DALAM Islam, seseorang bisa beri’tikaf di masjid kapan saja, namun dalam konteks bulan Ramadhan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam senantiasa beri’tikaf di 10 hari terakhir. Aisyah ra. meriwayatkan, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
I’tikaf dilaksanakan dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Kesepakatan (ijma’) menyebutkan, ia adalah ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan.
Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuanku, tidak ada seorang pun dari ulama yang mengatakan i’tikaf bukan sunnah.”
Sementara Ibnu Qayyim berkata, “i’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh dihadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wata’ala
Hal inilah yang kemudian dilakoni oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, istri-istri, para sahabat dan para ulama dalam menghidupkan dan semakin meningkatkan ibadah di penghujung Ramadhan.
Ironisnya, perlakuan tersebut sangat jauh berbeda dengan perlakuan mayoritas umat Islam dalam menghidupkan ibadah di penghujung Ramadhan saat ini. Kualitas ibadah terpelihara hanya di 10 hari pertamasaja. Mesjid-mesjid ramai dipenuhi oleh Jama’ah. Tilawah Al-Qur’an masih terjaga. Infak-infak mudah terderma. Namun, ketika memasuki 10 hari kedua, amalan-amalan tersebut mulai mengendur, hingga kemudian makin menyusut ketika memasuki 10 terakhir bulan Ramadhan.
Hal tersebut mengindikasikan bahwasanya ibadah-ibadah di penghujung Ramadhan kehilangan sensitifitasnya. perhatian tidak terfokus kepada peningkatan ibadah melainkan teralihkan kepada persiapan menyambut hari raya Iedul Fitri, berbelanja,membuat kue, mudik, dan lain sebagainya.
Tentunya hal ini patut kita prihatinkan, sebab begitu jauhnya kita dari tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam Oleh karena itu, untuk menghindarinya maka hendaklah kita beri’tikaf sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Sebagi sarana untuk menjaga sensitifitas ibadah yang sudah terbentuk sejak awal Ramadhan.
Terlebih lagi dengan turunnya lailatul qadardi 10 malam terakhir, yaitu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan. Hal ini jugalah yang kemudian menjadi penyebab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, para sahabatnya, dan orang-orang shalih yang mengikutinya justru semakin meningkatkan ibadahnya di 10 hari terakhir Ramadhan yang dijalaninya dengan beri’tikaf.
Sebab mereka meyakini begitu banyak kemuliaan-kemuliaan yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala di penghujung Ramadhan termasuk kemuliaan mendapatkan lailatu qadar. Mereka memusatkan perhatian dan menghidupkan malam dalam rangka bertaqarrub kepada Allah Swt dengan melaksanakan shalat wajib dan shalat-shalat sunnah, berdzikir, mambaca dan tadabbur Al-Qur’an, serta berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Disebutkan dalam beberapa riwayat, bahwasanya para salafusshalih tidak tidur di malam hari sebab menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an. Kebanyakan dari mereka mengkhatamkan Al-Qur’an di malam hari.
Utsman bin ‘Affan, misalnya, mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an setiap hari di bulan Ramadhan. Imam Syafi’i bahkan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali selama bulan Ramadhan, di luar yang ia baca dalam shalat Tarawih. Sementara Aisyah, istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, biasa membacaAl-Qur’an pada waktu subuh, dan apabila matahari telah terbit ia pun tidur.
Sebenarnya, tradisi tersebut juga telah diteladani oleh kaum muslimin saat ini. Akan tetapi belum merata di berbagai daerah. Hanya daerah tertentu saja. Di Yaman misalnya. Dari seorang syaikhoh yang pernah menjalani i’tikah di Yaman, menuturkan bahwasanya peserta i’tikah di Yaman tidak tidur sejak habis tarawih. Mereka menghidupkan malam dengan berdzikir, membaca dan mentadabburi Al-Qur’an serta mendirikan shalat malam. Nanti ketika masuk waktu syuruq, barulah mereka tidur sejenak. Masya Allah . . .
Ketahuilah, bagi seorang Muslim pada bulan Ramadhan berkumpul dua jihad atas dirinya; jihad di waktu siang dalam rangka berpuasa, serta jihad di waktu malam dalam rangka shalat dan membaca Al-Qur’an. Barangsiapa yang mengumpulkan jihad ini, serta menunaikan keduanya seraya bersabar, maka pahalanya akan dipenuhi tanpa batas.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan orang-orang shalih tersebut sebagi teladan, dalam upaya menjaga sensitifitas ibadah di penghujung Ramadhan dengan ganjaran pahala tanpa batas. Semoga kita bisa belajar dari semangat orang-orang shalih dalam menjadikan Ramadhan puncak penghambaan dan pengokohan takwa. Wallahu a’lam bishawwab.*/Mustabsyirah, pegiat komunitas menulis PENA Malika