DI saat ratusan bahkan ribuan santri begitu hormatnya pada kyai-nya, tidak sedikit orang justru berani menghina kyai, yang kemudian disebut juga ulama, orang yang lebih ahli dan lebih mengetahui perihal agama.
Bahkan dengan pongahnya menertawakan sorban saja, namun hingga menjadikan para ulama bahan bercanda. Tidak artis, tidak orang biasa. Trend ini semakin dianggap biasa, justru semakin hari semakin berani saja. Lebih-lebih setelah kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI 2017.
Mereka seakan berlindung di bawah payung hukum Hak Asasi Manusia (HAM) yang kemudian mereka salah artikan sebagai kebebasan mencela sesuka hatinya, seenak perutnya, terlebih jika fatwa sangat bertentangan dengan pendapat pribadi mereka. Umat Islam sendiri justru tidak mengerti bagaimana memposisikan ulama dan bagaimana berakhlak padanya.
Islam merupakan cerminan agama sekaligus cara hidup yang paling beradab. Mulai dari permasalahan hajat hidup paling sederhana hingga hajat hidup paling kompleks sekalipun, Islam sudah paripurna mengaturnya. Sehingga akhlak serta perilaku umat Islam menjadi indikasi apakah umat Islam dekat dengan agamanya ataukah sebaliknya. “Agama adalah nasihat”, sehingga sewajarnya justru umat Islam adalah umat Islam yang saling memberi nasihat dan berlapang diri terhadap orang yang menasihati. Dan merekalah para ulama yang sejatinya sering mengingatkan kita, memberi nasihat dan tausiyah pada kita, yang tanpa lelah berusaha menyelematkan hidup kita dari kemaksiatan demi kemaksiatan, baik itu sadar maupun tidak sadar. Mereka telah mencurahkan seluruh kemampuan mereka untuk menggali ilmu Islam dan kemudian menyampaikannya dengan bahasa semudah mungkin pada kita. Namun betapa kurang berterima kasihnya kita jika masih dengan gagahnya menghina dan menertawakannya. Tak sedikit di antara mereka justru umat Islam sendiri. Padahal Allah Subhanahu Wata’ala pernah mengingatkan:
ۥ كَذَٲلِكَۗ إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (٢٨)
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.” (QS: Fathir [35]: 28).
Baca: Jejak Intelektual Muslim dan Ulama Membangun Indonesia [1]
Bagaimana seharusnya kita berakahlak terhadap orang-orang yang Allah muliakan itu?
Berikut adalah beberapa akhlak terhadap ulama yang harus kita pahami dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari:
Mematuhi
Khalifah Harun Ar-Rasyid pernah mengutus wazir (pembantunya) untuk menghadap Imam Malik dan menyampaikan pesan agar Sang Imam mau datang kepadanya dan membacakan Kitab Al Muwattha untuknya. Imam Malik kemudian berkata, “Sampaikanlah salamku (untuk khalifah), dan katakan padanya bahwa ilmu itu dikunjungi, bukan mengunjungi, ilmu itu didatangi, bukan mendatangi”. Sang Khalifah pun mematuhi kemudian datang untuk mendengarkan pembacaan kitab Muwattha.
Tidak berhenti disitu, Sang Khalifah juga ditegur karena kedapatan duduk bersandar dalam majelis Sang Imam. Menurut Imam Malik, duduk bersandar dalam majelis ilmu bukanlah adab yang baik. Lagi-lagi, Sang Khalifah menurut tanpa mendebat, tanpa banyak alasan.
Memuliakan
Allah Subhanahu Wata’ala memuliakan orang-orang yang berilmu. Sebagaimana dalam surat Al-mujadalah ayat 11, bahwa Allah meninggikan orang-orang berilmu beberapa derajat.
Ulamapun menjadi perpanjangan dari para Nabi. Mereka mewairisi ilmu-ilmu yang dibawa oleh nabi dan Rasul bukan untuk disombongkan, namun untuk disampaikan dan menjadikan mereka orang-orang yang semakin takut tatkala semakin banyak ilmunya.
“Ulama adalah pewaris nabi.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Baihaqy).
Jika Allah saja memuliakan, lantas apa yang membuat kita sebagai orang biasa tidak mau memuliakan?
Baca: Ulama Sesungguhnya
Menyayangi dan tidak menyakiti
Menyakiti sesama muslim adalah akhlak tercela. Bahkan sesama muslim mutlak harus saling menyayangi.
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang dan saling mencintai dan mengasihi di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain turut merasa sakit dengan tidak bisa tidur dan demam” (Muttafaq ‘alaih).
“Barangsiapa yang tidak menyayangi (orang yang beriman), maka dia tidak akan diberi rahmat.” (Muttafaq ‘alaih).
Apa jadinya jika kita menyakiti hati ulama? Maka hal itu layaknya kita sedang menabuh genderang perang pada Allah Sang Pencipta Manusia.
Salah satu hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barangsiapa yang memusuhi kekasihKu, maka Aku memberitahukan padanya bahwa ia Kuperangi”.
Ikrimah, seorang thabi’in pun menyebutkan, “Janganlah kamu menyakiti ulama. Sebab barangsiapa menyakiti ulama, berarti menyakiti Rasulullah.”
Dalam Surat Al-Ahzab, dijelaskan balasan bagi orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ لَعَنَہُمُ ٱللَّهُ فِى ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابً۬ا مُّهِينً۬ا (٥٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghhinakan mereka.” (QS: Al-Ahzab: 57)
Dalam lanjutan surat yang sama, Allah tegaskan umat Islam untuk tidak saling menyakiti,
وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِ بِغَيۡرِ مَا ٱڪۡتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحۡتَمَلُواْ بُهۡتَـٰنً۬ا وَإِثۡمً۬ا مُّبِينً۬ا (٥٨)
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat. Maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS: Al-Ahzab: 58)
Tidak menjelekkan dan menyebut kejelekannya
Tidak ada seorang pun yang suka saat kejelekannya disebutkan pada orang lain. Sekalipun dengan kesabarannya seorang ulama tidak membalas dan mengomentari fitnah dan kata-kata yang menjelekkan, namun Allah mencelanya. Al Hasan bin Dzakwan mengatakan, “Janganlah kamu menyebutkan kejelekan ulama, karena Allah akan mematikan hatimu”.
Seringkali kita lupa bahwa yang menjelekkan belum tentu lebih baik derajatnya di sisi Allah.
Demikian adalah sebagian akhlak terhadap ulama. Memuliakan mereka adalah kewajiban kita. Memuliakannya tidak akan merugikan kita. Justru Allah memerintahkan kita untuk mencintai orang-orang yang kadar imannya terhadap Allah dan RasulNya melebihi kita. Siapa kita yang berani mencelanya?
Seberapa sempurna kita jika kita menjelekkannya dan membuat citra mereka buruk di hadapan manusia lainnya? Lantas, jika kita tidak memuliakan ulama, manusia mana yang akan kita banggakan dan muliakan? Wallahu ‘alam bi ash shawwab.*/Meyra Kris Hartanti