MENYIKAPI somasi yang dilayangkan oleh LGBTIQ Indonesia terhadap Harian Umum Republika, maka komunitas PENA Santri Jabodetabek menilai somasi tersebut tidak toleran dan menegasikan nurani.
Pertama, LGBT (lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender) pada hakikatnya adalah perilaku abnormal yang dialami oleh individu, yang seharusnya direhabilitasi bukan diakui.
Segala macam argumentasi yang menggiring opini publik bahwa LGBT adalah wajar, sangat tidak manusiawi dan pasti tidak bisa diterima secara ilmiah.
Kedua, LGBT secara nyata akan berdampak terhadap rusaknya tatanan keluarga. Bisa dibayangkan jika di dalam satu rumah ada anggota keluarga yang menjalankan praktik LGBT. Jelas ini tidak mungkin diterima di Indonesia.
Ketiga, LGBT yang berlindung di balik dalih HAM harus memahami konsep toleransi. Sebab, memaksakan LGBT atas dasar HAM, sama halnya dengan LGBT tidak toleran terhadap agama, adat, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia secara umum.
Keempat, LGBT sangat tidak sesuai dengan nurani umat manusia secara umum.
Kelima, betapa ironisnya, saat pemerintah dan kalangan aktivis perlindungan anak terus mengampanyekan ekstraproteksi (proteksi ketat) bagi anak-anak, dan pentingnya pendidikan karakter sejak usia dini, tapi LGBT dibiarkan melakukan pengrusakan terhadap itu semua.
Keenam. Kepancasilaan Indonesia, khususnya sebagai negara bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak semestinya ditaklukkan oleh kampanye HAM yang nyata-nyata mengabaikan kewajiban asasi manusia.
Oleh karena itu, komunitas PENA Santri Jabodetabek berharap, agar pihak LGBTIQ Indonesia bisa berpikir jernih. Yaitu dengan mengedepankan nurani dan berbesar jiwa untuk toleran terhadap apa yang menjadi keyakinan sebagian besar rakyat Indonesia.*
Masykur Abu Jaulah
Ketua komunitas PENA Santri Jabodetabek