TIDAK lama lagi, kembali kita memasuki bulan suci. Sebagai manusia beriman, pastinya kita berbahagia dengannya. Inilah madrasah ruhiyah kaum beriman. Jika kita menempatkannya sebagai madrasah, pasti kita memahami bahwa di dalamnya ada aktivitas ilmu. Aktivitas keilmuan inilah yang menjaga pemikiran untuk selalu istiqamah dalam keloyalan kepada Allah SWT. Inilah pentingnya mengembangkan budaya ilmu di bulan suci.
Ilmu adalah motor penggerak pemikiran dan aktivitas manusia. Tinggi rendahnya martabat manusia ditentukan oleh faktor ilmu. Karena itu, ilmu memiliki perhatian penting dalam tradisi Islam. Hal tersebut misalnya, dapat dilihat, Nabi Muhammad SAW dan generasi gemilang setelahnya, dalam setiap episode historisnya selalu memberi titik berat kepada pengembangan tradisi keilmuan. Sebabnya, epistemologi – yang menjadi kerangka ilmu – adalah sentra aktivitas manusia.
Hasil pemikiran manusia yang berasas epistemologi kokoh tentu tidaklah sama dengan produk pemikiran manusia yang kerangka keilmuannya tidak jelas, atau bahkan salah. Oleh karena itulah, sejak zaman Nabi SAW, tradisi ilmiah tumbuh dan berkembang.
Salah satunya yang terkenal adalah, komunitas Ilmiah Ashabu al-Suffah. Tradisi intelektual zaman Nabi SAW tersebut dapat dibuktikan dengan wujudnya madrasah Ashabu al-Suffah yang diikuti oleh sekitar 70 orang sahabat Nabi SAW.
Sekolah Nabi SAW yang pertama tersebut didirikan sekitar kurang lebih 17 bulan sesudah Hijrah telah melahirkan generasi sahabat yang memiliki tingkat intelektualitas yang hebat, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Peran madrasah ini begitu sentral, sebab, dari komunitas kajian ilmu inilah pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) tersistemasi yang berasas Al-Quran dan al-Sunnah. Ada sesuatu yang berbeda di madrasah itu ketika bulan suci datang.
Kajian-kajian ilmu itu, memberi tekanan khusus pada pendalaman Al-Quran setiap bulan suci Ramadhan. Memasuki bulan Ramadhan, kajian-kajian tentang Al-Quran menjadi semakin meningkat dan diikuti oleh para sahabat lain. Hingga, tradisi ini turun-temurun dicontoh oleh kaum muslimin di penjuru dunia hingga generasi sekarang.
Tradisi keilmuan di madrasah Ashabu al-Suffah tersebut diteruskan dan dikembangkan, sampai akhirnya peradaban Islam mampu menghegemoni dunia yang membentuk mental keilmuan seorang muslim. Seorang Orientalis, Fitcha, menggambarkan tradisi ilmu di Cordoba begitu hebat, hingga ia menyimpulkan, Islam itu gemar membaca dan menulis dan Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk memperolah pengetahuan. Kekaguman Fitcha cukup beralasan, sebab di Cordova itu terdapat sebuah tempat untuk menyalin buku, yang menggunakan 200 lebih gerobak, yang digunakan untuk memindahkan buku-buku, yang diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan buku-buku langka untuk disalin.
Membangun Tradisi di Bulan Suci
Suatu ketika Imam al-Zuhri, Ulama’ hadis kenamaan, pernah memberi nasihat, “Apabila datang Ramadhan, maka kegiatan utama kita selain berpuasa adalah membaca Al-Quran. Bacalah dengan tajwid yang baik dan tadabburi, pahami, dan amalkan isinya. Insya Allah, kita akan menjadi insan yang berkah”.
Nasihat al-Zuhri sangatlah tepat. Momen untuk mengembangkan dan memperbaiki budaya ilmu di bulan Ramadhan memiliki nuansa tersendiri yang berbeda dengan bulan-bulan lainya. Bulan yang juga dijuluki Rihlah ruhaniyah ini sungguh tepat menjadikannya sebagai Madrasah Ilmiyah.
Para ulama’ memberi teladan mencari ilmu yang baik, yakni bersih ruhani – menjauhi segala aktivitas maksiat. “Ilmu (hafalan) tidak bersahabat dengan maksiat!” nasihat Imam al-Waqi’ kepada Imam as-Syafi’i.
Menjaga kesucian jasmani dan ruhani itulah yang dibiasakan oleh Imam al-Bukhari setiap kali ia menuliskan catatan hadisnya. ”Aku tidak pernah menulis dalam kitabku (Shahih Bukhari) sebuah Hadits pun, kecuali aku mandi dan melakukan shalat dua rakaat terlebih dahulu,” kata al-Bukhari sebagaimana dinukil Imam Laknawi dalam Dhafar Al-Amani.
Momentum yang kondusif inilah yang mungkin menjadikan Malaikat Jibril mengajar Nabi Muhammad Al-Quran secara talaqqi tiap tahunnya di bulan Ramadhan. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat, “Jibril as. mendatangi Rasulullah SAW pada tiap malam bulan Ramadhan dan mengajarkannya Al-Qur’an”. (HR Bukhari dan Muslim). Apa yang dilakukan Malaikat Jibril dalam rangka mentarbiyah Nabi SAW, agar keilmuannya terjaga dengan baik. Kedatangan setiap tahunnya itu untuk mengecek bacaan Nabi SAW. Bahkan pada tahun menjelang wafatnya, Jibril menyampaikan bacaan Al-Quran dua kali, sehingga beliau dapat memahaminya dengan sangat baik waktu menjelang akhir hayatnya (Al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’an al-Karim).
Anas bin Malik ra pernah meriwayatkan: “Barangsiapa yang menghadiri majelis ilmu di bulan Ramadhan, maka setiap langkah telapak kakinya dicatat sebagai ibadah oleh Allah SWT dan kelak bersamaku di bawah naungan Arsy”.
Biasanya, kajian yang diberi porsi lebih dalam kajian ilmiah ini, adalah kajian-kajian tentang Al-Qur’an.
Hal itu telah dicontohkan oleh Metode Jibril mengajar Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Para ulama juga menteladani. Teladan itu, sebagaimana metode Jibril, tidak hanya membaca (qiraahi) Al-Quran, akan tetapi mendalami makna-makna yang terkandung di dalamnya untuk diamalkan.
Sebagaimana yang telah dilakukan Imam Qatadah As Sadusi. Ia memiliki kebiasaan setiap tujuh hari mengkhatamkan Al Quran sekali. Akan tetapi bila bulan Ramadhan telah tiba, beliau mengkhatamkannya setiap tiga malam sekali. Dan bila telah masuk sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, beliau senantiasa mengkhatamkannya setiap malam sekali. Dan perlu dicatat, pembacaan Al-Quran para ulama dahulu bukan sekedar qiraah, tetapi juga memahami makna yang terkandung.
Hadis tersebut memotivasi kaum muslimin untuk menyemarakkan budaya ilmu di bulan suci. Pesan tersiratnya, bangunlah tradisi keilmuan di bulan suci karena di bulan ini Allah membuka pintu ampunan yang luas. Penuntut ilmu yang jiwanya bersih, lebih mudah terarah kepada keilmuan yang benar.
Ilmu menempati derajat istimewa dalam Islam, dan Ramadhan adalah bulan teristimewa di antara bulan-bulan lainnya. Oleh sebab itulah, mestinya tradisi mencari ilmu seharusnya lebih semarak di bulan suci, karena inilah momen menjalankan dua kewajiban istimewa yang berimplikasi positif untuk kebiasan-kebiasaan berbudaya ilmu setelah Ramadhan.
Tradisi-tradisi pengembangan ilmu tersebut di pesantren-pesantren tradisional Indonesia telah membudaya dengan baik sejak dahulu. Di beberapa pesantren tradisional, ada tradisi khataman kitab selama bulan suci Ramadhan. Metodenya seperti yang lumrah berjalan di pesantren, yaitu sorogan. Khataman kitab kuning itu diikuti oleh beberapa pelajar dari luar, bahkan dari luar pulau.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tradisi tersebut perlu dikembangkan dan dibiasakan. Menjadikan aktivitas ilmu sebagai aktivitas utama di bulan Ramadhan adalah sebuah kegiatan mulia dalam rangka membangun peradaban. Peradaban Islam, sebagaimana yang telah peradaban Abbasiyah, Kordoba atau Ustmaniyah terbangun dengan tradisi ilmu. Hal itu misalnya bisa dilakukan dengan model-model yang lain, daurah, pelatihan, workshop dan seminar. Kegiatan ilmu adalah aktivitas sangat tinggi nilainya di sisi Allah SWT. Melalui ilmulah manusia dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah kepada-Nya dengan benar.
Tradisi keilmuan ini perlu dibiasakan, mengingat tantangan terbesar muslim kontemporer menurut Prof. Al-Attas adalah rusaknya ilmu. Rusaknya konsep ilmu akan berkonsekuensi pada kerusakan pemikiran dan metode memahami Islam. Apalagi, sebagaimana difatwakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, kerusakan umat diakibatkan oleh kejahatan intelektual muslim (ulama’). ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk,” kata Rasulullah SAW.
Oleh sebab itu, diskusi ilmu dan kajian ilmiah tak kalah mulyanya dengan ibadah shalat dan sedekah di bulan Ramadhan. Bahkan pada masa di mana kerusakan ilmu merajalela, kajian ilmiah barangkali lebih utama.
Ditegaskan oleh Ibnu Abbas, ”Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam lebih saya sukai daripada menghidupkan malam itu.” Apalagi pada masa kini, kejahilan tidak sama dengan kejahilan yang pernah dialami oleh ulama’-ulama dahulu.
Kini, kejahilan bukan saja kekurangan ilmu, akan tetapi kesalahan ilmu (confusion of knowledge). Kekacauan ilmu ini akibat invasi konsep-konsep sekular yang menghegemoni studi-studi Islam. Berangkat dari pemahaman inilah, membudayakan tradisi ilmu adalah langkah utama, dan bulan Ramadhan merupakan momentum yang sangat tepat memulai tradisi mulya tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama dahulu, lebih-lebih untuk menjaga pemikiran di bulan suci. Wallahu A’lam bisshawab
*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor-Ponorogo.