Oleh: Harits Abu Ulya
PERGANTIAN tahun 2014 ini diawali dengan suguhan tayangan penindakan terduga kasus terorisme secara demonstratif oleh Detasemen Khusus Anti Teror (Densus 88) Polri dan Reserse Mobil (Resmob) Polri di Ciputat Tangerang.
Demonstratif karena faktanya sejak sore sekitar jam 17.00 WIB beberapa media yang dekat dengan Densus88 sengaja dikabari untuk meliput “herorisme” yang akan digelar malam tahun baru tersebut.
Sekali lagi disebut demonstratif. Sebab, untuk apa menginformasikan sebuah operasi penting harus perlu mengundang media massa seperti TV, jika bukan untuk medapat liputan, lalu diharapkan bisa menyiarkan secara luas dengan segala efek turunannya?
***
Penindakan “Teroris” model Ciputat bukan kali pertama, di awal tahun 2013 juga terjadi penindakan terhadap orang yang di duga teroris di wilayah Makassar, Enrekang, dan Dompu Bima. 2 orang mati (Asmar dan Kholid) di eksekusi di teras Masjid Nurul Afiah RS Wahidin-Makassar, 2 orang hidup (Arbain dan Tamrin) di tangkap di Daya Makassar dengan luka-luka tembak.
Di Enrekang 3 orang di tangkap hidup dengan kondisi babak belur (Sukardi, Syarifudin, Fadli). Diwaktu yang bersamaan di Dompu-Bima NTB juga dilakukan penindakan berakibat 5 orang mati (Roy, Bakhtiar, Faiz, Rozy Malingga,Riswanto) dan beberapa hidup dibawa ke Mabes Polri.
Pada dasarnya kita semua tidak setuju dengan aksi terorisme di Indonesia.Baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara (state terrorism). Penindakan dan penegakkan hukum menjadi kebutuhan untuk menciptakan rasa aman bagi semua warga negara. Harusnya penindakan dan penegakkan hukum tersebut menjadi solusi efektif, karena di realisasikan oleh individu-individu yang profesional dengan kapasitas yang baik. Di tunjang peralatan lengkap dan modern, serta dibawah koridor hukum yang memayungi.
Namun fakta-fakta empirik penindakan 3 tahun terakhir terhadap orang-orang yang diduga dan terkait terorisme versi Densus 88 dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tidak tampak sebagai solusi efektif. Bahkan penindakan bergerak cenderung lepas kontrol.
Penindakan kasus “teroris” model Ciputat bukan kali pertama, di awal tahun 2013 juga terjadi penindakan terhadap orang yang di duga teroris di wilayah Makassar, Enrekang, dan Dompu Bima. 2 orang mati (Asmar dan Kholid) di eksekusi di teras Masjid Nurul Afiah RS Wahidin-Makassar, 2 orang hidup (Arbain dan Tamrin) di tangkap di Daya Makassar dengan luka-luka tembak.
Di Enrekang 3 orang di tangkap hidup dengan kondisi babak belur (Sukardi, Syarifudin, Fadli). Diwaktu yang bersamaan di Dompu-Bima NTB juga dilakukan penindakan berakibat 5 orang mati (Roy, Bakhtiar, Faiz, Rozy Malingga,Riswanto) dan beberapa hidup dibawa ke Mabes Polri.
Sejak 2003 sampai 2014 sudah lebih dari 115 orang mati diluar prosedur pengadilan, mereka mati ditembak aparat Densus 88 dan Satgas Penindakan BNPT dengan alasan utamanya adalah terduga teroris dan melawan saat penindakan. Dan belum pernah dibeberkan di hadapan sidang pengadilan bahwa orang yang mati dalam penindakkan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Padahal jika mengacu kepada ketentuan SOP (Preosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme) yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Kapolri Nomor:PERKAP/23/XI/2011, Tanggal 29 November 2011. Tertera dengan jelas pada BAB IV (Prosedur Penindakan) Pasal 19 ayat (3): “Penindakan yang menyebabkan matinya seseorang/tersangka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.”
Diluar yang mati, yang ditangkap hidup juga banyak mengalami penyiksaan dan dalam kondisi yang sangat memprihatikan.
Cara-cara seperti ini sangat besar berpotensi melahirkan siklus kekerasan yang tidak berujung. Karena dendam dari orang atau kelompok yang merasa terdzalimi dengan perlakuan yang over dari aparat Densus 88 dan Satgas BNPT akan menjadi “ideologi” yang memicu lahirnya kekerasan atau teror-teror berikutnya. Kalau mau obyektif, “prestasi” Densus 88 dengan banyak menangkap orang dan mengeksekusi mati para terduga teroris ternyata tidak mereduksi terorisme di Indonesia. Justru teror seperti tidak pernah ada matinya.
Kekerasan Baru dan Problem Regulasi
Kajian terorisme dan penindakkannya di Indonesia secara kritis rasional, secara obyektif menemukan 3 problem utama.
Pertama, problem regulasi atau Undang-undang yang memayungi langkah kontra terorisme di Indonesia.
Kedua, problem paradigma. Yaitu cara pandang mendasar (mindset) yang dijadikan pijakan untuk mengkonstruksi kebijakan-kebijakan strategis terkait isu terorisme.
Dan ketiga adalah problem penindakkan. Dimana banyak fakta empirik, aparat Densus 88 dan Satgas BNPT berkontribusi lahirnya siklus kekerasan akibat dari cara penindakkan yang banyak terindikasi melanggar HAM dan melanggar mekanisme hukum (criminal justice system).
Sampai hari ini belum ada kesepakatan global tentang definisi terorisme (No Global Concencus). Sekalipun dalam konvensi Jenewa “International Convention and Suppression of Terrorism 1937” di jelaskan perbuatan teroris sebagai “criminal actsdirected against a state and intended and calculated to create a state of terror in the minds of particular persons or group of persons or the general public” (segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas). Namun tetap saja definisi terorisme sangat subyektif tergantung kepada pihak yang memiliki kekuatan dan kepentingan politik atas isu terorisme. */bersambung Ada Dusta di Ciputat…
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)