BEBERAPA waktu lalu, saya dikagetkan kabar. Teman akrab saya ditolak lamaranya. Bukan gara-gara masalah klasik, tapi karena cadar. Ceritanya begini. Teman saya itu sebenarnya sudah kenal cukup lama perempuan yang hendak dinikahinya itu. Ia pun pernah berkunjung ke rumahnya dan berkenalan dengan keluarganya. Keluarganya pun setuju rencana pernikahannya dengan putrinya itu. Waktu lamaran pun telah disepakati.
Di hari H, teman saya pergi melamar. Karena keluarganya jauh, ia pun meminta salah seorang ustadz untuk melamarkannya. Istri ustadz yang telah dikenal akrab itu ternyata bercadar. Alasan memakai cadar itu tidak lain hanya untuk menjaga hijab saja, tak lebih.
Ketika rombongan sampai di rumah perempuan, dan melihat istri ustadz yang memakai cadar tadi, betapa kagetnya pihak keluarga perempuan.
Entah alasan apa, tiba-tiba lamaran tersebut ditolak. Kabarnya, menurut teman saya itu, lantaran yang melamarkanya mengenakan cadar.
Teman saya awalnya tak habis pikir: ada apa dengan cadar hingga begitu menakutkan? Lambat laun ia pun sadar, mungkin ini bukan jodohnya. Allah sengaja menciptakan “skenario cadar” untuk mencarikan jodoh yang lebih baik baginya.
“Saya khusnuzhon saja pada Allah,” ungkapnya yakin.
Kisah lain dari teman saya yang lain. Ia punya teman satu ma’had salafiyah di Jombang Jawa Timur yang mengalami hal tak mengenakan.
Temanya dari Cilacap, Jawa Tengah itu sama-sama nyantri untuk menuntut ilmu agama. Ketika itu, berita terorisme sedang marak-maraknya di media.
Singkat cerita, temanya itu akhirnya selesai nyantri. Ia pun pulang dengan membawa rangsel besar berisi baju dan barang lainnya. Maklum, lama tidak pulang banyak barang yang harus dibawa.
Sesampainya di rumah, alih-alih disambut dengan karangan bunga, justru dicurigai. Orangtuanya menyuruhnya membuka tasnya. Hal itu bahkan dilakukan di depan warga masyakarat. Mereka takut jika ia terlibat terorisme.
Praktis, kejadian itu membuatnya trauma. Lama-lama menimba ilmu agama di pesantren pulang-pulang dicurigai “teroris”. Cita-cita ingin mengabdi ke umat di desanya pun sirna sudah.
Setidaknya, buat apa mengabdi pada masyarakat yang tidak lagi percaya. Ia pun memilih pergi ke Sumatera mencari sesuap nasi. Ia pikir, dari pada di desa, lebih baik merantau ke tempat jauh.
Dua kisah di atas hanya secuil. Masih banyak lagi kisah pedih, pahit dan tak adil yang dialami umat Islam yang identik dengan simbol-simbol di atas. Tidak saja cadar dan pesantren. Tapi juga jenggot, celana di atas mata kaki dan kitab tafsir dan jihad.
Jika ada yang memiliki ini, siap-siap dicap sebagai kelompok yang kata “mereka” fundamentalis, radikalis dan stigma lainnya. Padahal, identitas tersebut tidak bertentangan dengan Islam, bahkan dianjurkan Islam.
Stigma itu muncul ketika maraknya pemberitaan terorisme yang dilakukan media. Media menyorot ciri-ciri terorisme. Teroris itu biasaya berjenggot, bercelana cingkrang dan punya istri yang memakai cadar. Stigma itu juga hingga ke buku-buku seputar jihad, tafsir al Quran dan lain sebagainya.
Apa yang disampaikan media ternyata ditelan mentah-mentah sebagian masyarakat, terlebih yang dangkal ilmunya. Mereka mengamini seluruh yang distigmakan media. Makanya tak heran jika melihat demikian, banyak umat Islam sendiri yang curiga. Efek dari pecitraan buruk terhadap Islam ini ternyata memiliki ekses negatif luar biasa.
Padahal, tidak semua yang memiliki ciri-ciri tersebut melakukan terorisme. Itu hanya segelintir. Tapi, gara-gara stigma buruk itu justru mengglobal seolah yang seperti itu adalah teroris. Ibarat kata pepatah; nila setitik rusak susu sebelanga. Betapa dahsyatnya efek pencitraan.
Saya yakin, Indonesia hingga kini masih dilindungi Allah dari segala bencana dan musibah karena doa-doa dan kesalehan hamba-hamba-Nya yang shaleh. Merekalah yang senantiasa beribadah secara tulus. Doa-doa merekalah yang masih didengar Allah. Doa-doa merekalah yang masih menembus ‘arys. Bukan doa para koruptor.
Sayangnya, justru balasan yang tidak mengenakan yang mereka terima. Ibarat pepatah; air susu dibalas air tuba. Jangan sampai, mereka yang terzalimi berbalik berdoa yang buruk. Sebab, jika hal itu dilakukan, boleh jadi, Allah akan membuka langit ke tujuh dan mengabulkan doa mereka.
Abdullah
Guru ngaji tinggal di Surabaya