Perang Khaibar terjadi pada tahun ke-7 H, di lokasi benteng yang dibangun kaum Yahudi, yang dikenal sebagai perang paling sengit yang dialami kaum Muslim
Hidayatullah.com | WILAYAH Khaibar dikenal subur, dengan airnya yang sangat melimpah. Tak heran bila Khaibar menjadi kawasan penghasil buah-buah dan kurma yang sangat melimpah.
Karena itu, Khaibar sering disebut sebagai negeri Hijaz yang subur atau negeri Hijaz yang kuat. Pada masa Rasulullah, Khaibar mempunyai pasar bernama Pasar an-Nathah.
Pasar ini dilindungi oleh Kabilah Ghathafan. Kabilah Ghathafan menganggap bahwa Khaibar termasuk wilayah kekuasaannya.
Selain itu, di wilayah ini juga banyak perkampungan Yahudi. Bisa dibilang, Khaibar merupakan perkampungan Yahudi terbesar di Jazirah Arab.
Mereka adalah masyarakat yang kaya dengan hasil perkebuannya. Selain itu, mereka juga memiliki pabrik penghasil sutera yang indah, pembuat senjata, dan lainnya.
Kawasan Khaibar terpusat pada tiga titik, yakni Nathat, Syaqq dan Katibah. Di Khaibar ada tiga kelompok benteng, yang masing-masing terdiri dari beberapa benteng sebagai berikut;
(1). Kelompok benteng An- Nithah, terdiri dari empat buah benteng: Na’im Ash-Sha’ab bin Mu’adz, Qal’ah Az-Zubair, dan Baqlah.
(2). Kelompok benteng Asy-Syiq, terdiri dari dua benteng: Ubay dan Al-Bari. (3). Kelompok benteng Al-Kutaibah, terdiri dari tiga benteng: Al-Qamush, Al-Wathih, dan Sulalim.
Al-Qazwaini berkata: “Khaibar terkenal dengan sering berjanggkitnya demam. Penduduknya tidak pernah lepas dari demam. Mereka adalah kaum Yahudi yang terkenal pembuat makar dan keji, tapi justru di Khaibarlah tempat tinggal Samau’al bin Adiya’ yang terkenal setia pada janji itu Kaum Yahudi Khaibar adalah para jagoan perang.
Mereka memperbanyak benteng yang kokoh. Selain itu, mereka adalah para petani yang pintar, tetapi juga penipu.
Rasulullah ﷺ ingin melepaskan diri dari berdekatan dengan mereka sebagaimana beliau melepaskan diri dari Yahudi Madinah, yang sebagian dari mereka telah berhijrah ke Khaibar
Perang Khaibar
Perang Khaibar terjadi pada tahun ke-7 H (Agustus 628 M). Sepulang Rasulullah ﷺ dari Hudaibiyah, beliau tinggal di Madinah selama sisa bulan Dzulhijah sampai masuk ke sebagian bulan Muharam tahun ke-7 H.
Karena beliau dan kaum muslimin tidak jadi melaksanakan haji pada tahun itu, maka musim haji tahun itu masih didominasi kaum musyrikin. Selanjutnya, pada sisa bulan Muharam tahun itu berangkatlah beliau menuju Khaibar bersama 1.600 orang bersenjata lengkap dan dengan persiapan sebaik-baiknya.
Dari jumlah sekian itu, 200 orang di antaranya adalah penunggang kuda. Nampaknya personil pasukan berkuda pada perang kali ini bertambah jumlahnya, karena pada perang- perang sebelumnya mereka tidak sampai 30 orang.
Kali ini Rasulullah ﷺ didampingi istri beliau, Ummu Salamah, yang dulu ikut juga ketika berangkat ke Hudaibiyah. Beliau mempercayakan kota Madinah kepada Siba’ bin Urfuthah Al-Ghifari.
Balatentara kaum muslimin mulai bergerak
Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Anas: “Bahwasanya Nabi tiba ke Khaibar pada malam hari. Beliau dan para shahabatnya tidur di luar Khaibar. Pagi harinya barulah mereka mengendarai kendaraan mereka menuju Khaibar. Mereka berjalan ke Khaibar pagi-pagi benar.”
Menurut salah satu riwayat yang disampaikan Ibnu Ishaq bahwa tatkala Rasulullah ﷺ telah mendekati Khaibar, beliau berkata kepada para shahabat: “Berhenti!” Selanjutnya, beliau mengucapkan:
ضين وما أقللن ورب الشياطين وما اللهم رب السماوات وما أظللن ورب الأرض هذه القرية وخير أهلها وخيـر ما أضللن ورب الرياح وما ذريل فإنا نسئلك فيها ونعوذ بك من شرها وشر أهلها وشر ما
“Ya Allah, Rabb langit dan Rabb segala yang dinaunginya, Rabb bumi dan Rabb apa saja yang diangkutnya, Rabb setan dan apa saja yang dianutnya, Rabb angin dan Rabb apa saja yang diterbangkannya, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini, penduduknya, dan apa yang ada di dalamnya. Aku berlindung diri kepadaMu dari keburukan kampung ini, penduduknya, dan yang ada di dalamnya. Majulah kalian dengan nama Allah (bismillah!).” (Al-Hakim yang menilainya shahih).
Syahdan, bergeraklah bala tentara Rasulullah mereka di Khaibar, selama 4 hari hingga sampailah mereka di Khaibar. Karena hasutan kaum Yahudi itu, kaum Ghathafan pun bersedia menjalin kerja sama sebagai orang bayaran untuk menyerang kaum Muslim di Madinah.
Allah pun mengabulkan doa Rasul ﷺ. “Sesungguhnya, Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohonAah mnengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka, dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil.
Rasulullah menyeru orang-orang yang dulu ikut ke Hudaibiyah agar sekarang ikut lagi berperang bersama beliau. Akan tetapi, orang-orang yang dulu tidak ikut ke Hudaibiyah pun pada datang untuk ikut berperang bersama beliau, karena menginginkan ghanimah. Karena itu, beliau berkata: “Janganlah kamu berangkat bersamaku, kecuali karena hendak berjihad. Adapun kalau karena ghanimah, maka jangan.” (Karena tujuan utama adalah jihad, bukan ghanimah).
Ketika pulang dari Hudaibiyah, Allah ta’ala memang telah menjanjikan kepada Rasul-Nya dalam Surat Al-Fath akan memberi ghanimah yang banyak, yaitu pada firman Allah ta’ala;
وَعَدَكُمُ اللّٰهُ مَغَانِمَ كَثِيۡرَةً تَاۡخُذُوۡنَهَا فَعَجَّلَ لَكُمۡ هٰذِهٖ وَكَفَّ اَيۡدِىَ النَّاسِ عَنۡكُمۡۚ وَلِتَكُوۡنَ اٰيَةً لِّلۡمُؤۡمِنِيۡنَ وَيَهۡدِيَكُمۡ صِرَاطًا مُّسۡتَقِيۡمًاۙ
“Allah menjanjikan kepadamu harta rampasan perang yang banyak yang dapat kamu ambil, maka Dia segerakan (harta rampasan perang) ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjukkan kamu ke jalan yang lurus.” (QS: Al-Fath: 20).
Itulah janji Allah. Dalam peperangan ini umat Islam berhasil meraih kemenangan yang gemilang Peristiwa ini terjadi pada Muharram 7 Hijriyah, sebagaimana pendapat Ath-Thabari dalam Tarikh-nya. Namun, pendapat lain menyatakan pada bulan Safar, sebagaimana diungkapkan A-Waqidi dalam Al-Maghazi. Ibnu Saud dalam Ath-Thabaqat menyatakan pada bulan Jumadil Awal.
Sementara itu, Ibnu Khayyat menyatakan, “Pergerakan pasukan kaum Muslim dimulai pada bulan Muharram, bertempur pada bulan Safar, dan kembali pada hari kesepuluh bulan Rabiul Awal.” Namun, mayoritas ulamaberpendapat, penaklukan Khaibar terjadi pada bulan Muharram Awal.”
Sengit
Peperangan Khaibar ini merupakan salah satu pertempuran kaum Muslim yang paling sengit karena kondisi pasukan Yahudi saat itu sangat kuat. Apalagi mereka juga didukung sejumlah benteng pertahanan yang sangat kokoh.
Disebutkan dalam beberapa literatur, pasukan Romawi yang terkenal dengan ribuan pasukan-nya belum tentu dapat mengalahkan kaum Yahudi Khaibar ini. Dengan sejumlah benteng pertahanan berlapis ini, tentu saja diperlukan strategi yang matang.
Rasul memerintahkan untuk menyerang benteng yang lebih mudah dirobohkan terlebih dahulu, sebagaimana disarankan oleh sahabat Habbab bin Mundzir. Dan, benteng yang pertama kali berhasil direbut itu adalah Benteng Na’im yang menjadi gudang penyimpanan makanan.
Dari sekian banyak benteng yang ada, hanya dua yang tidak berhasil direbut karena kaum Yahudi menyerah, yakni Al-Natih dan As-Sulaim. Di sinilah kaum Yahudi menempatkan anak-anak dan wanita.
Sedangkan, benteng terbesar dan paling kokoh adalah benteng Al-Qamush. Pasukan Yahudi dipimpin oleh Sallam bin Misykam.
Dalam peperangan Khaibar ini, Sallam berhasil dibunuh oleh pasukan muslim. Namun, kematian komandan pasukan Yahudi ini tidak menyebabkan pertahanan Khaibar mudah ditembus.
Rasulullah bahkan sampai menugaskan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab untuk menembus pertahanan Khaibar, tetapi tak berhasil. Setelah komando pasukan diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib, pertahanan pasukan Yahudi berhasil dipatahkan.
Nama Ali berkibar
Kuatnya pertahanan kaum Yahudi membuat pertempuran berlangsung sengit. Namun, kesigapan dan kekompakan yang dilakukan pasukan kaum Muslim membuat mereka mampu mengalahkan kekuatan Yahudi.
Di Khaibar inilah nama Ali bin Abi Thalib menjulang. Keberhasilannya dalam menembus pintu benteng pertahanan Yahudi dan kemudian menjadi perisai kaum Muslim selalu dikisahkan dari abad ke abad.
Harits bin Abu Zainab yang ditunjuk sebagai komandan pasukan kaum Yahudi setelah Sallam tewas juga berhasil dibunuhnya. Satu demi satu benteng Yahudi di Khaibar dapat dikuasai pasukan Muslim.
Namun, di dua benteng terakhir, tentara-tentara Yahudi bertahan dengan sangat gigih sehingga banyak korban yang jatuh, baik di pihak Islam maupun pihak mereka. Namun, lambat laun pihak Yahudi menyerah.dan menyatakan bersedia keluar dari Khaibar bersama dengan keluarganya masing-masing, dan seluruh benteng kemudian diserahkan kepada pasukan umat Islam.
Di dalam benteng-benteng tersebut, kaum Muslim memperoleh banyak senjata dan menemukan ribuan kitab Taurat. Kaum Yahudi kemudian meminta kitab-kitab tersebut dikembalikan.
Tuntutan ini dikabulkan oleh Rasulullah ﷺ. Bahkan, Rasulullah juga memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan seluruh kekayaannya selama dalam perjalanan ke luar Khaibar.
Namun seorang Yahudi bernama Kinana bin Rabi yang terbukti berbohong saat dimintai keterangan oleh Rasulullah. Perlindungan itu sengaja diberikan Rasulullah untuk menunjukkan perbedaan perlakuan umat Islam dan Kristen terhadap pihak yang dikalahkan.
Sebab, biasanya, pasukan Kristen dari Kekaisaran Romawi biasanya akan akan menghancurkan kelompok Yahudi yang dikalahkannya. Sekarang kaum Yahudi Khaibar diberi kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang mengikuti garis kepemimpinan Rasulullah.
Perang Khaibar ini diceritakan menelan korban 93 orang dari pihak Yahudi dan 15 orang dari pihak pasukan Muslim. Rasulullah pun sempat tinggal beberapa lama di Khaibar.
Namun, di tempat ini Rasulullah nyaris diracun oleh Zainab binti Harits, istri Sallam bin Misykam, komandan pasukan Yahudi yang tewas dalam pertempuran. Saat itu, Zainab mengirim sepotong daging domba untuk pasukan Rasulullah.
Rasulullah ﷺ pun sempat menggigit sedikit daging tersebut, tetapi segera memuntahkannya setelah merasa ada hal yang ganjil. Namun, tidak demikian halnya dengan sahabat Rasul yang bernama Bisyri bin Bara, yang akhirnya beliau wafat setelah memakan daging tersebut.*