Oleh: Yvonne Ridley
Hidayatullah.com | PENYEBARAN virus corona – Covid-19 – saat ini telah mencapai tingkat epidemi, dengan kasus-kasus di lusinan negara di seluruh dunia, dan di China sebagai pusat penyebaran pertama di mana tindakan karantina dan penahanan secara drastis dilakukan.
Epidemi itu telah menjadikan China sorotan internasional. Rezim Beijing telah bereaksi cepat dengan memperkenalkan penguncian total di beberapa kota dan desa untuk membatasi penyebaran virus.
Hal tersebut bagus saja, namun bayangkan jika ada solidaritas global yang sama terhadap genosida skandal etnis Uighur Muslim China, lebih dari satu juta orang ditahan di kamp penahanan “pendidikan ulang” – atau bahasa kasarnya “cuci otak”. Apakah atau mungkinkah Beijing dapat melawan tekanan internasional semacam itu, yang akan menyelamatkan ribuan orang dari situasi buruk?
Terlepas dari tindakan keras pihak berwenang China dalam upayanya menyediakan informasi tentang Uighur, para korban selamat genosida telah mengumpulkan kisah-kisah pemerkosaan, kebrutalan dan penyiksaan, dengan para keluarga hancur karena anak-anak diambil dari orang tua mereka.
Sementara masyarakat internasional telah menekan China untuk bertindak atas epidemi virus corona, mereka tetap diam terhadap pembersihan etnis dan genosida budaya Beijing kepada Muslim Uighur.
Kebocoran informasi yang diklasifikasikan sebagai dokumen sangat rahasia pemerintah China telah mengungkapkan pekerjaan manual dalam menjalankan kamp-kamp penahanan di Xinjiang, mengungkap mekanisme jahat pengawasan massal Orwellian dan “kebijakan prediktif” di kawasan tersebut. “China Cables”, yang didapatkan oleh International Consortium of Investigative Journalists, menunjukkan daftar pedoman rahasia, yang disetujui secara pribadi oleh kepala keamanan kawasan itu, untuk mengoperasikan kamp-kamp yang saat ini menampung ratusan ribu etnis Uighur dan minoritas lain.
Kebocoran ini juga menampilkan laporan singkat yang mengungkapkan, dalam kata-kata pemerintah sendiri. Bagaimana polisi China dipandu oleh koleksi data masif dan sistem analisa yang menggunakan intelejen buatan untuk memilih kategori warga Xinjiang yang akan ditahan.
Terlepas dari pengungkapan ini dan lainnya, kisah-kisah yang sama mengerikannya di media, masyarakat internasional masih tetap pasif atau diam karena banyaknya kepentingan dalam ekonomi China. Pemerintah Trump mengakui “sangat dikhawatirkan” oleh perlakuan Muslim Uighur menjelang akhir tahun lalu, tetapi seperti negara-negara Barat lain yang “khawatir”, pemerintah AS tidak melakukan apa-apa.
Sejauh ini, hanya Qatar dan Turki yang tampaknya siap mengambil sikap atas penindasan China terhadap populasi Uighur, namun bayangkan apa yang dapat terjadi jika seluruh dunia bergabung dan mendesak tindakan. Hanya beberapa hari yang lalu, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan bahwa China tidak seharusnya melabeli semua etnis Uighur Muslim sebagai teroris. Dia membuat pernyataan ini menyusul pembicaraan dengan rekan Chinanya di Jerman.
“Baik Turki, Turk Uighur, China Han, Buddha atau Kristen… tidaklah benar untuk menyebut semua Turk Uighur sebagai teroris hanya karena satu atau dua teroris berasal dari kelompok etnis tertentu,” Cavusoglu mengatakan pada wartawan. “Dan tidaklah [tepat] untuk menarget semua Uighur karena keyakinan dan etnis mereka.
Negara kecil namun berpengaruh, Qatar, mengambil sikap yang berbeda dari negara Arab lain. Pada tahun lalu ia menandatangani surat multilateral yang mendukung tindakan China terhadap minoritas Muslim di provinsi Xinjiang.
Jika penyebaran virus telah membuktikan sesuatu, itu adalah bahwa negara-negara telah siap untuk melawan China. Paling tidak jika mereka merasakan bahwa kepentingan mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kebijakan Beijing. Mungkin yang lebih mengejutkan, pihak berwenang di ibukota China telah bereaksi dengan menunjukkan kesediaannya menanggapi tekanan semacam ini. Ketika Anda mempertimbangkan pengaruh ekonomi yang digenggam China atas merk global, terutama dalam teknologi, respon seperti itu luar biasa.
Tingkat pertumbuhan impor dan ekspor Tiongkok diperkirakan akan menurun tajam pada periode Januari-Februari. Sudah ada penurunan 92 persen dalam penjualan mobil di Cina pada paruh pertama Februari, yang memberikan indikator nyata pertama dari dampak ekonomi dari virus tersebut. Li Xingqian, kepala perdagangan luar negeri di Kementerian Perdagangan, mengkonfirmasi bahwa tingkat pertumbuhan impor dan ekspor China akan turun sebagai akibat dari jatuhnya logistik dan keterlambatan kembali bekerja setelah liburan Tahun Baru Imlek.
Kekurangan kronis barang-barang tertentu sudah dilaporkan terjadi di Barat. Pemandangan rak-rak kosong dan pembelian panik sedang dilakukan di media sosial. Perusahaan manufaktur, sementara itu, melaporkan kekurangan suku cadang dan barang lain yang membuat produksi terhenti.
Kita perlu melihat masyarakat internasional, melalui PBB, mengadopsi pendekatan kemanusiaan yang kuat untuk memaksa Beijing mengubah perlakuannya terhadap Muslim Uighur. Jika dunia siap untuk mengadopsi posisi yang kuat atas virus corona, maka ia harus melakukan yang sama untuk Uighur, dan mengakhiri penindasan, penyiksaan massal dan indoktrinasi yang dipaksakan kepada mereka.
Angka skala penindasan China terhadap populasi minoritas Muslimnya, termasuk anak-anak, sangat menyesakkan, tetapi ini semua dapat berakhir besok jika PBB bersikap dan memelintir lengan Beijing.
PBB memiliki kesempatan untuk mengatasi tantangan terbesar kemanusiaan dengan memanfaatkan dan menggunakan solidaritas global yang telah muncul untuk memerangi virus corona yang ditakuti yang tidak kenal bangsa, ras, keyakinan atau pengaruh. Sekarang saatnya bagi PBB untuk melangkah ke sasaran, dan membuat seruan kepada Beijing untuk mengakhiri penindasan Muslim Uighur.*
Kolumnis untuk Middle East Monitor (MEMO), Gercek Hayat, WTX News. Penulis buku The Caledonians. Omnia Feminae Aequissimae! Artikel diambil dari MEMO