“NGEK… Ngek… Ngek!”
Bunyi itu keluar dari bagian bawah, saat roda armada besar ini sedang berbelok arah di lintasan. Perasaanku jadi kurang enak mendengar suara seperti besi berderit itu. Bukan apa-apa. Ini pesawat yang akan lepas landas.
Ya! Itu salah satu kesan yang kurasakan saat hendak terbang ke Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, 6 hari jelang HUT ke-74 RI. Perjalanan ke Alor yang pertama kalinya kulalui ini cukup melelahkan dan menegangkan. Bahkan jantungku sempat “mau copot”.
Dari Bandara Internasional Soekarno – Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, aku dan seorang staf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Syamsuddin, terbang bersama ratusan penumpang lainnya dengan pesawat komersial swasta.
Burung besi bermotif batik itu take off sekitar pukul 02.39 WIB, Senin (12/08/2019) dinihari. Setelah mengudara selama 2 jam lebih, kami tiba di Bandara Internasional El-Tari Kupang, NTT, sekitar pukul 06.13 WITA. Cukup tepat waktu.
Langit Kota Kupang begitu cerah, pemandangan dari udara ke bawah jernihnya kebangetan. Kontras dengan langit Jakarta dan Surabaya, Jawa Timur yang begitu berkabut saat dilihat dari udara di siang hari.
Musim kemarau di Kupang langsung menyambut. Sejauh mata memandang, suasana kota ini terlihat cukup gersang, rerumputan dan pepohonan mengering. NTT dikenal sebagai daerah yang kaya dengan cahaya matahari.
Keluar dari pesawat, angin berhembus cukup dingin. Suhu tercatat 24 derajat celsius. Pertama kali melihat Bandara Kupang, aku agak terkejut. Bentuk bangunan bandaranya terlihat unik. Pada bagian atap bangunan, hanya terlihat rangka-rangka, mungkin arsitektur khas daerah setempat, pikirku. Tapi ternyata, bandara yang dikelola oleh Angkasa Pura I ini sedang diperluas.
Menurut jadwal, transit di Kupang dua jam lebih. Belum beberapa lama duduk, tiba-tiba Syam mengabarkan. “Di Alor abis gempa?” ujarnya, info dari media online.
“Hah, kapan?”
“Kemarin!”
“Berapa skala richter?”
“3,3”
“Oh kecil. Semoga enggak ada gempa lagi.” Tapi bukan ini yang bikin aku “sport jantung”.
Sebagai bandar udara berkelas dunia, Bandara Kupang cukup diramaikan wisatawan lokal dan mancanegara. Wajah-wajah bule banyak hilir mudik.
Di depan kursi kami, datang lima orang bule sekeluarga. Mereka sedang transit untuk melanjutkan penerbangan ke salah satu destinasi wisata di NTT.
Dalam dialog singkat kami dengan bahasa Inggris ala kadarnya, kepala keluarga bule itu mengaku sudah biasa keliling Indonesia. Seperti ke Jawa dan tujuan wisata lainnya.
“Indonesia, good!” pujinya. Ia pun terkesima dengan keindahan NTT.
Singkat cerita, petugas bandara menyampaikan pengumuman lewat pengeras suara bahwa penerbangan pesawat dari Kupang ke Alor ditunda hingga pukul 10.30 waktu setempat karena alasan operasional.
Pengumuman itu lantas disambut keluhan banyak penumpang yang hendak menumpang pesawat itu. “Yaaaaah!”. Kami mencoba bersabar, pasti ada hikmahnya. Betul saja. Pihak maskapai, sesuai undang-undang penerbangan yang berlaku, memberikan ganti rugi atas keterlambatan itu berupa sekotak makanan berat dan segelas air minum kepada setiap calon penumpangnya.
Alhamdulillah!
Hingga kemudian, kurang lebih pukul 10.38 WITA, kami sudah di pesawat untuk bersiap-siap take off ke Alor. Jantungku pun mulai “senam”.
Baca juga: Sulitnya Merokok di Negeri Gajah Putih
Ketegangan Campur Kenikmatan
Setelah “insiden” pesawat berbunyi “ngek-ngek-ngek” sebelum lepas landas, aku meningkatkan kewaspadaan dengan doa-doa di tengah rasa cemas yang menghampiri sebagai seorang manusia.
Mohon dimaklumi. Ini adalah penerbangan perdanaku bersama pesawat model ATR 72-600 begini; baling-balingnya terletak di luar pada kedua sisi sayap. Maskapai ini masih satu grup dengan pesawat yang membawa kami dari Cengkareng ke Kupang tadi.
Pesawat jenis ATR pernah ditumpangi oleh dai kondang Ustadz Abdul Somad dan diceritakannya secara singkat ke publik, mungkin saking terkesannya UAS dengan pesawat itu.
“Kenapa pesawat ini panas? Karena kipasnya di luar,” tulis UAS pada 17 September 2019 mungkin berguyon sambil menggunggah foto baling-baling pesawat itu di Instagramnya.
Ceritaku tentang pesawat ini berbeda lagi. Saat pesawat mulai mengudara, kurasakan goyangannya yang begitu kuat. Burung besi ini bak layangan yang ditiup angin kencang. Kutahan napas dalam-dalam berkali-kali, semari menguatkan sabuk pengaman, lalu memijakkan kuat-kuat kaki ke lantai. Betul-betul deg-degan deh.
Di bawah, liukan sungai-sungai yang mengering dan bukit-bukit berbatu terlihat cukup indah, bercampur kengerian karena setiap saat bisa saja menjadi landasan darurat jika pesawat ini… ah, kubuang jauh-jauh perasaan buruk itu dengan memperbanyak zikir. Penerbangan selama sekitar 45 menit itu pun kulalui dengan perasaan nervous luar biasa, nyaris pingsan rasanya.
Yang membuatku heran, Syam yang duduk di samping dan para penumpang lainnya terlihat tenang-tenang saja, memang mungkin sudah terbiasa.
Pesawat mendarat di Bandara Mali Alor sekitar pukul 11.29 WITA. Bandara yang merupakan satu-satunya akses udara ke Pulau Alor ini cukup kecil, dikelola oleh Ditjen Perhubungan Udara Kantor UPBU Kelas III Mali, Alor, Kementerian Perhubungan. Penerbangan pertama dari Alor pada jam 9.00 WITA. Bandara ini memang tidak buka 24 jam.
Kami dijemput mobil hotel yang telah dipesan sebelumnya. Dari bandara, perjalanan ke hotel yang terletak di Kalabahi, ibu kota Alor, ditempuh kurang dari 30 menit. Kecepatan mobil sekitar 40 km/jam.
Nyaris sepanjang jalan, kami melewati pesisir pantai yang begitu elok. Sebagian dijadikan tempat wisata. Menarik keinginan untuk berenang.
Pukul 12.00 WITA, kami akhirnya tiba di hotel. Total perjalanan kami dari Cengkareng ke Kalabahi hampir 10 jam lamanya. “Kayak ke luar negeri,” gurau kawan di Jawa yang kuceritakan. Kekayaan bawah laut Alor dikenal tak kalah dengan Raja Ampat di Papua dan Pulau Karibia di Amerika. Alor juga dikenal dengan kerukunan warganya yang begitu tinggi. Seperti apa?* [Bersambung KEDUA] Muh. Abdus Syakur/hidayatullah.com