Sumber air pegunungan tidak boleh dikuasai individu. Islam juga mendorong pemeluknya menjaga kelestarian sungai
Hidayatullah.com | SUATU saat Zubair dengan seorang laki-laki terlibat perselisihan karena masalah saluran irigasi di Al Hurrah (wilayah Madinah yang bebatuannya berwarna hitam), yang dengan saluran itu Zubair menyiram pepohonan korma. Laki-laki Anshar itu meminta kepada Zubair untuk mengalirkan air namun beliau menolak.
Akhirnya keduanya sepakat mengadukan masalah itu kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau pun menyampaikan kepada Zubair, ”Airi tanahmu kemudian alirkan air ke tanah tetanggamu.”
Laki-laki Anshar tersebut tidak menerimanya, hingga ia mangatakan, ”Sesungguhnya ia adalah anak dari bibimu wahai Rasulullah.” Mendengar pernyataan itu, air muka Rasulullah ﷺ berubah. Walau demikian keputusan beliau tidak berubah, ”Wahai Zubair airi tanahmu, hingga cukup.”
Dari kisah yang tercantum dalam Shahih Al Bukhari di atas para fuqaha menyimpulkan bahwa penggunaan irigasi yang berasal dari sungai kecil dan aliran dari air hujan dimulai dari lahan yang tertinggi lebih dahulu, setelah tercukupi baru dialirkan ke lahan yang lebih rendah demikian seterusnya hingga air hilang meresap. (dalam Al Muhadzdzab, 1/328).
Lebih dari masalah irigasi, syariat Islam sendiri sebenarnya mengatur dengan cakupan yang lebih luas menganai penggunaan sumber daya air.
Dalam hukum Islam, hak dalam memanfaatkan air terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, hak untuk konsumsi manusia dan hewan ternak, serta kebutuhan rumah tangga (hak syafah). Kedua, hak penggunakan air untuk pangairan lahan (hak as syurb).
Klasifikasi Hak yang Berkaitan dengan Air
Air di Wadah
Air yang telah ditampung di wadah atau yang disalurkan ke pipa-pipa kepemilikannya berada di bawah siapa saja yang mengumpulkan dan menyalurkannya. Dengan demikian tidak boleh seorang pun memanfaatkannya sebelum ia memperoleh izin dari pemiliknya. Dan pemiliknya juga berhak untuk menjual atau menggunakannya untuk apa saja. (lihat, Al Muhadzdzab, 1/427).
Para ulama mengkiaskan hukum air ini dengan hukum kayu ranting yang diambil dari alam bebas, kepemilikannya ada pada siapa yang mengumpulkannya.
Air Sumur
Sedangkan bagi air sumur yang digali, baik di tanah mati dalam rangka ihya’ mawat atau di tanah pemiliknya juga akan menjadi milik penggalinya, demikian menurut madzhab As Syafi’i (lihat, Mughni Al Muhtaj, 2/370).
Hal ini dikiaskan dengan kepemilikan buah dan pohon yang tumbuh di tanah pemiliknya. Namun, meskipun berada dalam kepemilikan individu, dilarang bagi pemiliknya untuk malarang orang lain menggunakan air itu untuk dikonsumsi, baik oleh dirinya maupun binatang ternaknya (hak syafah). Hal ini merujuk kepada sabda Rasulullah ﷺ,”Janganlah kalian melarang kelebihan air…” (Riwayat Al Bukhari)
Namun orang lain tidak memiliki hak untuk mengairi lahan (hak syurb) dari sumur itu, kecuali atas izin pemiliknya.
Air dari Parit Milik Pribadi
Sedangkan status air yang mengalir di parit yang berada di bawah kepemilikan seseorang sama dengan status sumur di atas. Orang lain memiliki hak syafah (untuk dikonsumsi) terhadapnya dan bukan hak syurb (pengairan). Bagi madzhab As Syafi’i pemiliknya juga bisa menjual hak syurb atas parit itu, namun dengan syarat berdasarkan timbangan atau takaran hingga jumlahnya bisa terukur. (dalam Nahayah Al Muhtaj, 3/257).
Sungai Umum
Sedangkan status bagi sungai yang tidak berada dalam kepemilikan pribadi seperti sungai Nil atau Eufrat di Iraq serta mata air di pegunungan, airnya maupun tempat yang dialirinya tidak boleh di miliki oleh siapa saja. Sehingga, setiap orang berhak memanfaatkannya, baik hak syafah (untuk dikonsumsi diri sendiri maupun hewannya) maupun hak syurb (untuk mengairi lahan), juga hak untuk mengalirkannya melalui parit ke lahannya, atau memasang alat untuk mengalirkan airnya ke tanahnya (hak majra). (lihat, Al Muhadzdzab, 1/428).
Penguasa juga tidak boleh melarang seluruh bentuk pemanfaatan di atas, kecuali jika dinilai hal itu membahayakan sungai atau mengancam maslahat umum. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah ﷺ,”Manusia memiliki hak bersama atas air, rerumputan, dan api” (Riwayat Ahmad).
Laut
Setiap orang berhak memanfaatkan air laut untuk apa saja, baik hak syafah maupun hak syurb. Sebagaimana kebolehan bagi mereka untuk memanfaatkan sinar matahari dan udara.
Hak Al Majra
Syariat, disamping melindungi adanya hak syurb dan hak syafah, hak seseorang untuk mengalirkan air ke tanahnya yang jauh dari saluran irigasi. Dan tetanggnya tidak berhak melarangnya untuk melewatkan airnya melalui lahannya tersebut (hak majra).
Hal itu merujuk kepada keputusan Umar bin Al Khaththab setelah Ad Dhahak bin Khalifah mengadu kepada beliau, karena hendak mengalirkan air ke kebunnya melalui tanah Muhammad bin Maslamah. Umar akhirnya menyampaikan kepada Ibnu Maslamah, ”Demi Allah, ia (Ad Dhahak) agar mengalirkan air itu, walau di atas perutmu.” (Riwayat Malik)
Menjaga Kelestarian Lingkungan
Tidak hanya berbicara mengenai hak-hak untuk mamanfaatkan sumber daya alam, khususnya berkenaan dengan air, syariat juga ikut medorong agar manusia ikut menjaganya. Ini tercermin dari penetapan adanya area sekitar sungai dan mata air yang tidak boleh didirikan bangunan di atasnya yang disebut sebagai harim.
Penetapan harim sendiri disamping bertujuan untuk memudahkan aktivitas pemanfaatan sungai, mata air atau sumur, juga untuk kemaslahatan sumber-sumber penghidupan tersebut. Hal ini bisa dilihat dari salah satu fungsi harim, dimana dalam madzhab As Syafi’i dan sebagian ulama Hanafi menetapkan bahwa harim untuk sungai adalah tepi di dua sisi sungai yang biasa untuk dijadikan untuk tempat penimbunan tanah dasar sungai jika sungai tersebut mengalami pendangkalan. (lihat, Mughni Al Muhtaj, 4/363 dan Al Bada’i’, 6/195).
Demikian pula perhatian syariat terhadap kelestarian sungai tercermin dengan adanya pengaturan mengenai siapa yang bertanggung jawab mengeruk sungai dari pendangkalan sertai perbaikan atasnya.
Karena kemaslahaatan sungai-sungai besar kembali kepada masyarakat umum, maka biaya pengerukan tanah sungai dan perbaikannya dibebankan kepada baitul mal. Namun jika saluran irigasi milik kolektif, maka pembiayaannya dibebakan kepada seluruh pemiliknya, karena mashalat kembali kepada mereka sendiri.
Di saat ada sebagian dari mereka menolak maka hakim berhak untuk memaksa dalam rangka menghindari madharat yang lebih besar. Namun jika semua menolak, maka hakim tidak bisa mamaksa, seperti halnya mereka yang menolak untuk memperbaiki lahan mereka sendiri. (Durr Al Mukhtar, 5/313) *, Suara Hidayatullah