Hidayatullah.com—Pengadilan Syariah Nigeria di Kano menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku penistaan agama yang merupakan seorang penyanyi rohani berusia 22 tahun. Tuntutan tersebut dijatuhkan setelah sebuah lagu yang ditulis dan diedarkan penyanyi itu di layanan pesan WhatsApp memicu kontroversi.
Pengadilan Tinggi Syariah memutuskan Yahaya Sharif-Aminu bersalah karena menghujat Nabi Muhammad dengan memuji seorang imam lokal dari tarekat Tijaniya dalam satu baris lagu yang diedarkan oleh Sharif-Aminu pada bulan Maret.
Sharif-Aminu tidak membantah tuduhan tersebut.
Hakim Syariah Aliyu Muhammad Kani mengatakan Sharif-Aminu dapat mengajukan banding atas keputusan tersebut dalam waktu 90 hari.
Jaksa penuntut, Inspektur Aminu Yargoje, mengatakan bahwa keputusan tersebut tepat, sebagai contoh untuk mencegah terjadinya penistaan agama lain di masa depan di negara bagian itu.
Pengadilan Syariah adalah sistem pengadilan Islam yang digunakan bersama dengan Pengadilan Sipil di wilayah mayoritas Muslim di Nigeria. Hukuman mati yang dijatuhkan di pengadilan Syariah jarang dilakukan, dengan eksekusi terakhir terjadi pada tahun 1999, menurut BBC.
Namun, Pengadilan Tertinggi Sipil masih dapat membatalkan putusan hukuman mati dari pengadilan Syariah.
Sharif-Aminu bersembunyi setelah lagunya yang berisi penistaan itu dirilis. Penistaan tersebut memancing reaksi keras dari masyarakat. Pengunjuk rasa yang marah, yang kebanyakan merupakan pemuda, membuat keributan hingga membakar rumah keluarganya dan menuntut tindakan dari polisi Islam, yang disebut Hisbah.
“Ketika saya mendengar tentang putusan itu, saya sangat senang karena itu menunjukkan protes kami tidak sia-sia,” kata pemimpin pengunjuk rasa, Idris Ibrahim, Senin (10/08/2020).
Adapula sebagian yang menyayangkan putusan tersebut.
“Tak seorang pun seharusnya dihukum mati karena penistaan agama,” cuit sutradara film remaja Enioluwa Adeoluwa.
Sharif-Aminu bukanlah penyanyi terkenal di Nigeria, ia adalah salah satu dari banyak musisi rohani dalam tarekat Tijaniyah. Saat ini ia mendekap dalam tahanan penjara.
Anggota tarekat Tijaniyah lainnya juga dijatuhi hukuman mati di Pengadilan Syariah pada tahun 2016 dan tetap di penjara. Abdulazeez Inyass dihukum karena penistaan di Kano. Ia melakukan penistaan dengan menyatakan bahwa salah satu tokoh Tijaniyah Sheikh Ibrahim Niasse “lebih agung dari Nabi Muhammad” dalam sebuah khotbahnya.
Tarekat Tijaniyah merupakan salah satu bentuk gerakan sufi kontemporer yang berasal dari ajaran Sidi Ahmad al Tijani di Afrika Utara namun kini semakin marak di Afrika Barat, terutama di Senegal, Gambia, Mauritania, Mali, Guinea, Niger, Chad, Sudan dan Nigeria Utara. Para pengikutnya disebut Tijānī.
Tijaniyah dan pandangannya tersebar luas meskipun secara umum tidak diterima terutama karena konsepnya dipandang ekstrim oleh umat Islam. Sejak awal, Tijaniyya dan pendirinya telah dikecam. Kecaman meningkat hingga harus diadakan diskusi terbuka dengan para pemimpin Tijaniyya yang dibantu pemimpin kolonisasi Prancis. Sebuah protes juga diselenggarakan terhadap Tijaniyah di Nigeria pada tahun 1970-an.
Meski ditentang, Tijaniyah adalah salah satu tarekat yang paling diterima secara luas di dunia karena mereka bersekutu dengan penjajah asing dan menerima bantuan mereka. Tarekat ini juga menjadi populer di Afrika Utara, terlebih di Afrika Barat.
Di Indonesia, Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ke III tahun 1928 di Surabaya memutuskan bahwa Tarekat Tijaniyah adalah muktabarah (diakui secara absah). Keputusan tersebut diperkuat kembali di dalam Muktamar NU ke VI tahun 1931 di Cirebon, bahwa Tarekat Tijaniyah termasuk dalam kategori tarekat yang muktabarah.
Saat ini Tarekat Tijaniyah merupakan salah satu dari 43 Tarekat Muktabarah Indonesia atau tarekat yang diakui keabsahannya.*