Sambungan dari kisah Pertama
GELAP menyelimuti malam di kawasan Jl El Tari, Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, NTT, pada waktu sekitar magrib-isya. Suasana di sini sudah hening. Kendaraan jarang melintas.
Ridwan Likur, salah seorang warga Alor, mengakui kehidupan malam di Alor cepat sepi. Tapi ternyata tidak sepi-sepi amat.
Saat bersepeda motor dari hotel menuju warung makan, kami sempat melintasi kawasan perbelanjaan di Jalan Jenderal Sudirman. Masih cukup banyak toko yang buka. Tapi lalu lintas cukup longgar.
“Mau makan apa?” tanya Syam kepada Ridwan dan Absar Likur. Keduanya adik-kakak, kami panggil untuk menemani pergi makan malam sekaligus jadi guide sementara.
“Makan apa saja yang penting halal,” celetukku, awalnya agak khawatir dalam memilih menu makanan, ya karena di sini Muslim minoritas.
“(Muslim) 30 persenan dari 200 ribu penduduk,” ujar Ridwan. Berdasarkan data resmi, penganut Kristen Protestan mendominasi Alor.
Cerita demi cerita, ternyata Absar beristrikan orang Kediri, tapi nikah di Alor. Ia sendiri belum pernah ke Kediri, Jawa Timur. Sementara Ridwan nikah dengan orang Magetan, dan sudah beberapa kali ke kampung istrinya.
Banyak cerita yang kami dapatkan dari kedua saudara tadi. Dalam perbincangan, aku sempat mengungkapkan pengalaman perdana terbang dari Kupang ke Alor pada Senin (12/08/2019).
Ternyata, kata Absar, pesawat terasa begitu oleng karena kencangnya angin di wilayah NTT. “Itu enggak kenal musim, tiap saat begitu,” ungkapnya sambil kami menikmati sate kambing. Kupang ke Alor juga bisa ditempuh dengan kapal laut, perjalanan sekitar 12 jam lamanya.
Uniknya, menurut Absar penjual makanan di Alor justru didominasi pendatang terutama orang Jawa. Ia menyebut, kalau orang asli Alor yang buka rumah atau warung makan, tidak laku. Kenapa? “Beda mungkin masakannya,” sebutnya.
Aku pun tak risau lagi untuk singgah makan di warung setempat. Apalagi terlihat warung Tegal (warteg) dan warung khas Jawa lainnya menjamur di kota ini. Warung yang kami singgahi pun pemiliknya Muslim.
Yang satu ini lebih unik lagi. Dalam perjalanan bersepeda motor malam itu, Absar mengaku mudah mengenali “peta” sebaran penduduk berdasarkan agama.
Misalnya, pada salah satu sisi di wilayah utara jalan raya, ia menunjuknya sebagai kawasan non-Muslim. Sementara pada bagian sebelah (wilayah selatan), rumah-rumah yang tepat di pinggir jalan kata dia penghuninya non-Muslim, tapi ke belakangnya alias di wilayah pesisir, penduduknya Muslim.
Secara umum menurutnya warga Muslim tinggal di kawasan pesisir. Sedangkan non-Muslim di wilayah pegunungan. Meski secara geografis terpisah, tapi umat berbagai agama di Alor diakui begitu kuat menjaga kerukunan dan toleransi.
Dalam perjalanan pulang ke hotel malam itu, Absar dan Ridwan tampak biasa menyapa warga yang dilewati meskipun ia tahu mereka non-Muslim.
Absar merupakan guru di MTS 1 Alor. Saat Idul Adha 1441 H, sehari sebelum kedatangan kami ke Alor, madrasah ini menggelar pemotongan hewan qurban sekitar 7 ekor termasuk sapi dan kambing. Dagingnya dibagikan ke warga sekitar madrasah.
“Mayoritas daerah situ (warganya) Muslim,” tutur Absar. Suasana Idul Adha tidak begitu terasa saat kedatangan kami.
Baca: Aksi Heroik Nenek Selamatkan Cucunya Saat Banjir di Gowa
Saling Menjaga Kerukunan
Selasa (13/08/2019), jam menunjukkan pukul 04.20 WITA. Aku sudah terbangun dan keluar kamar sejenak menikmati suasana subuh di Alor. Cukup hening. Suara ayam bersahut-sahutan. Aku bermaksud menunggu datangnya azan subuh.
Sekitar pukul 04.43 WITA, di lobi hotel, sayup-sayup terdengar suara azan subuh dari kejauhan. Wah, dimana itu masjid atau mushallanya?
“Di sana, setelah cabang (persimpangan jalan) itu, ke kanan,” jawab salah seorang petugas hotel. Ia menunjuk ke daerah gelap dan sepi. Tak terlihat lampu penerang jalan maupun kendaraan melintas. Jangankan angkot, ojek pun tak terdeteksi. Layanan transportasi berbasis daring belum tersedia di sini saat itu.
Atas alasan keamanan, mengingat kami masih asing di sini, dipertimbangkanlah untuk shalat subuh di “mushalla” hotel saja. Lebih tepatnya, sepetak tempat yang kami sulap untuk shalat, bersama rekanku dari Bimas Islam Kemenag –Ditjen yang menginisiasi peliputan ke Alor ini. Pihak hotel memang tak menyediakan mushalla apalagi masjid.
Paginya, kami menuju Kantor Kemenag Alor, jaraknya dekat sekitar 200 meter, jalan kaki sebentar saja. Di kantornya, Kasi Bimas Islam Kantor Kemenag Alor, Nurdin Abdullah, bercerita tentang kerukunan beragama di Alor yang begitu terjaga sejak dulu.
“Kerukunan di Alor ini alami, kerukunan alami, mengalir begitu saja,” tuturnya.
Menurutnya, dalam hal kerukunan beragama, masyarakat Alor sangat menjaganya. Mereka bahkan biasa saling tolong menolong dalam membangun rumah ibadah. Misalnya, saat pembangunan sebuah masjid dekat hotel kami, “Panitianya orang sebelah (sebutan lain untuk umat non-Muslim, red),” tuturnya.
Di Alor terdapat berpuluh-puluh marga dengan bahasa berbeda. Menurut yang diketahui Ridwan, di Alor itu terdapat 36 bahasa. Sesama warga Alor pun kata dia belum tentu saling memahami bahasa suku-suku lain. Absar mengaku, kalau sudah pergi ke daerah suku lain di Alor, “Kita kayak orang asing,” ungkapnya.
Keunikan lainnya di Alor. Meskipun daerah ini mayoritas non-Muslim, namun Kepala Kantor Kemenagnya seorang Muslim saat kedatangan kami. Namanya Muhammad Marhaban, sudah sekitar 5 tahun menjabat. “Sebelum-sebelumnya (dijabat) non-Muslim,” tutur Absar. Sayangnya, saat itu kami tak sempat bertemu Marhaban. Sayangnya pula, kami tak sempat menikmati segarnya berendam air laut Alor.* Muh. Abdus Syakur/hidayatullah.com