Hidayatullah.com | Ghalas (Arab: al-ghalas, at-taghlīs), secara bahasa bermakna gelap di akhir malam ketika bercampur dengan cahaya pagi (zhulmah ākhira al-lail idzā ikhtalathat bi dhau’ ash-shabāh). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ shalat Subuh pada saat ghalas (gelap).
Adapun isfar (Arab: al-isfār), secara bahasa bermakna jelas dan terang (wadhaha, inkasyafa). Dalam sebuah hadits disebutkan,“asfirū bi al-fajr fa innahu a’zhamu li al-ajr” (Shalat Subuhlah kalian ketika langit kekuning-kuningan (terang), karena sesungguhnya ia lebih besar pahalanya).
Para ulama berbeda pendapat tentang keutamaan waktu shalat Subuh antara isfār dan taghlīs. Sejumlah ulama berpandangan bahwa ghalas atau taghlīs lebih utama dari isfār, hal ini antara lain meruapakan pendapat Malik, Syafi’i, Ishaq, dan lainnya.
Argumen pendapat taghlīs berdasarkan sejumlah hadits antara lain hadits Abu Musa, hadits Abu Barzah, hadits ‘Urwah bin az-Zubair. Juga didukung sejumlah ayat antara lain QS. Ali Imran [03]: 133, QS. Al-Maidah [05]: 48), dan QS. Al-Baqarah [02]: 45. Menurut para ulama, tiga ayat ini mengindikasikan bahwa waktu Subuh itu di awal waktu.
Sementara itu argumen isfār juga berdasarkan sejumlah hadits antara lain hadits Rafi’ bin Khadij yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ berpagi-pagi dalam mengerjakan shalat Subuh, karena yang demikian lebih besar ganjarannya (HR. An-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, ad-Darimy, al-Baihaqy, dan Ibn Hibban).
Lalu hadits “asfirū bi al-fajr fa innahu a’zhamu li al-ajr” (Shalat Subuhlah kalian ketika langit kekuning-kuningan, karena sesungguhnya dia lebih besar pahalanya), yang mana menurut kalangan yang mendukung isfār, maksud hadits ini adalah memastikan terbitnya fajar itu sendiri. Sedangkan penggalan sabda Nabi ﷺ “fa innahu a’zhamu li al-ajr” (karena sesungguhnya dia lebih besar pahalanya) semata menunjukkan sahnya shalat sebelum isfār namun ganjarannya lebih sedikit.*/Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU dan Pengkajian Manuskrip Falak