Hidayatullah.com– Majelis Ormas Islam (MOI) turut menyoroti Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang saat ini sedang dibahas dan segera disahkan DPR RI.
MOI menyatakan, masyarakat seharusnya bisa melaporkan perbuatan zina yang dinyatakan sebagai perbuatan pidana dalam RUU KUHP, selain orangtua, anak, suami, dan istrinya.
“Perbuatan perzinaan dan perbuatan cabul yang diketahui masyarakat, dapat dilaporkan oleh masyarakat dan atau Ketua RT/RW,” ungkap Wakil Ketua Presidium MOI Ir Nazar Haris di Jakarta, Selasa (17/09/2019).
Baca: “RKUHP Bilang Free Sex Boleh Asal Ada Janji Menikahi, DPR Setuju?”
Pernyataan tersebut merupakan poin ketiga dari enam poin pernyataan sikap MOI atas pembahasan RUU KUHP oleh DPR tersebut.
Pada poin pertama pernyataannya, MOI menyatakan, perbuatan cabul antara manusia yang berlawanan maupun sesama jenis adalah tindakan pidana. Meskipun dilakukan tidak di depan umum (ruang tertutup), tidak secara paksa, tidak dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, dan meskipun korban melakukannya dengan sukarela.
Kedua, bahwa perilaku memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut kepada orang lain, atau sebaliknya adalah tindakan pidana, meskipun tanpa kekerasan dan tanpa ancaman Kekerasan.
Kemudian, pada poin keempat, MOI menyatakan, kegiatan pelacuran dan bentuk kekerasan seksual lainnya, tetap masuk dalam tindak pidana, meskipun tidak dilakukan dengan paksaan.
Kelima, negara harus membangun lembaga rehabilitasi terhadap penderita penyakit kelainan jiwa seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sehingga dapat kembali normal dan produktif bagi bangsa dan negara.
Keenam, tambahnya, negara harus menjaga umat Islam dari pengaruh aliran-aliran sesat sesuai keputusan MUI Pusat.
Sedangkan Ketua Presidium MOI, Mohammad Siddik, mengatakan akan menyampaikan masukan tersebut kepada DPR maupun lembaga di luar DPR.
“Kita melihat ada kejanggalan, telihat seperti menyegerakan, tiba-tiba. Padahal, UU sebenarnya memerlukan waktu (pembahasan) lebih banyak agar tidak menimbulkan keraguan,” ungkapnya.
Presidium MOI diisi sejumlah ormas, yakni Persatuan Umat Islam (PUI), Mathla’ul Anwar (MA), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persatuan Islam (Persis), Ikatan Da’i Indonesia (Ikadi), Hidayatullah, Al-Ittihadiyah, Al-Jam’iyatul Washliyah, Syarikat Islam, Al Irsyad Al Islamiyah, Wahdah Islamiyah, dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKsPPI).
Sebelumnya, Senin (16/09/2019), Panitia Khusus (Pansus) RUU KUHP sudah menyelesaikan pembahasan dan perumusan RUU KUHP, serta tinggal menyempurnakan penjelasan beberapa pasal di dalamnya.
Arsul Sani selaku Anggota Pansus RUU KUHP mengatakan, ada sejumlah pasal sebagai bentuk sebuah politik hukum, fraksi-fraksi di DPR menginginkan adanya “pagar” dalam penjelasan di RUU KUHP agar tidak menjadi pasal karet.
Misalnya, terang Arsul, pasal-pasal terkait delik kesusilaan, perzinaan, kumpul kebo, dan perbuatan cabul termasuk yang melibatkan sesama jenis.
Baca: ICMI: Negara Perlu Rumuskan Hukum Atur Pencegahan LGBT
“Ini kita beri batasan, misalnya terkait perzinaan, kumpul kebo dan hidup bersama, disepakati merupakan delik aduan. Namun yang mengadu diperluas, kalau KUHP saat ini yang bisa mengadukan hanya suami atau istri, namun saat ini diperluas menjadi orang tua dan anaknya,” sebutnya kutip Antaranews, Selasa.
Tahapan selanjutnya, menurut Arsul, tenaga ahli DPR dan ahli bahasa sedang memperbaiki hal-hal yang sifatnya redaksional, setelah itu nanti diambil dalam keputusan tingkat I di Komisi III DPR dan pleno Komisi III DPR.*