Jibril,” tuturnya lagi.
10 malam terakhir Ramadhan dan Syeikh Muhammad Jibril boleh jadi magnet tersendiri bagi orang-orang Mesir untuk berbondong-bondong ke Masjid Amru bin Ash.
“Saya datang ke sini karena Syeikh Jibril hanya datang hari ini,” tutur Sulaiman yang datang dari Giza kepada hidayatullah.com.
Tidah hanya orang Mesir saja yang meramaikan masjid kawasan yang berdampingan dengan komplek gereja Koptik ini. Penduduk asing juga banyak yang datang, termasuk orang Indonesia. Bahkan orang-orang Malaysia biasanya datang berkelompok dengan menyewa bus sendiri.
Rombongan
Nama Syeikh Muhammad Jibril memang sudah sangat dekat di hati masyarakat Islam di Mesir. Betapa tidak, qari internasional yang sudah melanglang buana ke banyak negara untuk mengaji atau menjadi imam ini adalah asli warga Mesir. Masyarakat Mesir seakan begitu membanggakan padanya.
Semakin menjelang magrib, semakin bertambah terus jama’ah yang datang. Kebanyakan mereka datang dengan berkelompok, baik dengan keluarga atau kerabat.
Mereka membawa bekal sendiri-sendiri untuk berbuka puasa. Namun tidak perlu khawatir bagi yang datang dengan tangan kosong, karena banyak sekali penjual musiman yang menjajakan makanan di sekitar masjid.
Tidak jarang juga orang-orang Mesir menawarkan makanan yang dibawanya kepada kita. Kita diajak bergabung dengan mereka. Inilah yang dialami langsung hidayatullah.com. Ayam dan roti gandum yang menjadi bekal mereka pun juga menjadi makanan kita.
Selepas shalat magrib, semakin banyak orang-orang yang berdatangan. Ketika adzan isya mulai berkumandang, banjir manusia pun semakin menjadi-jadi. Malam 27 Ramadhan memang sangat spesial di Negeri Para Nabi ini.*