SAAT ini, kecenderungan untuk mengidolakan sesuatu telah menjadi sisi kehidupan mansyarakat yang nyata. Pengidola atau fans bahkan sampai membentuk sebuah komunitas tertentu untuk menunjukkan identitas kecintaannya kepada sang idola.
Sebagai contohnya komunitas pendukung klub sepak bola, dan komunitas pencinta merk mobil (motor) tertentu telah menjamur di mana-mana. Sebagai seorang fans tentu akan menunjukkan “pembelaanya” terhadap idolanya itu.
Sebagai contohnya, seorang fans sebuah klub sepak bola tidak akan pernah melewatkan pertandingan yang dimainkan klubnya. Ia merasakan kesenangan yang meluap-luap ketika klub idolanya memenangkan sebuah pertandingan atau kejuaraan. Jersey timnya pun enggan ia tanggalkan sebagai wujud kebanggan. Ia bercerita kesana-kemari tentang peristiwa dan aktor-aktor yang mengiringi kemenangan idolanya. Sebaliknya, ia amat sedih jika kekalahan yang terjadi, meskipun tetap akan mendukungnya sampai mati.
Pada komunitas lain, yaitu anak-anak sampai remaja juga terjangkit sindrom ini. Mereka mengidolakan pemeran-pemeran film semisal: Frozen, Supermen, Spiderman, Sponge Bob, dll.
Mereka mengenalinya sebagai pahlawan yang musti ditiru. Banyak anak-anak kita yang menirukan tingkah laku, gerak-gerik, gaya berpakaian dan perkataan idolanya. Pakaian, tas, sepatu dan aksesoris anak-anak yang bergambar para tokoh kartun yang sengaja diproduksi itupun laris terjual di pasaran.
Sungguh sangat ironi memang, ketika anak-anak muslim kita fasih menirukan berbagai karakter idola mereka, namun buta terhadap para pahlawan agama kita. Sulit sekali membayangkan keluar dari mulut anak-anak kita nama-nama para sahabat Nabi, ketika mereka ditanya siapa idolamu?
Bisa kita tebak, meraka akan mengatakan aku ingin seperti Superman, atau aku ingin menjadi Batman atau Power Rangers dan seterusnya.
Selain dari pada itu, anak-anak kita dikenalkan dengan tokoh-tokoh fiktif yang berperangai tidak terpuji seperi Ali Baba yaitu sang perampok atau Putri Yasmin yang mengumbar aurat dll.
‘Kenal’ nampaknya menjadi masalah mendasar di sini. Ada dua kemungkinan.
Pertama, mereka sama sekali tidak kenal
Mereka tidak tahu dan belum pernah mendengar sama sekali baik dari orang tua meraka ataupun guru-guru mereka nama-nama pahlawan muslim kita, misalnya; Khairuddin A’ruj, Fatahillah, Kiai Mojo, Sultan Salim, Muhamad al Fatih dll.
Kedua, salah kenal
Mereka mengenali sebuah nama yang mempunyai karakter sangat berbeda dengan kenyataannya. Misalnya adalah Barbarosa yang biasa dikenal di kalangan anak-anak sebagai seorang bajak laut yang jahat dan menyeramkan, berjenggot merah lebat, matanya tinggal sebelah, satu tangannya putus, dan satu kakinya dari kayu. Sedangkan Barbarosa atau Baba A’ruj yang sebenarnya adalah panglima armada laut tertinggi pada Zaman Turki Usmani. Ia berakhlak mulia, menyelamatkan hidup ribuan manusia, baik Muslim maupun Yahudi dari pembunuhan Raja Spanyol.
Akibatnya, umat ini akan mengenal agamanya sebagai pecundang, tukang teror dan berperadaban mundur.
Nampak memang usaha menutupi fakta sejarah di dunia pendidikanpun masih banyak terjadi. Misalnya bangsa Arab sebelum datangnya Islam seperti tergambar di berbagai buku pelajaran kita sebagai bangsa yang amat bobrok dan tidak ada kebaikannya. Padahal sebenarnya mereka sangat menjunjung tinggi kejujuran dan martabat kehormatan kaumnya.
Oleh karena itu penulis ingin memberikan pendapatnya tentang hal ini. Pertama, umat Islam perlu menyadari arti pentingnya pengenalan terhadap sejarah kebesaran peradaban Islam, guna menanamkan di dada generasi muda Islam kita kebanggaan dan idola-isasi terhadap pahlawan Muslim yang mulia; seraya menghalau propaganda Barat tentang kepahlawanan yang keliru.
Bukankah Presiden Soekarno pernah berkata “JASMERA”, Jangan Lupakan Sejarah!
Kedua, bagi para cerdik pandai, kami berharap usaha maksimal untuk menghadirkan karya-karya yang berkualitas dengan perspektif Islam sebagai materi pengajaran generasi muda kita. Wallahu a’lam bis Shawab.*/Usmanul Hakim