Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Karikatur itu gambar atau penggambaran suatu obyek, dibuat dengan cara melebih-lebihkan ciri khas dari obyek yang ada. Dan itu tentang apa saja, sesuai yang dimaui.
Jika karikatur itu dibuat untuk di- publish, maka obyek yang dipilih adalah tokoh yang sudah umum dikenal. Meski wajah dari tokoh itu “dilebih-lebihkan”, baik mulut, pipi, dahi, hidung, telinga, rambut dan lainnya.
Dengan melebih-lebihkan dari apa yang ada diwajahnya, publik masih mengenalinya dengan baik. Tidak bertanya-tanya siapa yang jadi obyek pada gambar itu.
Karikatur ditampilkan tidak saja sekadar menghibur, tapi juga menampar. Ada yang hanya gambar saja tanpa bantuan narasi. Tapi ada yang diberi narasi karena karikatur itu sedang bercerita pada satu peristiwa yang benar terjadi.
Dengan diberi narasi orang memahami konteks karikatur itu dihadirkan. Karenanya, karikatur itu akan membawa pada kesimpulan utuh atas sebuah peristiwa.
Baca: Itu Protes JK, Bukan Sekadar Tanya “Cara Mengkritik yang Aman”
Karikatur tokoh politik, baik manca negara, maupun nasional dihadirkan jika ada peristiwa tentangnya. Dipilih jadi obyek, jika ada hal kontroversial atas kebijakan atau bahkan pernyataannya.
Donald Trump, mantan Presiden Amerika, bisa jadi tokoh manca negara yang paling banyak menjadi sasaran para karikaturis untuk menjadikannya obyek lucu-lucuan, dan terkesan mengolok.
Disamping ada pesan dari karikatur yang dibuat itu, dan itu pada kebijakan dan berbagai pernyataan Trump yang memang terkenal kontroversial, bahkan urakan. Kebebasan Pers di Amerika membebaskan para karikaturis bisa mengeksplore obyeknya sampai pada tahap tidak manusiawi sekalipun.
Untuk tingkat nasional, mungkin KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Indonesia ke-4, yang wajahnya kerap dibuat obyek dikarikaturkan. Wajah Gus Dur yang memang “unik” menjadi makin berkelas, wajah antara lucu dan menggemaskan.
Tentu Gus Dur yang memiliki pandangan bebas, senang-senang saja wajahnya jadi “bulan-bulanan” para karikaturis. Tentu jauh dari sikap menghina, pun mengolok-olok, justru dihadirkan dengan penuh kekaguman padanya.
Karikatur “Suara Merdeka” yang Keren
Ahad (14/2/2021) kemarin jagad medsos disuguhkan karikatur menggelitik. Karikatur yang dihadirkan itu mewakili perasaan publik. Dan itu tampil pada Suara Merdeka, koran tertua di Jawa Tengah.
Adalah karikatur dengan obyek Presiden Jokowi, yang berujar, ‘Tolong masyarakat bisa aktif mengkritik dan memberikan masukan’. Sedang di depannya dua anjing galak dengan jenis berbeda menjaganya. Pada anjing pertama tertulis buzzer, dan yang satunya tertulus UU ITE. Dan di depan anjing itu seseorang berlari dengan teriak, Atuuuuut…
Karikatur itu keren, mampu menghadirkan suara batin publik di tengah polemik, tentang keseriusan ucapan Presiden Jokowi untuk benar-benar butuh dikritik.
Karikatur itu mempertanyakan, bagaimana mungkin bisa dikritisi jika “dua anjing” itu masih jadi andalan untuk nangkapi mereka yang coba kritis pada pemerintah.
Baca: Akhir Hidup Para Buzzer, dan Dunia Baru
Anjing pertama berupa buzzer, yang sepertinya punya tugas khusus mengendap-endap penuh nafsu melaporkan siapa saja yang bisa dikriminalisasi dengan jerat hukum.
Sedang anjing kedua adalah UU ITE yang mudah mentersangkakan setiap mereka yang kritis pada pemerintah. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan masih banyak lainnya, itu korbannya.
Ucapan Presiden Jokowi, pada Hari Pers Nasional (9/2/2021), di Istana Negara, tentang “silahkan mengkritik” itu ditanggapi dengan sikap skeptis. Lalu banyak komentar yang tidak mempercayai keseriusan Presiden Jokowi itu.
Ada yang mengatakan, hati-hati lho, jangan-jangan itu jebakan Batman. Ada pula yang mengatakan, ucapan Jokowi itu cuma berlaku tanggal 9 Februari, maksudnya pada Hari Pers Nasional saja. Dan pernyataan-pernyataan lain yang hampir semua menganggap itu hanya ungkapan sekadarnya, tidak benar-benar serius.
Ketidakseriusan itu karena tidak ada upaya untuk menghilangkan “dua anjing” yang digambarkan dalam karikatur tadi. Lalu muncul pernyataan, buktikan dulu dengan membubarkan para buzzer itu, dan revisi UU ITE.
Pernyataan dari siapa pun, apalagi orang nomor satu di republik ini, mestinya tidak sekadar ucapan di bibir saja, tanpa adanya upaya-upaya tindak lanjut untuk menguatkan atau menunjukkan keseriusan dari apa yang diucapkannya.
Karikatur itu entah siapa yang membuatnya. Bisa jadi Pak Djoko Susilo, editorial cartoonist, koran Suara Merdeka yang membuatnya. Siapa pun yang membuatnya, sekali lagi, karya itu keren, yang tidak sekadar estetis, tapi kuat juga pada konten, dan yang paling utama, mampu mewakili suara publik. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya