Hidayatullah.com—Berdasarkan sejarah umat Islam, ada dua tipe kepemimpinan yang perlu diteladani oleh umat Islam. Pertama ulama sekaligus umara (pemimpin) dan umara yang tunduk pada ulama. Umat wajib memilih pertama atau kedua.
“Tipe pemimpin yang pertama adalah ulama sekaligus umara. Pasca wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, umat Islam mengenal Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) -ini berlangsung selama 30 tahun- yang disebut demikian karena mereka di samping sebagai pemimpin sekaligus ulama. Pada zaman Dinasti Umawiyah, ada satu pemimpin yang dinisbatkan oleh para ulama seperti Sufyan Ats-Tsauri dan Ibnu Uyaynah sebagai bagian dari kulafaur rasyidin yaitu Umar bin Abdul Aziz,” demikian disampaikan KH. Idrus Romli dalam acara tabligh akbar “Pemimpin Kebangkitan Peradaban Islam” di Masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Jumat malam, (19/01/2018).
Sedangkan yang kedua, adalah pemimpin yang bukan ulama tapi tunduk kepada ulama. Ini seperti yang terjadi pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi.
Keberhasilan Shaladuddin membebaskan bumi Mesir dari hegemoni Syi’ah Fathimiyah berkat sinergi beliau dengan ulama. Seperti kerjasama beliau dengan ulama yang bernama Najmuddin Abu Barakat Al-Muwaffaq Al-Khabusyani. Sebelum Shaladuddin ke Mesir, menurut kiai kelahiran 1 Juli 1975 ini, Al-Khabusyani sudah berangkat terlebih dahulu melapangkan jalan untuk Shaladhuddin.
Dalam konteks kepemimpinan saat ini, khususnya ke depan ada pemilihan Pilkada kemudian tahun berikutnya diadakan pemilihan presiden, ulama yang biasa disapa dengan Gus Idrus ini menyarankan, “mencari pemimpin yang ulama sekaligus umara” atau “mencari yang bukan ulama tapi tunduk pada ulama, menyampaikan aspirasi ulama.”
Sebab, pada realita saat ini memang untuk mencari pemimpin yang ulama sekaligus umara sangat langka.
Ketika ditanya mengenai perpecahan dukungan ulama terhadap suatu calon, atau adanya ulama yang mendekat pada kekuasaan, penulis buku “Akidah Ahlussunnah wal Jamaah” ini memberikan dua pendekatan. Pertama, pendekatan ‘husnudzan’ (baik sangka). Barangkali apa yang dilakukan mereka adalah untuk meluruskan pemimpin atau medakwahkan kebaikan. Kedua, ‘su`udzan’ (berburuk sangka). Maksudnya mereka yang dekat-dekat penguasa memang sedang mencari duit.
Artinya, memang kasus semacam ini tidak bisa diklaim secara serampangan karena memang sangat dinamis. Tapi, pendekatan husnudzan lebih didahulukan daripada pendekatan suudzan.
Baca: Ulama-Umara Rekat, Akidah Aswaja jadi Kuat
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sebagai contoh, seperti yang disebutkan dai muda kelahiran Jember ini, adalah adanya ulama Sunni yang tetap tinggal dalam Dinasti Fathimiyah.
Alasannya jelas yaitu, untuk menjaga akidah orang Sunni yang ada di sana. Di sisi lain, memang ada juga dalam sejarah ulama ‘suu’ (buruk) yang kerjaannya memang dekat dengan penguasa untuk mencari kedudukan dan ketenaran.
Terlepas dari itu semua, Kiai Idrus Ramli pada momen tabligh akbar ini menginginkan umat menjaga persatuan, terlebih dalam menentukan pemimpin. Kalau memang tidak ditemukan ulama sekaligus umara, minimal umara yang ramah dan manyampaikan aspirasi ulama.*/MBS