Oleh : Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
ALLAH Subhanahu Wata’alabanyak memberikan kemuliaan kepada orang yang berpuasa. Satu dari sekian kemuliaan yang Allah Subhanahu Wata’alaberikan adalah Dia menjadikan puasa seseorang berfungsi sebagai perisai yang melindungi diri dari menuruti gejolak hawa nafsu yang tak terkendali dan pelindung dari sengatan panas api neraka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda : “Puasa adalah perisai yang kokoh dari api neraka.” (HR. Baihaqi dan Ahmad).
Namun, dalam kesempatan berbeda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pernah menyampaikan dua perusak fungsi puasa sebagai perisai diri. Dengan gaya khas beliau yang kerap membuat ilustrasi untuk mendekatkan makna dari suatu hal yang hendak beliau sampaikan, beliau bersabda, “Puasa itu adalah perisai dari api neraka, layaknya perisai kalian ketika kalian turun ke medan perang, selama tidak dirusak oleh dusta dan menggunjing.” (HR. Ahmad, Nasa`i, dan Ibnu Majah).
Kedua perusak fungsi puasa sebagai perisai diri, sebagaimana disebutkan oleh Nabi adalah dusta dan menggunjing.
Pertama, dusta
Pengertian dusta, seperti tercantum dalam kitab An-Nashaaih Ad-Diiniyyah adalah Mengabarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kejadian yang ada. Dalam buku karya Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad ini juga, dijelaskan bahwa ada dua bentuk dusta, pertama dusta dalam bentuk menetapkan sesuatu yang tidak ada, seolah-oleh ada. Kedua, meniadakan sesuatu yang sejatinya ada, tapi dikatakan tidak ada.
Dusta merupakan sikap yang tercela. Orang yang berdusta bahkan menjadikannya sebagai cara meraih sesuatu, maka ia tengah menyediakan dirinya untuk mendapatkan kutukan dari Allah. Seseorang yang dikutuk berarti jauh dari rahmat Allah. Jauh dari rahmat Allah Subhanahu Wata’alaakan membuat hidupnya tidak nyaman, gelisah, dan penuh gejolak. Kedustaan yang pertama akan ditutupi oleh kedustaan yang kedua kalinya, demikian seterusnya.
Allah Subhanahu Wata’alaberfirman :
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَأُوْلـئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (Qs. An-Nahl : 105).
Dalam ayat yang lain, disebutkan :
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْاْ نَدْعُ أَبْنَاءنَا وَأَبْنَاءكُمْ وَنِسَاءنَا وَنِسَاءكُمْ وَأَنفُسَنَا وأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
“Dan kita minta supaya laknat Allah Subhanahu Wata’aladitimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS: Ali Imran : 61).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Siapa yang ingin mengutuk dirinya sendiri, silakan ia berdusta.”
Kedua, ghibah
“Apakah kalian tahu, apa ghibah itu?” tanya Nabi suatu saat kepada para sahabatnya. Para sahabat menjawab, “Allah Subhanahu Wata’aladan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasul berkata, “Ghibah adalah engkau menyebutkan keburukan saudaramu yang tidak ia sukai.” (HR. Muslim)
Menggunjing, menggosip, atau dalam bahasa jawa disebut ngerasani, dalam segala bentuknya, merupakan perbuatan yang hina, bahkan lebih hina dari menzinai ibunya sendiri, seperti keterangan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Dosanya riba` ada tujuh puluh dua pintu, paling ringannya adalah seperti seseorang mendatangi (menggauli) ibunya, dan tingkatan terberat adalah seseorang menggunjing kehormatan saudaranya.” (HR. Thabrani)
Dalam Al-Quran aktifitas ghibah dikategorikan seperti orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Kita akan merasa jijik manakala mengetahui bahwa ada daging bangkai di depan kita. Sementara, dengan menggunjing, sama halnya kita memakan bangkai saudara kita sendiri yang sepatutnya membuat kita merasa lebih jijik dan berusaha menjauhinya.
Allah Subhanahu Wata’alaberfirman :
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’alaMaha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujarat : 12)
Ada beberapa bentuk ghibah, seperti diterangkan oleh Imam Ghazali dan Imam Nawawi. Bentuk-bentuk ghibah itu adalah dengan ucapan lisan, tulisan ataupun isyarat gerakan anggota badan. Dewasa ini, ghibah tidak hanya hadir dalam bentuk lisan dari mulut ke mulut yang terjadi di sela percakpan antara dua orang atau lebih. Ghibah plus berdusta bisa muncul lewat media sosial, tulisan bahkan tayangan-tayangan di layar kaca televisi seperti program infotainment.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pernah memberikan teguran kepada Sayidah Aisyah RA. Aisyah berkata tentang Sayidah Shafiyah RA. Sudahlah, dia kan begini dan begitu. Sebagian perawi mengatakan yang dimaksud dengan ‘begini dan begitu’ adalah, “Sayidah Shafiyah orangnya bertubuh pendek.” Nabi tidak berkenan dengan ucapan Asiyah. Beliau bersabda, “Sungguh engkau telah mengucapkan perkataan jika dicampur dengan air laut pasti akan merubahnya (warna dan baunya).”
Dalam Kitab Tanbih Al-Mughtarriin disebutkan sebuah riwayat dari Abu Umamah RA. yang berkata, “Di Hari Akhir kelak, seorang hamba akan diberi buku catatan amal, lalu di dalam buku catatan tersebut terdapat kebaikan-kebaikan yang sejatinya tidak ia lakukan. Kemudian orang tersebut berkata, “Ya Rabb, bagaimana aku bisa mendapatkan kebaikan seperti ini?” Maka dikatakan kepadanya, “Ini adalah kebaikan dari orang-orang yang menggunjingmu tanpa engkau sadari.”
Dalam Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah disebutkan tentang betapa bahayanya menggunjing meskipun sebatas lintasan dalam hati. Diriwayatkan, Imam Junaid lewat di sebuah jalan, lalu beliau melihat seorang miskin. Dalam hatinya ia bergumam, “Andai ia bekerja, tentu itu lebih baik baginya (daripada meminta-minta seperti itu) ” Pada malam harinya, seperti biasa ia berzikir. Anehnya ia tidak merasakan semangat, gairah, dan kenikmatan berzikir kepada Allah. Beberapa saat kemudian ia tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat orang miskin yang ia jumpai di jalan, siang sebelumnya. Orang miskin itu tampak telah terbujur kaku di atas meja (siap untuk disantap). Masih dalam mimpinya, ada seseorang berkata kepadanya, “Makanlah dagingnya sebab engkau telah menggunjingnya.”
Sayidina Hasan Al-Bashri memiliki kekhasan dalam menghadapi orang-orang menggunjingnya. Ia akan memberi hadiah kepada siapa yang menggunjingnya yang ia ketahui. Hadiah berupa setalam manis-manisan, sembari berkata kepada yang menggunjingnya, “Telah sampai kabar kepadaku, bahwa engkau telah menghadiahkan pahala kebaikan-kebaikanmu kepadaku. Maka, inilah balasan yang ingin kuberikan kepadamu.”
Berdusta dan menggunjing dapat merusak kekokohan perisai puasa yang kita gadang-gadang mampu melindungi dari nafsu serakah dan api neraka. Sebaik apapun kita berusaha menahan diri dari makan, minum, dan perkara-perkara lain yang membatalkan puasa, akan berujung sia-sia, jika kita berdusta atau memakan bangkai saudara kita.
Jangan kita rusak kekokohannya dengan dua perkara tersebut. Jaga lidah kita dari keduanya dan penyakit-penyakit lisan lainnya. Tidak berdusta dan menggunjing tidak hanya berhenti di Ramadhan, namun di sepanjang waktu tetap kita kendalikan lidah kita dari keduanya. Siapa yang mampu mengendalikan lidahnya ia akan tergolong sebagai orang yang beruntung. “Berbahagialah orang yang dapat menahan lidahnya…” (HR. Baihaqi).*
Penulis adalah pengajar di Pesantren Daruttauhid, Kota Malang