oleh: Muhammad Nurhidayat
SEBUAH negara monarki Timur Tengah dilanda kudeta. Raja yang digulingkan—beserta para tentara loyalisnya—akhirnya mengungsi di gua dalam gunung terpencil untuk menghimpun kekuatan dan berencana merebut kembali tahtanya dari dari tentara pemberontak. Dalam suasana konflik tersebut, dan karena alasan keamanan, raja menitipkan anak semata wayangnya yang masih berusia enam tahun, bernama Pangeran Abdullah, di rumah Tintin dkk. Sebagai sahabat dekat raja, maka Tintin, Kapten Haddock, Profesor Calculus, dan Hector dengan senang hati menjaga Abdullah.
Namun sayang, Abdullah sangat bandel. Anak itu suka membuat kekacauan di rumah Tintin dkk. di Inggris. Snowy, anjing Tintin diperlakukan secara kejam oleh Abdullah. Anak itu juga sering mengganggu Tintin dkk. Kapten Haddock ingin memarahi Abdullah, tetapi tidak terlaksana karena ia diancam oleh Hashim—komandan tentara pengawal anak raja itu—dengan hunusan pedang. Para pengawal Abdullah yang ikut mengungsi di rumah Tintin juga melakukan perbuatan tidak simpatik, seperti merokok dan bermain kartu (judi).
Tintin dan Kapten Haddock pun kemudian berangkat ke Timur Tengah untuk membantu raja dalam menumpas para pemberontak. Kedua orang tersebut sering terancam percobaan pembunuhan oleh tentara pemberontak. Mereka luput dari bahaya kematian, karena para tentara pemberontak terlalu bodoh untuk menghadapi Tintin dan Kapten Haddock. Seperti ketika Tintin dan Kapten Haddock hendak ke gunung Jebel (tempat raja bersembunyi), pilot tempur dari kubu pemberontak salah sasaran. Bukannya menembaki Tintin dan Kapten Haddock, namun malah menembali komandannya sendiri.
Demikian sinopsis cerita dalam film kartun Serial Tintin episode Hiu Laut Merah. Menurut penulis, film yang diadaptasi dari komik bergambar Tintin itu memberikan (atau bisa juga meneguhkan) representasi stereotipe Islam, khususnya muslim dari kawasan Timur Tengah. Stereotipe terhadap umat Islam telah banyak dilakukan dalam film, terutama sinema produksi AS dan Eropa. Sebenarnya, selain Hiu Laut Merah, ada beberapa episode lainnya dari serial film Timtin yang dianggap meneguhkan stereotipe atas umat Islam. Di antaranya adalah Rahasia Unicorn, Harta Karun Rackam Merah, Negeri Emas Hitam, dan Penerbangan 714 ke Sydney.
Kembali ke Hiu Laut Merah, digambarkan bahwa Abdullah ‘menyiksa’ Snowy dengan memakaikan kostum yang membuat susah si anjing: Gambar tersebut memperkuat stereotipe di mata orang-orang Barat, bahwa orang Islam (yang diwakili Arab) adalah makhluk yang tidak menghormati hak-hak asasi makhluk lainnya, termasuk hak-hak asasi hewan untuk bebas dari perlakuan buruk.
Dalam buku Orientalism, Said (1979), secara terus-menerus, oleh orientalis, orang Arab ditampilkan sebagai makhluk yang mudah diperdaya, tidak punya kemampuan dan inisiatif, suka menjilat, senang berpura-pura, licik, dan tidak menyenangi binatang.
Tayangan yang menampilkan Abdullah senang mengganggu orang lain—baik kepada Kapten Haddock, Tintin, maupun Hector, telah memperteguh pendapat bahwa Islam telah menerima bukan saja perlakuan yang tidak tepat (oleh Orientalis), tetapi juga ekspresi etnosentrisme yang melampaui batas, kebencian kultural, bahkan rasial serta permusuhan mendalam yang secara paradoksial mengalir bebas. (Said, 2002)
Dalam film ini secara nampak digambarkan bagaimana Abdullah (anak orang Arab/Islam) tidak memiliki rasa hormat, apalagi berterima kasih kepada Kapten Haddock, Tintin, dan HectorTintin dkk. (orang Barat), yang telah memberikan perlindungan dan tumpangan tempat tinggal baginya dari gangguan para pemberontak Arab lainnya.
Selain itu, tayangan tentang pilot angkatan udara negara Arab yang keliru menembakkan bom kepada komandannya sendiri (padahal maksudnya ingin menembak Tintin dkk.), juga memperteguh representasi stereotipe orang-orang Arab/Islam sebagai orang-orang yang hanya mempunyai arti secara biologis—maaf, seperti binatang, namun tidak memiliki arti dalam hal lainnya—secara institusional, politis, dan kultural. (Said, 1979)
Kasus pemberontakan oleh kelompok tentara Arab kepada rajanya sendiri yang ditampilkan dalam film tersebut juga memperkuat gambaran tuduhan para Orientalis, bahwa Islam identik dengan peperangan dan pemberontakan. Begitu pula gambaran subjektif tak berdasar bahwa orang-orang Arab tidak mampu menciptakan persatuan apalagi kerjasama antar kelompok karena terkungkung oleh semangat—rasisme—kelompok. (Said, 1979).
Di sisi lain, menurut Said dalam buku Covering Islam (2002), Islam selalu (dianggap) merepresentasikan ancaman tertentu terhadap Barat. Tidak ada agama atau kelompok budaya lain yang disebut begitu meyakinkan sebagai ancaman bagi peradaban Barat sebagaimana Islam sekarang ini.
Fenomena ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan diri Barat—yang mengaku sebagai orang-orang beradab dan unggul di segala bidang—terhadap perkembangan Islam secara real. Seperti diceritakan Said (1979), hal ini lebih didasarkan oleh sikap minder atau ketakutan Barat atas kemajuan budaya Islam, yang pasca wafatnya Muhammad saw., agama ini telah berkembang—dan berkuasa hingga ke luar Arab—seperti Persia (kini Iran), Suriah, Mesir—dengan kawasan Afrika Utara, Turki—dengan kawasan Eropa Timur, Spanyol, bahkan sampai ke India—Asia Selatan, Indonesia—Asia Tenggara, dan Cina—Asia Timur.
Sikap stereotipe terhadap Islam oleh Barat direpresantasikan melalui media massa, baik cetak, elektronik (radio, televisi), internet, film, maupun sarana komunikasi lainnya. Sebab menurut pakar komunikasi UI, harsono Suwardi dalam Zein (2013), media memiliki posisi penting karena memiliki empat keunggulan: memiliki daya janagkau yang luas dalam menyebarkana informasi, memiliki kemampuan melipatgandakan pesan, dapat mewacanakan sebuah peristiwa sesuai pandangannya masing-masing, serta memiliki fungsi agenda setting.
Tentang begitu kuatnya pengaruh media massa (termasuk film), membuat Malcolm X berkomentar, bahwa media adalah entitas paling ampuh di jagad ini. Media memiliki kemampuan menjadikan orang yang bersalah sebagai tak berdosa, dan sebaliknya. Di situlah letak kekuatannya, karena media mengendalikan pikiran massa. (Wasakito, 2013)
Tentang fenomena ini, Mubarok & Madrah (2011) berkata, bahwa salah satu agen dari stigmatisasi adalah media massa. Stigma dikonstruksi dan dikekalkan dalam bahasa. Ketika stigma dilekatkan, maka diskriminasi akan terjadi.
Agar dapat mengimbangi gencarnya penggambaran stereotipe buruk Islam melalui film animasi, maka sudah semestinya para penggiat animasi muslim untuk terus berkarya, dalam melahirkan tayangan animasi Islami yang bermutu dan menarik minat anak-anak. Pemerintah negara-negara Islam atau muslim, serta lembaga pengelola dana zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) pun diharapkan memberi dukungan modal kepada para animator muslim. Sebab kurangnya mutu tampilan film-film animasi Islami dari berbagai negara (termasuk Indonesia) bukan karena agam ini tidak memiliki animator cerdas. Namun mereka sulit berkarya secara profesional dan menghasilkan karya spektakuler, karena tidak memiliki modal untuk berkarya.
Sudah diketahui oleh masyarakat dunia, bahwa di balik kesuksesan film-film anaimasi seperti Doraemon, Crayon Shinchan (Jepang), Sponge Bob, Ice Age (AS), dan kartun-kartun lainnya, ada tenaga-tenaga animator cerdas dari kalangan muslim (termasuk dari Indonesia). Namun sayang, kecerdasan mereka dimanfaatkan untuk menghasilkan animasi yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti mistik dan pornografi.
Dengan membantu para animator muslim yang punya ghirah untuk menegakkan citra agamanya, maka pemerintah, lembaga pengelola dana ZIS, serta seluruh umat Islam, insya Allah telah menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan….” (QS. 5 : 2). Wallahua’lam.*
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo