RAMADHAN 1436 H hampir usai, bulan kemenangan akan berlalu. Akankah hukum alam kembali terjadi: setelah kemenangan, akan datang masa kekalahan?
Perlu diketahui mengapa bulan setelah Ramadhan diberi nama Syawal? Hal ini agar kita bisa tetap mengingat amal ibadah di bulan Ramadhan, kemudian ditingkatkan di bulan Syawal.
Akar kata Syawal berarti naik dan meningkat. Dari satu tahapan menuju ke tahapan selanjutnya. Harapannya dengan nama tersebut ibadah kita bisa meningkat dan banyak melakukan kegiatan positif.
Fakta yang terjadi di masyarakat, justru kehidupan relijius menghilang setelah Ramadhan. Masjid jadi sepi kembali. Bacaan al-Quran yang terdengar hanya dari kaset. Seakan-akan euforia ibadah hanya mencapai klimaks di bulan Ramadhan. Saldo masjid yang melimpah di bulan Ramadhan, kembali kembang kempis. Dan yang mengawali bulan Syawal.
Pelajaran berharga ada di Perang Uhud. Setelah menang dalam Perang Badar, kaum Muslimin berada di atas angin. Mereka menyambut perang selanjutnya dengan rasa optimis. Bukit Uhud menjadi saksi dalam perang tersebut. Dalam sesi pertama perang itu kaum Muslimin telah meng-KO kafir Quraisy. Tetapi dalam Perang Uhud kemenangan yang hampir di raih di depan mata menjadi lenyap hanya karena keteledoran pasukan pemanah yang meninggalkan posnya. Uniknya Perang Uhud ada di bulan Syawal. Tepatnya pada tanggal 17 Syawal tahun 3 Hijriyah.
Penyakit pemenang adalah lupa diri. Lupa untuk bersusah payah menjaga kemenangan. Kita pun bisa menyaksikan para pemenang yang kemudian terjungkal menjadi pecudang. Mike Tyson contohnya. Petinju ini di atas ring begitu garang, upper-cutnya mematikan. Banyak lawan bergidik jika berhadapan dengan dia.
Setelah merasa tak terkalahkan, dia seperti tidak bisa melihat ada kemungkinan munculnya kekalahan di depan mata. Awal kekalahan ketika dia tidak bisa mengendalikan gejolak seksual. Fokus bertandingnya jadi kacau dan Evander Holifield pun menjadi petinju yang berhasil meng-KO Mike Tyson.
Inti kemenangan sendiri ketika seseorang bisa konsisten. Selain itu bisa menikmati apa yang menjadi komitmennya. Tidak peduli hasil yang diperoleh seperti apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menilai seorang hamba dari sikap konsistennya. Ini tergambar dalam ayat, ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Q.S. Fushilat: 30)
Abu Bakar r.a dan Mujahid r.a berkata tentang ayat “istaqamu” adalah istiqamah (konsisten) di atas tauhid. Ibnu Abbas, Al Hasan, dan Qatadah menyebut istiqamah sebagai dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah. Abu ‘Aliyah dan As Sudi memahami istiqamah sebagai ikhlas dalam beramal hingga maut menjemput.
Redaksi dalam ketiga perkataan sedikit berbeda tapi mengandung spirit sama. Terus menerus untuk taat. Bahkan As Sudi dan Abu ‘Aliyah mengaitkan konsisten dengan maut.
Djamaluddin Ancok (2011) menyebutkan, teguh pendirian adalah buah konsisten itu sendiri. Dan menikmati apa yang dikerjakan menjadi jaminan awetnya konsisten. Maka dengan membawa spirit Ramadhan dalam Syawal, akan berdampak pada terjaganya ruh ibadah, baik itu yang ada di masjid-masjid, perkantoran atau masyarakat sekalipun.
Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, ”Janganlah seperti si fulan, dulu dia melakukan shalat malam tetapi sekarang tidak melakukan lagi.” (HR. Bukhari). Ini sebuah sindiran sekaligus celaan. Al Ghazali juga telah menyampaikan, seseorang yang mencintai sesuatu melebihi cintanya kepada Allah, maka hatinya telah sakit.
Maka setelah bulan Ramadhan berlalu semestinya setiap Muslim menggiatkan diri dengan melaksanakan ibadah puasa sunnah. Bila perlu ada buka puasa bersama puasa sunnah. Bahkan hanya dengan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal saja sudah menjadi pelengkap bagus bagi puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Abu Ayub, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu melanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu setara dengan puasa sepanjang tahun.” (Riwayat jamaah, kecuali Bukhari dan an-Nasa’i)
Sedang Tsauban meriwayatkan, “Puasa Ramadhan pahalanya senilai dengan puasa sepuluh bulan, dan puasa enam hari pahalanya senilai dengan puasa dua bulan. Jumlahnya semuanya satu tahun penuh.”
Sungguh luar biasa jika kita bisa menjaga semangat ibadah puasa bulan Ramadhan hanya dengan melaksanakan ibadah puasa sunnah bulan Syawal. Ini belum lagi jika kita melaksanakan ibadah puasa sunnah Senin-Kamis atau puasa Nabi Dawud, serta puasa-puasa sunnah lainnya.
Demikian pula untuk menjaga semangat shalat Qiyamulail di bulan Ramadhan, kita adakan shalat malam berjamaah seminggu 2 (dua) atau 3 (tiga) kali dalam seminggu. Juga semakin menggiatkan majelis ilmu sehabis salat fardhu, terkhusus setelah shalat Subuh dan Maghrib. Itikaf di masjid saat Ramadhan, di luar Ramadhan dengan menjalankan mabit.
Dalam bersedekah tetap berlanjut ketika bukan lagi berada di bulan. Dengan demikian saldo masjid bisa terus berkembang dengan baik. Dan ini menjadi harapan semua. Masjid akan tetap makmur dan memakmuri jamaahnya.
Bila semangat ibadah setelah Ramadhan bisa terjaga, maka duka Syawal berupa kekalahan biar jadi anekdot semata. Jika bulan Ramadhan merupakan bulan kemenangan, maka bulan Syawal dan selanjutnya adalah bulan-bulan berkemajuan. Semoga begitu.*/Muslih Marju.
Mahasiswa S-1 Syariah Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.