Oleh: Imam Nawawi
BELAKANGAN ini simbol negara Pancasila kembali “disaktikan.” Tidak sedikit yang mengatasnamakan Pancasila kemudian ‘mengejar-ngejar’ ulama dan menuduh kelompok lain dengan label Anti NKRI atau anti kebhinekaan.
Tidak sediki yang katanya cinta Pancasila tetapi tidak mengerti apa makna dari ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Yang logikanya, tidak memahami sila pertama berarti meruntuhkan semua sila di dalam Pancasila.
Itu kondisi kekinian yang mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pancasila nampaknya ingin dimonopoli dan dengan itu mereka yang sebenarnya perlu intropeksi diri apakah dirinya telah memahami sekaligus mengamalkan Pancasila atau belum, seperti dikatakan Rocky Gerung dalam siaran talk show di stasiun televisi swasta nasional “Mengendalikan Kebenaran.”
Tetapi, lebih dari sekedar bertarung sengit dalam adu argumen apa itu Pancasila, saya tertarik untuk mengupas ilustrasi yang dibuat oleh Jalaluddin Rumi dalam bukunya “Fihi Maa Fihi” yang menjelaskan sikap Nabi Adam kenapa meski sama-sama diusir dari surga sebagaimana Iblis, Nabi Adam ada pintu spesial yang jika dimasuki akan mendapakan kebahagiaan, yakni pintu ampunan dengan pertaubatan. Sedangkan Iblis, selamanya dalam kutukan tiada akhir.
Iblis diusir dengan kehinaan tidak lain karena sikapnya yang ‘mendebat’ Tuhan, karena merasa dirinya lebih unggul dari Adam yang diciptakan dari tanah dan termasuk makhluk (ciptaan) yang new comer alias belum ada kiprah sama sekali. “Masuk akal,” mungkin demikian Iblis berpikir, “Barangkali Tuhan lupa,” begitu mungkin analisanya.
“Engkau ciptakan aku dari api sementara dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf [7]: 12).
Dalam catatan Rumi, Iblis telah berbuat dosa, melakukan perlawanan, dan bantahan sekaligus. Dia benar-benar tidak memiliki tata krama kepada Allah yang telah menciptakannya, sehingga ia hanya ingat pada tuntutan hawa nafsunya sampai-sampai tidak sadar membantah perintah Tuhan yang menciptakannya dari api. Inilah sebab kenapa Iblis terkutuk dan gemar menjerumuskan manusia pada perbuatan-perbuatan terkutuk.
Sedangkan Nabi Adam, beliau sama sekali tidak mengeluarkan argumen. Sampai-sampai Allah berfirman kepada Adam, “Wahai Adam, ketika Aku menghukum dan mengusirmu karena dosa yang sudah kamu perbuat, kenapa kamu tidak mendebat-Ku padahal kamu memiliki argumen?
Kamu tidak berkata, “Segala sesuatu berasal dari-Mu dan diciptakan oleh-Mu. Apapun yang Engkau inginkan di dunia ini akan terwujud dan apapun yang tidak Engkau inginkan tidak akan pernah muncul.”
Kau memiliki argumen dan bukti sahih semacam ini, kenapa kamu tidak mengatakannya pada-Ku?”
Nabi Adam menjawab, “Tuhanku, aku tahu itu, tetapi aku tidak ingin menanggalkan tata kramaku di hadapan-Mu dan cinta tidak akan membuatku merasa tersakiti.”
Subhanalloh, keren sekali ilustrasi yang dibuat oleh Jaluluddin Rumi di atas. Jelas itu adalah wujud perenungan akan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap perintah Tuhan, termasuk kala menerima keputusan-Nya yang memberatkan jiwa dan perasaan kita.
Jika ilustrasi tersebut kita tarik dalam masa kekinian untuk menjadi landasan dalam memahami sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” sangat mudah kita melakukan intropeksi diri ke dalam. Apakah aspirasi, tuntuntan, gerakan dan upaya-upaya kita dalam berbangsa dan bernegara ini memang dalam rangka memanivestasikan iman atau malah justru menenggelamkan keimanan?
Menuduh ulama sebagai perusak, pemecah belah NKRI, dan menangkapi umat Islam yang tak berdaya dengan argumen hukum yang direkayasa, apakah tindakan ini sesuai dengan semangat Pancasila secara hakiki dan menyeluruh?
Masak iya, ulama yang sepanjang perjalanan bangsa telah berkontribusi besar dalam menjaga akhlak dan adab rakyat mayoritas di negeri ini tiba-tiba berkehendak melakukan kerusakan? Apakah mungkin, ulama yang terus mendorong mayoritas penduduk negeri ini mendekat kepada Allah sebagai biang kerusakan?
Sadarlah, bahwa hukum, konstitusi dan regulasi yang dibuat di negeri ini tujuannya adalah untuk menghidupkan Pancasila, yang dijiwai dengan semangat “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai dasar dalam membangun NKRI yang maju dan bermartabat. Bukan sebagai pembenaran atas segala kepentingan politik sesaat dari berbagai kelompok yang tidak bertanggung jawab.
Aduhai, bangsaku, rakyat Indonesia, sebagai apapun dirimu, mari kembali melihat ke dalam. Apakah pilihan-pilihan hidup kita, cara berpikir dan merasa kita, adalah wujud adab, tata krama, sopan-santun dan ketaatan secara totalitas kepada Tuhan Yang Maha Esa?
Atau justru sebaliknya, dengan apa yang melekat sementara dalam diri kita, kita telah terjerembab menjadi tentara Iblis yang terus membangkang perintah Tuhan Yang Maha Esa namun terus-menerus berkoar-koar tentang Kemanusiaan, Keadilan, Peradaban, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial dengan beragam laku dan argumen yang dipaksa-paksakan.
Padahal, “Ketuhanan yang Maha Esa”itu adalah ruh dari setiap gerak perjuangan rakyat negeri ini bersama para ulama. Bahkan, kemerdekaan negeri ini terjadi karena kita telah meminjam kata-kata dari-Nya, “Allahu Akbar.”
Sebuah kata yang tak mungkin pernah hadir tanpa diberitahukan oleh Tuhan dan dipersilakan untuk digunakan untuk memenangkan perjuangan. Silakan tundukkan kepala masing-masing dan bertanyalah dengan kejernihan hati nurani!
Penulis Buku Sabar & Change Yourself to Change The World