“BANGUN dek, nasi kotak-nya habis,” demikian suara seorang perempuan yang sejak awal malam berada di belakang shaf sholat saya.
Hari ini, panitia Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) menyediakan kotak nasi makan sahur hanya 150 kotak. Siapa sangka, jumlah jamaah yang datang lumayan banyak membuat sebagian tidak kebagian.
Melihat jatah nasi makan sahur kurang, beberapa wanita dan pria yang rata-rata berumur paruh baya segera lari menuju warung di luar masjid.
“Katanya, yang gak kebagian nasi korak ke warung sebelah saja, gratis,” jelas seorang ibu sambil mengangkat kain mukena bagian bawahnya sampai ke bahunya.
Saya sendiri yang tidak mendapat nasi kotak ikut ngantri bersama puluhan jemaah mengantri. Warung makan satu-satunya yang melayani pembelian mulai dipenuhi jemaah yang berbaris panjang.
Dari wajah mereka, tampak ekspresi resah. Jarum jam sudah bergerak hampir melampaui 10 menit dari jam 4 pagi. Itu berarti tersisa waktu sekitar 30 menit lagi sebelum waktu Shubuh..
Melihat pemandangan itu, saya memutuskan untuk tidak ikut mengantri. Kembali kedalam masjid, mengambil air wudhu dan bergabung dengan jamaah lainnya yang sudah makan sahur untuk segera shalat Subuh.
“Sudah makan?” ujar seorang ibu paruh baya bertanya kepada temannya.
“Sudah, tapi belum kenyang. Makan nya bareng-bareng sama lainnya, soalnya,” ujarnya menjawab pendek.
Tiba-tiba wanita yang paruh baya mengeluarkan nasi bungkus. Ia menyerahkannya pada temannya tadi. Keduanya tampak akrab dan sepertinya sudah menjadi jemaah tetap MASK. Sang tema kontan kegirangan.
Entah, apa dia tahu saya belum sahur atau tidak, tiba-tiba, ia membalikkan tubuhnya hingga kedua wajah kami berhadapan sambil meletakkan sebungkus nasinya di hadapan kami.
“Ini mbak, kita makan sama-sama, yuk,” ucapnya riang.
Subhanallah. Rasanya tepat sekali makanan ini dihadirkan Allah untuk saya.
“Ayo, buruan. nanti keburu Imsyak,” tuturnya sambil tersenyum.
Akhirnya nasi bungkus kami buka. Isinya nasi putih yang pulen, di dalamnya tercampur satu cumi bumbu kuning dan gulai nangka.
Amboi, ini luar biasa. Bahkan isi lauk pada nasi kotak sebelumnya, berbeda dari yang ada dihadapan saya lihat.
Akhirnya kami makan berdua dengan sang ibu baik hati. Sang ibu yang saya belum sempat menanyakan namanya itu, mencuil cumi dan gulai nangka.
Alhamdulillah. Awalnya, ketika saya mendapat kabar bahwa tidak dapat jatah makan sahur, sudah pasrah.
“Mudah-mudahan Allah kuatkan badan ini untuk tegak berdiri di atas kedua kaki,” demikian batin saya.
Teringat ucapan seorang ustadz bahwa tubuh ini akan mengikuti ruhnya. Jika ruhnya kuat, maka si tubuh mulai menyesuaikan dengan kebiasaan baru.
“Bismillah, asalkan minum air putihnya banyak, InsyaAllah aman,” ujar bisikan di hati.
Kondisi terjepit seringkali membuat kita mampu melampaui batas kemampuan normal. Situasi yang tidak nyaman atau bahkan menyudutkan, menjadi alat pendorong untuk bangkit dan bergerak. Situasi pasrah hanya kepada Allah satu-satunya tempat bergantung, barangkali yang segera membuat Allah menurunkan bantuan dan rezekinya.
Nasi bungkus yang berada di depan saya, memberikan pelajaran bahwa rezeki setiap orang sudah diatur oleh Allah. Ada saatnya kita perlu mengerahkan sekuat tenaga untuk mencapai tujuan . Tapi Allah tidak pernah tidur.
Dalam kehidupan, Allah seringkali memberikan “hadiah-hadiah” secara kontan, tanpa diduga.
Inilah rezeki Allah yang tidak disangka-sangka.
Nasi bungkus untuk sahur pagi ini adalah bagian dari rezeki yang diberikan Allah pada saya hari ini.
Terimakasih Ya Allah, pagi ini Engkau mengajarkan kami untuk selalu mensyukuri nikmat dan berperasangka baik pada-Mu. */kiriman Rias Andriati