MALAM tersebut dinamakan Lailatul Qadar (Malam Kemuliaan), karena pada malam itu diturunkan Kitab yang memiliki kemuliaan melalui lisan malaikat yang memiliki kemuliaan kepada Rasul yang memiliki kemuliaan, serta bagi umat yang memiliki kemuliaan.
Pada malam Lailatul Qadar kita dianjurkan memperbanyak doa, khususnya doa yang diriwayatkan dari Aisyah r.a ketika beliau menuturkan, “Saya bertanya, ‘Ya Rasulullah, bagaimana menurutmu jika saya bertemu dengan Lailatul Qadar, apa yang harus saya ucapkan pada saat itu?’ Beliau bersabda: ‘Ucapkanlah; ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau menyukai maaf, maka maafkanlah aku’.” (HR Ahmad)
Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam juga bersabda, “Siapa yang mengerjakan shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan keridhaan Rabb, maka diampunilah dosanya yang telah berlalu.” (Muttafaq ‘Alahi)
Generasi Salaf mengkhususkan Lailatul Qadar dengan perhatian yang lebih intensif. Demi mencari malam tersebut, Tsabit Al-Bunani mengenakan pakaian yang paling bagus, memakai minyak wangi, mengharumkan masjid dengan minyak wangi dan asap kayu yang berbau harum.
Tamim Ad-Dari r.a memiliki pakaian yang dibelinya seharga seribu dirham. Dia mengenakan pakaian itu pada malam yang ia harapkan pertemuannya, yakni Lailatul Qadar.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir untuk mencari Lailatul Qadar, beliau melakukkan i’tikaf pada pertengahan bulan Ramadhan, karena belum jelas waktu kedatangan Lailatul Qadar bagi Rasulullah.
Ketika waktu kedatangannya telah jelas bagi beliau, beliau pun melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkan beliau. Bahkan diriwayatkan bahwa ketika memasuki sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam menghindari istri-istri beliau. Ini bisa berarti menunjukkan kesungguhan dalam ibadah.
Jika tersisa sepuluh hari dari Ramadhan, Nabi Shalallahu ‘Alahi Wasallam tidak membiarkan seorang pun yang mampu mengerjakan shalat malam, melainkan beliau membangunkannya. Beliau lebih menekankan terhadap mereka untuk bangun di malam-malam ganjil yang diduga kuat terdapat di dalamnya Lailatul Qadar.
Abu Hurairah r.a menuturkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam, bersabda, “Lailatul Qadar malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan, dan para malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak dari jumlah kerikil.” (HR Ahmad)
Malam Lailatul Qadar dapat dilihat dari tanda-tandanya, di antaranya adalah bahwa malam itu tidak dingin, tidak pula panas, dan matahari pada hari itu terbit tanpa sinar.
Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Lailatul Qadar adalah malam yang kondusif, cerah, tidak panas tidak pula dingin, pada paginya cahaya matahari menjadi lemah dan berwarna merah.” (HR Thabrani)
Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Pada pagi harinya (setelah) malam itu, matahari terbit tidak memancarkan sinar, seperti baskom (guci bulat tempat cuci tangan), hingga meninggi.” (HR Abu Dawud)
Lailatul Qadar juga memiliki tanda-tanda lain yang kebanyakannya tampak setelah waktu malam berlalu.
Dari hadits Ubadah bin Shamit dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Pada malam Lailatul Qadar tidak dibolehkan bagi planet (meteor) untuk dilemparkan hingga pagi, dan bahwa tandanya adalah matahari keluar pada paginya dalam keadaan yang sama (permukaannya dengan sinar yang redup) tidak ada pancaran sinar padanya seperti bulan purnama. Setan tidak diperkenankan keluar menyertainya pada hari itu.” (HR Ahmad)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya setan muncul menyertai matahari pada setiap hari, kecuali pada malam terjadinya Lailatul Qadar, sebab saat itu matahari terbit tanpa ada sinar padanya.
Terkait firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar,” (Al-Qadar: 5), Mujahid berkata, “Keselamatan lantaran tidak ada kejadian penyakit pada malam itu atau setan pun tidak bisa melakukan apa pun pada saat itu.”
Ibnu Abbas menuturkan, “Pada malam itu jin-jin jahat dibelenggu, jin-jin ifrit diikat, semua pintu langit dibukakan pada malam itu, dan saat itu Allah menerima taubat setiap orang yang bertaubat.”
Kaum wanita bersedih karena terluputkan dari ibadah pada malam Lailatul Qadar disebabkan haid atau nifas. Akan tetapi, hendaknya mereka melakukan amal kebajikan sepanjang bulan Ramadhan agar Allah menerima amal mereka.
Juwaibir mengatakan, “Aku bertanya kepada Dhahhak tentang wanita yang haid, nifas, musafir, dan orang yang tidur, apakah menurutmu mereka mendapatkan bagian pada Lailatul Qadar?’ Dhahhak menjawab, ‘Ya, setiap orang yang amalnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah akan memberikan bagiannya dari Lailatul Qadar kepadanya’.”
Artinya, orang yang melakukan amalnya dengan baik pada bulan Ramadhan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menerimanya, dan orang yang amalnya diterima oleh Allah, maka Allah tidak menghalangi bagiannya dari Lailatul Qadar.*
Dari buku Powerful Ramadhan karya Muhammad Husain Ya’qub.